Sunday, November 27, 2016

MindMaping Hukum dan perundang-undangan Diindonesia

hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1)  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
4)  Peraturan Pemerintah (PP)
5)  Peraturan Presiden;
6)  Peraturan Daerah Provinsi;
7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 




Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah sebagai berikut:
1.  UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom, Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu E.C.S. Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam Budiardjo, menyatakan bahwa Undang­Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.

Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut Miriam Budiardjo ( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini dikarenakan
a)    UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa
b)    UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c)    UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa
2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas, kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945.
Adapun yang  dimaksud  Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum menurut penjelasan UU No 12 tahun 2011 adalah adalah  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat Sementara  dan  Ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat      yang  masih  berlaku sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  dan  Pasal  4 Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat    Republik Indonesia  Nomor:  I/MPR/2003  tentang  Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum   Ketetapan Majelis Permusyawaratan  Rakyat  Sementara  dan  Ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat    Tahun  1960  sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
3.  Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu masalah diatur dengan UU antara lain :
a)    UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b)    UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c)    UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d)    UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada,
e)    UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f)      UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
Adapun materi  muatan  yang  harus  diatur  dengan  Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b.  perintah  suatu  Undang-Undang  untuk  diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan  kebutuhan  hukum  dalam masyarakat.
4.   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPPU) dibentuk oleh presiden tanpa terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini dikarenakan PERPU dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya PERPU tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. ladi bukan berarti presiden dapat seenaknya mengeluarkan PERPPU, karena pada akhirnya harus diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Sebagai lembaga legislatif DPR dapat menerima atau menolak PERPPU yang diajukan Presiden tersebut, konsekwensinya kalau PERPPU tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus dinyakan tidak berlaku lagi
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang, yakni:
a.  pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b.  perintah  suatu  Undang-Undang  untuk  diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan  kebutuhan  hukum  dalam masyarakat.
5.  Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi peraturan pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan dari suatu undang-undang. Itulah sebabnya materi muatan Peraturan  Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 
Adapun kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :
a)   PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b)   PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana,
c)   PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d)   PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut  ­secara tegas, asal PP tersebut untuk melaksanakan UU,
6.  Peraturan Presiden
Peraturan  Presiden  merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya Presiden  dapat membuat dua macam keputusan yaitu yang bersifat pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis peraturan perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden .
Materi  muatan  Peraturan  Presiden  berisi  materi  yang diperintahkan  oleh  Undang-Undang,  materi  untuk melaksanakan  Peraturan  Pemerintah,  atau  materi  untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
7.  Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah Propinsi dan daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang­undangan yang lebuh tinggi. Selain itu Peraturan daerah inijuga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Dengan demikian kalau Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan daerah, dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum tentu diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain.
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah  Kabupaten/Kota  berisi  materi  muatan  dalam rangka  penyelenggaraan  otonomi  daerah  dan  tugas pembantuan  serta  menampung  kondisi  khusus  daerah dan/atau  penjabaran  lebih  lanjut  Peraturan  Perundang-undangan yang lebih tinggi.


Thursday, November 17, 2016

Masyarakat Desa Dan Masyarakat Kota


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong masyarakat yang sangat jauh tertinggal, hal ini disebabkan keberedaan wilayah yang jauh dari pusat pembangunan Nasional, bahkan hampir tidak tersentuh oleh pembangunan Nasional. Beberapa metode dan pendekatan telah dikembangkan untuk memahami masalah dan membantu merumuskan kebijakan guna memecahkan masalah pembangunan pedesaan. Sejak tahun 1970an para pakar banyak yang memanfaatkan metode, pendekatan, dan logika berfikir survei verifikatif dalam meriset masalah sosial masyarakat pedesaan.
Di Indonesia, pertumbuhan penduduk semakin meningkat, terutama di daerah perkotaan. Banyak masyarakat desa mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan. Mereka berfikir bahwa di perkotaan adalah sumber mata pencaharian terbesar dibandingkan di pedesaan. Mereka juga menganggap bahwa kehidupan di kota lebih baik daripada di desa. Namun, pada kenyataannya kehidupan di kota tidak sebaik yang mereka bayangkan. Dalam hal ini penulis akan membahas dan menjelaskan tentang ruang lingkup perbedaan masyarakat pedesaan dengan masyarakat kota

1.2       Rumusan Masalah
1.    Apa itu Masyarakat desa dan  masyarakat kota?
2.    Apa ciri-ciri masyarakat desa dan Masyarakat kota?
3.    Apakah perbedaan Masyarakat desa dan Masyaakat kota?
4.    Apa saja penyebab penduduk melakukan transmigrasi?
5.    Apa hubungan antara masyarakat desa dan masyarakat kota?
6.    Apa saja dampak positif dan negatif dari masyarakat desa dan masyarakat kota?





1.3       Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian masyarakat desa dan masyarakat kota
2.    Untuk mengetahui ciri-ciri masyarakat desa dan masyarakat kota
3.    Untuk mengetahui perbedaan masyarakat desa dan masyarakat kota
4.    Untuk mengetahui penyebab penduduk melakukan transmigrasi
5.    Untuk mengetahui hubungan antara masyarakat desa dan masyarakat kota
6.    Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari masyarakat desa dan kota




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Desa (Rural Society)

Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional dari masyarakat primitif (sederhana). Namun pandangan tersebut sebetulnya kurang tepat, karena masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu kawasan, wilayah, teritorial tertentu yang disebut desa. Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat. yang menguasaan ipteknya rendah sehingga hidupnya masih sederhana dan belum kompleks. Memang tidak dapat dipungkiri masyarakat desa dinegara sedang berkembang seperti Indonesia, ukurannya terdapat pada masyarakat desa yaitu bersifat tradisional dan hidupnya masih sederhana, karena desa-desa di Indonesia pada umumnya jauh dari pengaruh budaya asing/luar yang dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola hidupnya.

2.2 Ciri-ciri masyarakat desa
Adapun ciri-ciri masyarakat desa antara lain :
1.    Anggota komunitas kecil
2.    Hubungan antar individu bersifat kekeluargaan
3.    Sistem kepemimpinan informal
4.    Ketergantungan terhadap alam tinggi
5.    Religius magis artinya sangat baik menjaga lingkungan dan menjaga jarak dengan penciptanya, cara yang ditempuh antara lain melaksanakan ritus pada masa-masa yang dianggap penting misalnya saat kelahiran, khitanan, kematian dan syukuran pada masa panen, bersih desa.
6.    Rasa solidaritas dan gotong royong tinggi
7.    Kontrol sosial antara warga kuat
8.    hubungan antara pemimpin dengan warganya bersifat informal
9.    Pembagian kerja tidak tegas, karena belum terjadi spesialisasi pekerjaan
10. Patuh terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku di desanya (tradisi)
11. Tingkat mobilitas sosialnya rendah
12. Penghidupan utama adalah petani. 



2.3 Pengertian Masyarakat Perkotaan
 
Warga belajar--sekalian, Membahas masyarakat perkotaan sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat desa karena antara desa dengan kota ada hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa kekota. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat urban dari berbagai asal/desa yang bersifat heterogen dan majemuk karen terdiri dari berbagai jenis pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan agama.

Mereka datang ke kota dengan berbagai kepentingan dan melihat kota sebagai tempat yang memiliki stimulus (rangsangan) untuk mewujudkan keinginan. Maka tidaklah aneh apabila kehidupan di kota diwarnai oleh sikap yang individualistis karena mereka memiliki kepentingan yang beragam. Lahan pemukiman di kota relatif sempit dibandingkan di desa karena jumlah penduduknya yang relatif besar maka mata pencaharian yang cocok adalah disektor formal seperti pegawai negeri, pegawai swasta dan di sektor non-formal seperti pedagang, bidang jasa dan sebagainya. Sektor pertanian kurang tepat dikerjakan di kota karena luas lahan menjadi masalah apabila ada yang bertani maka dilakukan secara hidroponik. Kondisi kota membentuk pola perilaku yang berbeda dengan di desa, yaitu serba praktis dan realistis.

2.4 Ciri-Ciri Masyarakat Kota
Ciri-ciri masyarakat kota (urban) antara lain :
1.    Kehidupan keagaam berkurang, karena cara berpikir yang rasional dan cenderung sekuler
2.    Sikap mandiri yang kuat  dan tidak terlalu tergantung pada orang lain sehingg cenderung individualistis
3.    Pembagian kerja sangat jelas dan tegas berdasarkan tingkat kemampuan/ keahlian
4.    Hubungan antar individu bersifat formal dan interaksi antar warga berdasarkan kepentingan.
5.    Sangat menghargai waktu sehingga perlu adanya perencanaan yang matang.
6.    Masyarakat cerderung terbuka terhadap perubahan didaerah tertentu (slum) 
7.    Tingkat pertumbuhan penduduknya sangat tinggi
8.    Kontrol sosial antar warga relatif rendah
9.    Kehidupan bersifat non agraris dan menuju kepada spesialisasi keterampilan
10. Mobilitas sosialnya sangat tinggi karena penduduknya bersifat dinamis, memamanfaatkan waktu dan kesempatan, kreatif, dan inovatif.

2.5 Perbedaan Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota

 2.5.1 PERBEDAAN DARI BERBAGAI SEGI
1. Segi Agama
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religious. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan.
Sedangkan kehidupan keagamaan di kota berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
2. Segi Sosial
Masyarakat desa sangat mengutamakan kehidupan sosialnya. Mereka bergotong royong melakukan hal tanpa ada unsur uang/materi. Namun karena masyarakat kota yang syarat akan materi jadi segala sesuatu yang dilakukan atas dasar materi untuk kepentingan diri sendiri.
3. Segi Lingkungan Alam
Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografinya di daerah desa.
Penduduknya yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota, yang kehidupannya "beas" dari realitas alam.
4. Segi Pekerjaan
Pada umumnya atau kebanyakan mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani dan berdagang sebagai pekerjaan sekunder. Namun di masyarakat perkotaan, mata pencaharian cenderung menjadi terspesialisasi, dan spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan.
5. Segi Kepadatan Penduduk
Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota. Kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri.




6. Homogenitas dan Heterogenitas
Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
Di kota sebaliknya, penduduk heterogen terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian.

2.6 FAKTOR PENYEBAB PENDUDUK MELAKUKAN TRANSMIGRASI
1. Persebaran penduduk tidak merata
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat di dunia. Saat ini penduduk di pulau Jawa kurang lebih 160 juta jiwa. Transmigrasi dibutuhkan agar kepadatan penduduk di pulau Jawa bisa dikurangi dengan memindah sebagian penduduk ke Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Diharapkan dipulau tujuan bisa ikut membangun daerha tersebut.

2. Alasan ekonomi
Sebagian besar transmigran mengikuti program ini karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih layak daripada sebelumnya. Dengan transmigrasi mereka mendapatkan tanah sebanyak 2 hektar dan tunjangan. Modal dari pemerintah tersebut bisa dijadikan lahan pertanian yang nantinya bisa meningkatkan pendapatan transmigran. Transmigrasi dengan alasan ini biasanya ditempatkan di pulau-pulau yang ada perkebunannya atau mempunyai potensi pertanian tertentu. Misalnya : pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera karena di sana banyak di jumpai perkebunan kelapa sawit dan karet.

3. Bencana alam
Jika suatu daerah dekat dengan gunung berapi yang sangat aktif maka transmigrasi diperlukan untuk memberikan tempat baru yang lebih aman dari tempat sebelumnya. Usaha ini juga untuk mengurangi jumlah korban jiwa jika terjadi bencana alam. Pulau Kalimantan merupakan tujuan yang tepat untuk transmigrasi karena di sana tidak ada gunung berapi dan relatif aman dari gempa bumi karena tidak dilewati lempeng bumi.

4. Adanya proyek pembangunan
Dulu ada desa yang bertransmigrasi karena ada proyek pembangunan bendungan. Seluruh warga desa pindah tan terkecuali. Nama program ini adalah transmigrasi bedol desa. Karena satu desa yang pindah maka tempat tujuannya juga buat lahan yang luas dijadikan satu desa di pulau yang lain. Pulau yang bisa dijadikan sebagai tujuan transmigasri jenis ini adalah Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua.

2.7 Hubungan Antara Masyarakat Kota dan Desa  


     Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah satu sama lain.. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat. Diantaranya  mereka bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota bergantung  pada kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber atau mempunyai tenaga kasar bagi jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka sibuk bekerja di ladang . Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka pergi ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan sampingan atau serabutan.
Secara teoristik, kota mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti: 
·         Ekspansi kota ke desa, atau biasa dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam.
·          Invasi kota , pembangunan kota-kota baru seperti City of Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan
·          Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi.
·         Ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.

Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :
a). Urbanisasi
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota  yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni : Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).
b)    Sebab-sebab Urbanisasi
       1.   Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors)
       2.   Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota (pull factors)
Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :
a.    Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
b.    Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c.    Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d.    Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e.    Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :
a.    Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota  banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b.    Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c.    Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d.    Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e.    Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).

2.8 ASPEK POSITIF DAN NEGATIF TINGGAL DI MASYARAKAT KOTA ATAU DESA
Masyarakat desa dan kota suatu komunitas yang dapat dikatakan suatu komunitas yang saling bertolak belakang antara satu dengan lainnya. Kota yang identik dengan kemacetan, kebisingan, kericuhan dan permasalahannya yangbegitu rumit serta kompleks. Sedangkan desa yang begitu tenang, damai, tertib dan kebaikannya yang sangat sederhana dalam setiap keadaannya. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut Kepala Kampung atau Petinggi. Masyarakat desa masih terikat kehidupannya dengan adat dan istiadat daerahnya, adat istiadat merupakan aturan yang melekat erat pada masyarakatnya yang mengatur setiap tindakan melalui system konsep kebudayaan yang kental. Aturan yang dimiliki kota biasanya telah tertulis secara nyata pada peraturan perundang-undangan walaupun masih memiliki peraturan yang tidak tertulis sama halnya dengan desa karena masyarakat kota biasanya merupakan campuran dari berbagai masyarakat desa yang hijrah ke kota, namun peraturan yang tidak tertulis tersebut biasanya tidak banyak diperhatikan dan pada akhirnya akan hilanbg dengan sendirinya.

Dampak Positif Dan Negatif Masyarakat Perkotaan Dan Masyarakat Perdesaan

1. Dampak Positif

Dalam hal ini desalah yang menempati peringkat paling atas dalam kepemilikannya untuk hal yang positif. Diantaranya adalah kebersamaan yang kental diikuti dengan gotong-royong, kepedulian antara tetangga, kerja keras mereka dalam mendapatkan penghidupan, kehidupan sehari-hari mereka yang tenang dan saling menghormati antara sesame. Kadangkala ada yang menyatakan bahwa masyarakat desa lebih malas dibanding masyarakat kota yang terus bekerja keras demi mendapat makan, hal tersebut salah karena sebenarnya masyarakat kotalah yang malas dalam melakukan sesuatu mereka bekerja keras dengan pikiran mereka sehingga tampak lelah dari luar namun kerja keras mereka hanya membuat keterpurukan pikiran mereka dalam bersosialisasi yang selalu menginginkan gampangnya saja sedangkan masyarakat desa setiap waktu selalu bekerja keras dengan tenaga dan pikiran mereka serta belajar bersabar dengan hidup, seperti contoh dalam memanen memerlukan waktu yang panjang untuk dapat memanen hasil bumi dan dibutuhkan kerja keras saat menanamnya serta kesabaran dalam menuainya. Walaupun begitu masyarakat kota juga memiliki hal positif yang dapat dipetik dalam kehidupan mereka, yaitu informasi, pengetahuan, teknologi dan kedinamisan mereka dalam berkembang.


2. Dampak Negatif

Dalam hal kenegatifan suatu komunitas, kotalah yang menempati urutan pertama dalam tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang beragam dan kondisi social dari lingkungan kota itu sendiri, dengan berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai sumber serta bidang yang menyertainya. Sisi negative dari kota dapat dilihat dari kebersamaan masyarakatnya yang kurang dan biasanya akan tercipta kelompok-kelompok tertentu yang memiliki perbedaan pandangan, kepedulian yang makin berkurang diantara sesama juga merupakan salah satu hal yang seharusnya perlu dihindari. Hal-hal tersebutlah yang biasanya akan menyebabkan pertikaian diantara kelompok tertentu dengan mengrsampingkan norma-norma yang ada. Sedangkan di pedesaan hal negative yang dapat terlihat adalah masyarakat desa yang kurang dalam mendapat informasi actual dan disusul dengan keterlambatan mereka dalam menerima informasi karena kondisi wilayah atau geografis desa mereka, serta pemahaman mereka mengenai hal baru yang ada di dunia.

Catatan secara keseluruhan, walau masing-masing kota dan desa memiliki kelemahan dan kelebihan namun itu semua kita yang menentukan, menetapkan filosofi apa yang akan kita gunakan dalam kehidupan kita dan menjalaninya dengan hati.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia menjalani  kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya : “ Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ( bersosialisasi ).….” (Al-Hujurat :13 ). Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong  atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial,  yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.
Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang  dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.





3.2 Saran
Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius.  Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.

Monday, November 14, 2016

Sejarah Pergerakan Pemuda dan Pergerakan Wanita


Sejarah Pergerakan Pemuda dan Pergerakan Wanita

      Sebelum tumbuhnya dengan cepat organisasi-organisasi pemuda daerah pada dasawarsa kedua abad ini, Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 pada mulanya dapat dipandang sebagai organisasi pemuda. Hanya sesudah kongres I, peranan pemuda dalam organisasi ii menjadi lemah bahkan kemudian hilang karena sama keluar karena merasa kecewa atas kebijaksaan oleh pemimpinnya 

Beberapa tahun sesudah Budi Utomo didirikan, pada tahun 1915 berdiri Tri Koro Darmo di jakarta, Pendirinya, yakni antara lain Satiman Wiryosandjoyo, Kadarman dan Sunardi menetapkan bahwa
perkumpulan itu dibentuk khusus untuk anak-anak sekolah menengah yang berasal dari daerah Jawa dan Madura. Tri Koro Dharmo yang berarti tiga tujuan mulia (Sakti, Budi, Bakti) bertujuan menimbulkan pertalian antara murid-murid bumi putara sekolah menengah dan perguruan kejujuran ;
menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggota dan membangkitkan dan mempertajam peranan buat segala bahasa dan budaya. Dengan ini hendak dicapai tujuan untuk mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pernuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Lombok.

Untuk menghindari perasaan tidak puas dari pihak sementara anggota yang dapat melemahkan organisasi, pada tahun 1918 dalam kongresnya di Solo namanya diubah menjadi Jong Java. Dalam kongres tahun 1919 diputuskan untuk menunjuk seorang anggota wanita duduk dalam pengurus besar dan dalam anggota redaksi majalah organisasi. Kegiatannya berkisar pada bidang sosial-budaya, seperti pemberantasan buta huruf, kepramukaan, seni dan lain-lain. Pada kongres bulan Mei 1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak mencampuri urusan politik. Anggota-anggota dilarang menjalankan politik atau menjadi anggota perkumpulan politik.


Meningkatnya radikalisme Pergerakan Nasional mempengaruhi Jong Java untuk toh bergerak di bidang politik kongres ke VII bulan Desember 1924, akibat pengaruh Sarekat Islam, usul Ketua Jong Java yaitu Sjamsuridjal agar anggota yang sudah berumur 18 tahun diberi kebebasan untuk berpolitik dan memasukkan program memajukan agama islam, mendapat tantangan dan anggota. Adanya program memajukan agama Islam didorong oleh H. Agus Salim seorang tokoh Sarekat Islam dengan
alasan peranan agama sangat besar dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka. Usul ini ditolak, dan yang setuju bepolitik mendirikan Jong islamieten Bond (JIB) dengan agama sebagai dasar perjuangan. Untuk menggalang persatuan dengan organisasi pemuda islam lainnya dibentuklah Pemuda Muslimin Indonesia. JIB yang terpengaruh SI, dan Jong Java yang terpengaruh oleh Budi secara perorangan tidak melarang anggotanya bergerak dalam politik. Banyak dijumpai kasus di mana anggota JIB adalah juga anggota Jong Java dan sebaliknya.

Dalam kongres-kongres selanjutnya diambil keputusan untuk memupuk persatuan di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, meningkatkan nasionalismenya dan juga telah diputuskan untuk lebih banyak menggunakan bahasa Melayu daripada bahasa Belanda, di samping itu juga kata Inlands (bumiputra) diganti dengan Indonesisch. Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda daerah lain juga membentuk organisasi-organisãsi pemuda seperti :
  • Jong Sumatranen Bond, 
  • Pasundan, 
  • Joig Minahasa, 
  • Jong Ambon,
  • Jong Celebes, 
  • Jong Batak, 
  • Pemuda Kaum Betawi,
  • Sekar Rukun
  • Timorees Verbond dan lain-lain. 
Pada dasarnya oganisasi itu semua masih berrsifat kedaerahan tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
Jong Sumatranen Bond didirikan pada bulan Desember 1917 di jakarta dengan cabang-cabang di Padang dan Bukit tinggi. Tujuannya adalah mempererat hubungan di antara pemuda-pemuda yang berasal dari Sumatra, mendidik mereka untuk menjadi pemimpin bangsa, mempelajari dan mengembangkan budaya yang ada di Sumatra. Tokoh utama dariorganisasi itu adalah Moh. Hatta dan Muh. Yamin 

Diluar negeri dimana pemuda-pemuda indonesia banyak menuntuk ilmu, organisasi pemuda juga muncul. Tetapi paling terkenal dan kemudian juga sangat berpengaruh dalam Pergerakan Nasional Ialah Perhimpunan Indonesia. Melalui majalah Indonesia Merdeka gagasan-gagasan PI disebar ke indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging hanya untuk kegiatan sosia, tetapi sesudah tahun 1920 terutama bergerak di bidang politik. Nasionalisme dan percaya pada diri sendiri dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka merupakan dasar utama perjuangan PI. Tokoh-tokohnya yang utama adalah Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, Sukiman, Sunaryo, Ali Sastroamidjoyo, Iskak, Samsi, Bdhyarto Martoatmodjo, Iwa Kusumasumantri, Sutan Sjahrir, Nasir Datuk Pamontjak dan lain-;ain yang ternyata kemudian memegang peranan penting dalam Perjuangan Nasional sejak 1945, dalam pemerintah Republik Indonesia, dan dalam partai-partai politik. 

Meningkatnya nasionalisme yang mendorong keinginan untuk bersatu dalam perjuangan, mendorong organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan itu untuk bersatu dalam satu wadah. Pada tanggal 30 April- 2 Mei 1926 diadakanKomite itu adalah hasil dari pertemuan antara Jong Java, Jong Sumatranenbond, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun dan lain-lain pada tanggal 15 Nopember 1925. Tujuan kongres ialah untuk menanamkan semangat kerjasama antara perkumpulan pemuda di Indonesia untuk menjadi dasar persatuan Indonesia dalam arti yang lebih luas. Usul untuk


Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta. Kongres ini dilaksanakan oleh suatu komite yang diketuai oleh Tabrani dengan anggota Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule, Soulehuwij, Paul Pinontuan.
membentuk suatu organisasi bagi pemuda Indonesia tidak berhasil karena rasa kedaerahan masih kuat. Karena itu pada tanggal 15 Agustus 1926 beberapa organisasi pemuda mengadakan pertemuan di Jakarta untuk membicarakan suatu badan tetap bagi kepentingan pemuda Indonesia. Hasilnya adalah bahwa pada tanggal 31 Agustus 1926 disyahkan anggaran dasar suatu organisasi baru yang bernama Jong Indonesia dengan tujuan menanamkan dan mewujudkan cita-cita persatuan Indonesia.
Organisasi ini berbentuk permanen dan berdiri di luar organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada.
Akan tetapi harapan pada Jong Indonesia itu tidak begitu terpenuhi. Karenanya pada permulaan tahun 1926 oleh Algemene Studieclub di Bandung dibentuk pula organisasi baru juga dengan nama Jong Indonesia. Tujuan tidak begitu banyak berbeda dengan yang lama, tidak berpolitik tetapi membolehkan anggotanya berpolitik secara perorangan. Sementara itu para pelajar di Jakarta dan Bandung melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam penjajahan, yang disebut mereka
sebagai antithese kolonial yang sangat merugikan pihak Indonesia. Antithese ini akan hapus apabila penjajahan sudah lenyap. Untuk itulah para pelajar tersebut, yang berasal dan berbagai daerah, pada bulan September 1926 mendirikan organisasi Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. Berdasarkan pandañgan tersebut, PPPI bertujuan memperjuangkan Indonesia Merdeka dan untuk itir para anggota dididik untuk menjadi pemimpin rakyat sejati. Dengan demikian para anggota harus rajin belajar. Cita-cita itu hanya akan tercapai apabila sifat kedaerahan lenyap, begitupun perselisihan pendapat antara sesama nasionalis harus lenyap. Dalam aksi-aksinya kelihatan militansi PPPI dibidang pergerakan pemuda, sosial dan politik. Tokoh-tokohnya antara lain adalah: 

  • Abdullah Sigit
  • Sugondo
  • Suwiryo
  • Sumitro Reksodiputro
  • Muh.Yamin, 
  • A.K. Gani, Moh. Tamzil
  •  Sunarko
  •  Sumanang
  • Amir Sjarifuddin.

Pada tahun 1928 alam politik di Indonesia sudah dipenuhi oleh jiwa persatuan. Rasa bangga, rasa telah menemukan diri-sendiri, rasa memiiki cita-cita tinggi yaitu Indonesia Merdeka, telah mencekam jiwa rakyat Indonesia yang terjajah. Dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, yang dihadiri oleh utusan organisasi-organisasi pemuda, diikrarkanlah sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda. Isinya adalah:



ISI SUMPAH PEMUDA : 
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia 
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia 
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Kepada Kongres juga diperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman, dan bendera Merah Putih yang dipandang sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, merupakan salah satu puncak Pergerakan Nasional. Karena itu peristiwa yang bersejarah ini setiap tahun diperingati sampai sekarang sebagai han besar nasional. Sebagai kelanjutan kongres ini pada tanggal 24-28 Desember 1929 di Yogyakarta disetujui gagasan fusi daripada organisasi-organisasi pemuda yang telah ada. Persiapan ke arah itu dilakukan oleh suatu komisi dan pada tanggal 31 Desember 1930 dalam konferensi di Solo berdirilah Indonesia Muda, yang pada saat berdirinya telah mempunyai 25 cabang, 4 di Sumatra dan satu di Su1awesi. Jong Islamieten Bond dan Pemuda Muslimin karena alasan tertentu tidak ikut dalam Indonesia Muda. Organisasi ini memutuskan tidak akan bergerak dalam aksi politik walau hanya sebagai taktik belaka. Tetapi justru keputusan ini kemudian menyebabkan organisasi ini agak mundur. Meskipun telah ada pernyataan demikian, namun kecurigaan pemerintah kolonial tetap besar, bahkan sampai melarang murid-murid beberapa sekolah untuk menjadi anggotanya. Tekanan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap organisasi ini menyeabkan banyak anggotanya ke luar. Akibatnya perasaan tidak puas terhadap pemerintah kolonial bertambah dalam.

Politik reaksioner Gubernur Jenderal de Jonge yang mengadakan bermacam-macam peraturan larangan bagi kegiatan organisasi-organisasi nasional menyebabkan aksi-aksi menjadi lesu. Untuk memperkuat barisan, kembali diusahakan suatu kongres pemuda pada tahun 1936. Usaha itu gagal karena tidak ada ijin dari pemerintah. Barulah pada tahun 1938 dapat diadakan Kongres Pemuda Indonesia III di Yogyakarta, dihadiri utusan 22 organisasi, yang melahirkan fusi baru organisasi pemuda yaitu Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Pemuda Indonesia (Perpindo) dengan pusat di Jakarta. Dalam organisasi ini organisasi-organisasi pemuda yang bernaung di bawah sesuatu partai politik tidak turut serta.

Di samping organisasi yang bersifat “sekuler” juga ada organisasi yang bersifat keagamaan seperti :
  • Anshor Nahdatul Ulama,
  • Pemuda Muhammadiyah,
  • JIB
  • Persatuan Pemuda Kristen,
  • Persatuan Pemuda Katholik, danlain-lain. 
Begitupün organisasi yang terbatas lingkungannya masih banyak juga seperti Pemuda Taman Siswa, Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan lain-lain. Bahkan organisasi pemuda yang tumbuh pada masa-masa terakhir penjajahan Belanda yang ada sifat kedaerahannya juga masih ada seperti: Pemuda-Pemudi Cirebon, Pemuda Sriwijaya, Minangkabau Muda dan sebagainya.

Sejalan dengan gerakan pemuda, dalam Pergerakan Nasional juga ada gerakan wanita. Terutama yang khusus berjuang untuk rneninggikan derajat wanita, emansipasi wanita dan hal-hal yang bertalian dengan kesejahteraan rumah tangga yang menjadi tiang suksesnya pembangunan sesuatu bangsa. Semenjak dirintis oleh R.A. Kartini pada permulaan abad ini gerakan wanita berkembang seirama dengan gerakan pemuda. Pada umumnya bergerak di bidang sosial- budaya, dan di samping mendirikan organisasi, mereka juga menerbitkan majalah-majalah dan brosur-brosur yang kesemuanya mempercepat proses kemajuan wanita Indonesia. Perkumpulan wanita berdiri di mana-mana seperti : 

  • Perkumpulan Kartinifonds di Semarang, 
  • Putri Mardika di Jakarta, 
  • Maju Kemuliaan di Bandung,
  • Wanita Rukun Santoso di Malang, 
  • Budi Wanito di Solo, 
  • Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, 
  • Serikat Kaum Ibu Sumatra di Bukittinggi, 
  • Inaa Tuni di Ambon,
  • Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwenvereeniging, 
  • dan Sebagainya.


Banyaknya perkumpulan ini juga menunjukkan bahwa golongan wanita tidak mau ketinggalan dalam proses kemajuan nasional. Surat kabar gerakan wanita yang terkenal antara lain adalah: 

  • Poetri Hindia di Bandung (1909), 
  • Wanito Sworo (1913) di Pacitan-Brebes, 
  • Soenting Melayoe di Bukittinggi, 
  • Estri Oetomo di Semarang,
  • Soeara Perempuan di Padang,
  • Perempoean Bergerak di Medan 
  • Poetri Mardika di Jakarta.

Kalau pada awalnya gerakan wanita lebih terdapat pada golongan elite yang sadar, maka sesudah tahun 1920 gerakan itu sudah sampai ke lapisan bawah. Perkembangan itu juga terjadi karena perluasan pengajaran bagi wanita dan kesediaan organisasi-organisasi untuk membentuk bagian wanita. Contoh: Aisyah yang merupakan bagian organisasi Muhammadiyah, pada tahun 1929 telah mempunyai 5.000 orang anggota dan 32 sekolah dengan 75 guru-guru wanita. Terpengaruh oleh gerakan pemuda, maka organisasi-organisasi wanita mengadakan pula suatu kongres nasional yang dinamai Kongres Perempuan indonesia, pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hasilnya adalah dibentuknya Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang pada tahun 1929 diubah namanya menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Tanggal lahir PPII tanggal 22 Desember 1928 kemudian dikenal sebagai "Hari Ibu” dan tiap tahun diperingati dan dapat dipandang sebagai hari ahirnya kesadaran yang mendalam pada pihak wanita Indonesia mengenai martabatnya.berbeda dengan PPII, istri Sadar yang didirikan di Bandungpada tahun 1930 lebih bercorak sesuatu organisasi politik, begitupun Istri Indonesia yang ikut serta dalam pemilihan anggota dewan-dewan kotapraja pada tahun 1983. Namun bila dibandingkan dengan sejumlah wanita dari golongan bawah, hasil-hasil gerakan wanita selama penjajahan berjumlah banyak. 



Pra Kemerdekaan 1942-1945

Pemuda Jawa (Pusat pergerakan awalnya di tanah Jawa, kemudian menyebar) secara mendalam dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yg sedang berlangsung dalam masyarakat disekitar mereka. Pengalaman baru merekapun ikut membentuk Kesadaran Mereka.

Pada tahun 1940, diperkirakan ada sekitar dibawah 5 juta pemuda di pulau jawa yg berumur antara 15-19 tahun.1.789 pelajar yg terdaftar di sekolah-sekolah yg mendapat pendidikan Barat dan 637 orang adalah mahasiwa. Secara kasarnya dapat dikatakan bahwa kurang dari satu dalam setiap 2.000 pemuda yang ada di jawa yg menempuh pendidikan Non Tradisional tingkat tinggi. Jumlah kecil Minoritas ini terlihat melukiskan WATAK konservatif dari politik pendidikan Kolonial dan juga mempunyai hak-hak Istimewa. Karena mayoritas dari mereka adalah anak-anak dari Priyayi terkemuka, orang-orang profesional yg berhasil di kota-kota besar maupun pendatang kaya. Selama tahun-tahun terakhir Zaman Imperialis Belanda, Politik Pemuda terpusat di kota besar; Jakarta, Bandung (itu juga karena terdapat fakultas Teknik, Kedokteran, Hukum di tempat itu) dan kota besar lainnya. Pemuda-pemuda yang berkesadaran Politik pada thn 1930-an menunjukkan betul-betul terisolasi dari masyarakat Sebaya mereka.

Dari Baris Berbaris Menuju Perang

Dalam tahun 1943, Lembaga pendidikan yang di buat Belanda ditutup oleh Jepang, kecuali : Fakultas Kedokteran (FK) yang di buka kembali. Fasis Jepang kemudian membuka ”Pusat-pusat pendidikan tertentu tetapi tidak dapat digambarkan sebagai lembaga-lembaga yang bersifat Akademi”.

Beberapa mahasiswa lulusan sekolah-sekolah Belanda mencari kerja pada pemerintahan militer dalam berbagai bidang, namun yang paling diminati adalah SendenBu (Departemen Propaganda). Ada juga yang mengasingkan diri dari masyarakat, bertemu degan sanak saudara, selain itu sebagian juga melakukan diskusi-diskusi tidak resmi, secara intensif membaca tentang segala masalah yang nampaknya berkaitan degan keadaan mereka & hari depan. Beberapa diantara mereka tertarik kedalam kelompok-kelompok bawah tanah seperti kelompok bawah tanah PKI, kelompok bawah tanah PARI pimpinan Tan Malaka, Kelompok Sutan Sahrir.

Jepang juga mendirikan lembaga-lembaga yang menguntungkan serta menjaga kelanggengan Pemerintahan kerajaan Jepang di daerah bekas penjajahan Belanda. Lembaga itu diantaranya adalah PETA (Pembela Tanah Air) yang mayoritas terdiri dari Pemuda (Oktober 1943) dengan tujuan sebagai pasukan yang dilatih Jepang untuk membantu Jepang di garis depan medan pertempuran jika terjadi penyerangan dari pasukan Sekutu, disusun hanya sampai tingkat Batalyon (DaiDan), beranggotakan 500-600 orang, pemimpinnya (Komandan-DaiDan Co) dipilih yang agak tua karena menurut Jepang mempunyai pengaruh dan berwibawa terhadap Pemuda.

Heiho (Pasukan Bantuan) dibentuk sebagai badan resmi dari pasukan Angkatan Darat (AD), menyusul badan-badan lain seperti Keibodan, Jawa Hokokai dll.

Pada Thn 1944 kekalahan perang yang dialami Fasis Jepang sudah semakin banyak, keadaan ekonomi di Jawa khususnya sudah sangat merosot. harapan masyarakat kepada Jepang semakin menurun karena melihat tingkah laku yang semena-mena terhadap rakyat, namun semangat menuju Indonesia yang merdeka menjadi semakin membara

Jawa hokokai di mobilisir untuk melakukan pengawasan yang lebih “Ketat” terhadap rakyat. Selain organisasi SuiShinTai (Barisan Pelopor) dimaksudkan sebagai barisan Aktivis yang akan menggerakkan Hokokai dibawah kepemimpinan Resmi SOEKARNO. Tetapi secara Operasional (kepemimpinan) di kendalikan Dr.Muwardi, barisan ini menarik Kaum Muda dari segala lapisan masyarakat kedalamnya.Baris-Berbaris A”La Militer degan menggunakan Bambu Runcing. Sambil mendengarkan Soekarno Berpidato mengajarkan para anggotanya Teknik memobilisir massa melalui Organisasi ini.

Organisasi-organisasi diatas yang dilahirkan guna menghadapi sekutu itu ternyata dihari depan semua organisasi itu secara dialektis menjadi perangkat yang berguna untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia. Maka Gaya Politik Fasis Jepang memberikan pada Pemuda Jawa suatu Corak Baru dari kahidupan dan tindakan politik,mengandung Kritik Radical terhadap Nilai-nilai dari pandangan politik yang ditanamkan Kolonial-Imperialis Belanda.

Minoritas Yang Membakar

Kelompok-Kelompok Pemuda yang telah disebutkan diatas kebanyakan di kota-kota besar, secara kwantitas sangat kecil, informasi-informasi buat mereka sangat terbatas tentang keadaan Internasional dan nasional Indonesia saat itu. Kelompok-kelompok ini mempunyai Basis-basis kelembagaan yang menimbulkan kepercayaan pada diri pribadi. Basis-basis mereka terutama ada pada Asrama-Asrama untuk berbagai golongan Pemuda, selain tempat pengungsian untuk para mahasiswa yang kandas belajarnya (Di tutup Jepang). Asrama memberikan Alternatif lain yaitu menyediakan forum-Diskusi secara Tertutup.


Ada 3 nama Asrama Mahasiswa yg terkenal (menjadi pusat Kegiatan Pada saat itu) :

1. Asrama Fakutas Kedokteran, yang terletak di Prapatan 10 (sebagai catatan, FK adalah satu-satunya Pendidikan Tinggi yang di buka Jepang) walaupun mahasiswa ini secara pasti dipengaruhi oleh situasi Krisis, namun pandangan mereka mengenai peristiwa-peristiwa politik juga beralaskan kenyataan. Fakultas mereka adalah kelanjutan dari Zaman Belanda yang belum begitu banyak di ubah oleh Jepang. Orientasi mereka lebih condong ke BARAT dari pada Gerakan-Gerakan Bawah Tanah lainnya. Adapun pemimpin asrama ini adalah : Sutan Sahrir, Johar Nur, Syarif Thayeb, Darwis, Ari Soedewo. Selain itu Asrama Mahasiswa lainnya ada di Jln.Cikini yang ditempati oleh Chaerul Saleh, Djohar Nur. Kusnandar Cs.

2. Berpusat di Asrama Angkatan Baru Indonesia, jalan. Menteng Raya 31 (sekarang gedung Juang) yang didirikan pada awal pendudukan Jepang dengan bantuan SendenBu. Ada Sukarni, Maruto Nitimiharjo, Adam Malik, Pandu kartawiguna, DN. Aidit, Armunanto, MH. Lukman, AM. Hanafi (yang bekerja di bawah tanah) tujuannya : menciptakan Inti dari aktivis-aktivis pemuda yang setelah masa pelatihan akan meneruskan hasil latihan itu pada kader-kader di daerah dan mereka mengorganisir rakyat didaerah pinggiran Jakarta (Hal ini nantinya akan terlihat bagaimana kemampuan mereka memobilisasi massa pada saat rapat Akbar pada tanggal 19 September 1945 di lapangan IKADA (sekarang Monas). Masa Pelatihan resminya di Menteng 31, berakhir pada bulan April-1943, keanggotaan asrama itu tidak lebih dari 50 atau 60 orang. Ada bekas mahasiswa FH, juga bergabung pemuda-pemuda berpendidikan lebih rendah, namun sudah turut dalam gerakan-gerakan tahun 1930-an. Komposisi penghuni tersebut sangat jelas ada golongan yang lebih tua dan muda.

Dibawah pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di SendenBu (Barisan Propaganda Jepang) dibawah Mr. Muhammad Yamin. Termasuk didalam grup Sukarni ini ialah Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, Marutto Nitimiharjo yang memang sejak jaman Belanda dahulu mempunyai hubungan-hubungan perjuangan satu sama lainnya. Sukarni dengan grupnya inilah yang mempunyai hubungan politik dan idiologi dengan PARI-Tan Malaka.

3. Asrama Indonesia Merdeka belakangan berubah, alasan-alasan Problematik pendirinya (Laksamana Tadashi) yang selama ini memimpin BuKanFu-kantor penghubung Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD) di Jakarta. Asrama ini berada di Kebon Sirih 80 (1944). Setelah jaman pendudukan, beberapa upaya telah dilakukan oleh kelompok Syahrir untuk mendiskusikan kegiatan-kegiatan Maeda dan orang-orangnya. Terutama karena alasan-alasan Politik. Kadang dituduhkan bahwa kelompok Kaigun (AL-Jepang) telah mendirikan asrama itu untuk melatih infiltrator-infiltrator yang akan menyusup ke dalam Gerakan Bawah Tanah (GBT) ”Komunis” yaitu Kelompok Stalinis Ortodoks (PKI yang didirikan kembali oleh Musso pada tahun 1935) dan Kelompok Komunis Nasionalistis yang mempunyai hubungan erat dengan PARI-Tan Malaka. Namun tidak ada bukti tentang itu, kesaksian Wikana, seorang yang jelas bukan “Dekat degan Jepang” dengan tegas membenarkan ketulusan Hati Laksamana Maeda dan pembantunya mengenai kemerdekaan Indonesia. Perlu ditekankan bahwa kelompok ini (Asrama) mencerminkan kemauan yang tumbuh di pihak pemuda untuk menganggap diri sebagai pemikir pikiran-pikiran kritis”jika hati seorang di sakiti oleh kesengsaraan Penduduk, yang semakin parah yang di muakkan oleh keterlibatan Politisi Tua yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta yang merupakan kolaborator Jepang, Pamong Praja dalam program Romusha dan penyerahan Padi secara paksa dan sinis tentang Janji Fasis Jepang dalam soal janji Kemerdekaan.

Terbentuknya Beberapa kelompok ini disebabkan Karena :

Adanya Perbedaan latar belakang Pendidikan (Tempat/Daerah didapatkannya pendidikan oleh para pemuda, ada yang bersekolah di Belanda, ada yang hanya di Indonesia.
Adanya kedekatan beberapa Pemuda dengan Orang-orang belanda maupun Tidak

Ini berarti menunjukkan belum adanya suatu Organisasi Revolusioner/Partai Revolusioner/Partai Pelopor-Avant Garde yang mempunyai kesatuan dalam bergerak. Koordinasi Group pemuda tersebut tidak secara langsung tapi berdasarkan Individu-Individu yang ada dalam organisasi tersebut.

Dapat di simpulkan adanya metode yang berbeda dalam Pencapaian Kemerdekaan, dan dalam hal Pengisian Kemerdekaan. Ada yang dengan jalan Kompromi atau mau bekerjasama dengan Fasis Jepang dan juga ada yang menolak bekerja sama dengan Fasis Jepang. Berikutnya setelah kemerdekaan ada yang ingin berjuang dengan cara perang total ataupun ada yang ingin mengutamakan jalur diplomasi.

Masa Kemerdekaan. (jaman perang mempertahankan kemerdekaan)

Dibawah kesadaran keadaan Dunia yang sedang bergejolak antara lain dengan Mendaratnya pasukan-pasukan Amerika di pulau Leyte telah mensinyalir akan tanda-tanda kehancuran Fasis Jepang. Serangan Inggris di Birma dengan cepat memperoleh kemajuan, di bawah keadaan itu menjadi lebih mendesaklah mengadakan pertemuan untuk Menghimpun dukungan rakyat setempat di pulau Jawa. Dengan memberikan wawasan yg lebih luas kepada perasaan Nasionalis kedudukan tawar-menawar dari pada nasionalis Indonesia, baik golongan muda maupun tua bertambah baik. Salah satu dari tanda-tanda yang paling nyata dari perubahan ini adalah kongres Pemuda yang di liangsungkan di VILLA Isoha, Bandung 16-18 Mei 1945. Sidang Kongres itu sebagai tanda dari kemajuan dan keikhlasan pemuda. Kongres itu di sponsori oleh Pemimpin-pemimpin muda yang pertama sejak pendudukan Jepang di Jawa. Setelah melalui perdebatan 3 hari, pemuda memutuskan dua Resolusi penting, yaitu :

1.Seluruh golongan Indonesia harus di persatukan dan di sentralisasikan dalam satu kepemimpinan.

2.Kemerdekaan Indonesia harus di wujudkan secepat mungkin, Angkatan Muda harus selalu siap mengabdikan Tenaga, Jiwa dan Raganya Ke arah pengkoordinasian seluruh upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Tekanan semakin Keras yang dilakukan oleh para pemuda lebih terlihat pada sidang Ke-8 dari Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), dimana pemuda mendesak Jepang supaya membawa lebih banyak Pemuda kedalam kerangka pemerintahan. Kemudian mendesak Jepang untuk mengembangkan pelatihan daam Kepemimpinan Gerakan Rakyat Baru (GRB/suatu organisasi Massa yang telah diumumkan oleh Jepang akan didirikan pada bulan Juli 1945).

Pada waktu yang sama terdapat sekelompok kecil Pemuda (sekitar 100 orang tokoh pemuda) yang diKetuai oleh B.M Diah seorang wartawan di Surat Kabar Metropolitan Asia Raya yang dapat mencari Informasi secara mendetail tentang perkembangan situasi Perang dengan cepat sehingga informasi kemajuan sekutu di Asia dan kekalahan Jepang di Pasifik samar-samar sudah terdengar.

Sukarni, Sudiro (Mbah), Sjarif Thayeb Cs, para pemuda terkemuka di Jakarta mengadakan pertemuan untuk membentuk kelompok Penghubung Poliik tak Resmi yang bernama Angkatan Baru. “Kelompok inilah yg Kemudian membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yg menggerakkan Menteng 31”

6 Juli saat sidang itu di buka pemimpin-pemimpin angkatan baru bertemu untuk membahas kedudukan mereka. Persoalan pokok timbul dalam pembahasan Rancangan Piagam GRB, dimana Pemuda Menuntut supaya Kota-kota Republik Indonesia disiapkan, tentu saja tidak dapat diterima Jepang karena :

1.Tokyo sendiri belum membuat keputusan terakhir mengenai kapan dan dengan bentuk apa kemerdekaan akan diberikan kepada Indonesia.

2.Badan Penyelidik yg membahas apakah Indonesia akan menjadi negara Monarki atau Repulik.

Akibat hasil rapat tersebut hanya menimbulkan makian, kekecewaan yang besar pada diri tiap Para Pemuda. Desas-desus Jepang yang sudah hampir menyerah kepada Sekutu melalui para Pemuda yang bekerja di SenDenBu dari siaran radio San Fransisco, bahwa Fasis Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Imperialis Sekutu dan pengumuman resmi penyerahan tanpa syarat itu di umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945.

Siaran Kaisar Hirohito di terima di Jakarta, sementara itu berita dengan cepat menyebar degan cepat melalui jaringan Pemuda di seluruh pelosok.

Atas prakarsa Mahasiswa FK, rapat Darurat dilangsungkan di Laboratorium Bakteriologi Pegangsaan yang dihadiri pula oleh Kelompok Menteng 31, disitu diputuskan untuk mengirim suatu delegasi yang dipimpin Wikana untuk menjumpai Soekarno malam itu juga agar mendesak membuat Proklamasi, namun Soekarno menolak dan menimbulkan ketegangan dan suasana emosional, mereka menyatakan Soekarno telah gagal menjadi Bapak, akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah apabila tidak mau mengumumkan pernyataan itu.

Penghinaan pribadi terhadap Wikana telah menimbulkan jarak yang semakin dalam antara Golongan Tua dan Muda dan sebagai tantangan bersama. Atas prakarsa Sukarni, penculikan terhadap Soekarno-Hatta terjadi, kira-kira pukul 04. pagi dini hari 16-08-45. Soekarno-Hatta dilarikan ke Rengasdengklok, atas kawalan Peta Jakarta Raya yang dipimpin oleh Sodanco Singgih dan pimpinan Peta Rengkasdengklok Sudanco Umar Bachsan (beliau adalah salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat –LEKRA-). Disana terjadi desakan untuk memproklamasikan kemerdekaan yang akhirnya menimbulkan perdebatan antara pemuda dan Soekarno-Hatta. Akhir dari perdebatan itu hanya kebuntuan. Akhirnya Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta oleh para pemuda.

KRONIK PROKLAMASI (15-17 AGUSTUS 1945)

Setelah perdebatan tentang perlunya sesegera mungkin di kumandangkannya Proklamasi antara Para Pemuda dan Golongan Tua :

Sore hari: Subadio S.dan Subianto datang ke rumah Hatta, mengabarkan Jepang Menyerah pada Sekutu, minta pada Soekarno sebagai pemimpin untuk atas nama rakyat mengucapkan Proklamasi lewat radio ke seluruh dunia.

Hatta menyatakan, bahwa Jepang telah mengakui kemerdekaan Indonesia, dan penyelenggaraannya terserah pada PPKI. Karena itu rapat akan diadakan di Pejambon besok.

Ke dua pemuda mengatakan hal itu harus di halangi. Hatta mengajukan beberapa alasan namun sampai setengah jam terjadi perdebatan, ke 2 Pemuda mengatakan : “ Di saat Revolusi kami rupanya tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak Revolusioner! ”

Hatta Menjawab: ”Saya pun menginginkan Revolusi tapi ingin menyiapkan Organisasinya. Tindakan kalian ini Putsch sama seperti yang dilakukan Hitler di Muenchen ! ”

Pemuda: Bung tidak bisa diharapakan mengadakan Revolusi ,”

Jam 20.00: Rapat dipimpin oleh Chaerul Saleh di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan timur, Jakarta hadir Dari Golongan Pemuda; Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subiantoro, Margono, dari golongan Kaigun; Wikana, Armansjah.

Keputusan: Menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal Rakyat, tidak dapat di gantungkan pada orang lain, maka harus diputuskan dengan janji Jepang, dan diadakan pertemuan dengan Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta.

Jam 21.30 : Ketika Hatta sedang mengetik naskah Proklamasi, datang Subardjo untuk mengajak menemui Soekarno, yang waktu itu sedang dipaksa Para Pemuda untuk Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia hari itu juga.

Mereka langsung ke rumah Soekarno disana bertemu dengan; Dr. Buntaran Martoatmodjo dll. Pemuda memaksa Soekarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan, tapi menolak dengan alasan yang sama dengan Hatta.


Jam 22.00: Keputusan rapat golongan pemuda disampaikan wikana dan Darwis pada Ir.Soekarno. Wikana menuntut untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, jika tidak akan terjadi pertumpahan darah.

16 AGUSTUS 1945

Kaisar Hirihito memerintahkan penghentian seluruh pertempuran menyusul pernyataan menyerah tanpa syarat.

Jam 4.00 waktu makan sahur Sukarni dkk datang ke rumah Hatta, menjelaskan karena semalam Soekarno tidak mau melakukan proklamasi maka pemuda-pemuda mengambil putusan sendiri:

1.Soekarno-Hatta di bawa ke Rengasdengklok untuk memimpin Republik dari sana

2.Menjelang jam 12.00-15.00 Rakyat-Mahasiswa-PETA akan menyerbu dan melucuti Jepang.

Rombongan pergi ke Rengasdengklok sebelumnya menjemput Soekarno.

Jam 12.30: Hatta meminta sukarni untuk mengecek tentang serbuan ke Jakarta seperti yang direncanakan, namun setelah meengecek ternyata tidak ada penyerbuan.

Jam 18.00: Sukarni mangatakan ”bahwa Ahmad Soebrdjo datang atas perintah untuk menjemput Soekarno Hatta.”

Rombongan kembali pulang ke Jakarta.

Jam 22.00: Berkumpul di rumah Laksamana Maeda.
Maeda: Saya mencintai Indonesia Merdeka. Mereka selanjutnya ke rumah Nishimura.

Terjadi percakapan antara Nishimura dan Hatta dkk:
Nishimura:Jepang tidak bisa mengubah status Quo, tentara jepang telah menjadi alat Sekutu. Sayang Jepang tidak bisa menolong para pemimpin Indonesia menyelenggarakan Kemerdekaan.

Hatta: (Memperingatkan Janji Jepang pd Soekarno-Hatta-Radjiman-lewat Jenderal Terauchi)

Nishimura: Tapi sekarang Rapat PPKI terpaksa kami larang.

Hatta dkk: Kalau jepang tidak bisa memenuhi janjinya, Rakyat Indonesia akan memerdekakan dirinya, Jepang jangan coba-coba menghalangi.

Nishimura: Kami hrs menghalangi terjadinya perubahan pd Status Quo.

Hatta dkk: apakah Jepang akan menembaki Pemerintah Indonesia ?

Nishimura: Apa boleh buat, tapi Bersabarlah Sekutu memperhatikan keinginan Bangsa Indonesia, kami terpaksa menjilat pada Sekutu.

Jam 24.00: sidang PPKI di rumah Laksamana Maeda di hadiri para pemimpin Pemuda,Pergerakan dan anggota Cuo Sangi In,sementara itu diluar berkumpul banyak Pemuda

17 Agustus 1945: jam 10.00 pagi proklamasi di bacakan oleh Ir.Soekarno dihalaman tempat kediamannya, jalan. Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang dihadiri sekitar 500 orang yang terdiri dari : Para Pemuda, kaum pergerakan, Barisan Keamanan,dan massa Rakyat Jakarta.

(1945-1949)

Pada masa Revolusi Nasional Para Pemuda, pelajar dan Intelektual tergabung dalam Laskar Rakyat,Tentara Pelajar, Serikat Buruh dan Partai-Partai politik (Parpol). Bahasa sama pada waktu itu;mempertahankan Dan Menyelesaikan Revolusi Nasional. Karakter dari Pemuda, Pelajar adalah Anti Imperialisme.

Dikeluarkannya Maklumat X oleh KNIP mendorong berdirinya partai-partai politik. Hal ini sebenarnya sangat kontra revolusi karena dapat memecah belah persatuan rakyat Indonesia yang di kotak-kotakan oleh partai-partai politik yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Gerakan yang ada pada saat itu (Berupa laskar-laskar, seperti laskar pemuda, laskar pelajar, dan laskar lainnya) juga ikut terkotak-kotakan oleh partai politik. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadinya bentrokan-bentrokan antar laskar-laskar bersenjata yang dimiliki oleh partai-partai tersebut. Seperti bentrokan antara Laskar merah dari PKI dengan Front Hizbullah dari Masyumi, atau Laskar Bambu Runcing/Laskar Rakyat Jakarta Raya sayap bersenjata dari Persatuan Perjuangan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasukan pemerintah.

Strategi pokok yang dipakai pada waktu itu adalah Perjuangan diplomasi sambil sedikit melalui perjuangan Bersenjata (Dalam Laskar Rakyat).

Pasca Revolusi Kemerdekaan

Polarisasi Kekuatan Dunia

Menelaah Sejarah Gerakan Mahasiswa, sangat erat kaitannya dengan menelaah Situasi Nasional Sejarah politik, ekonomi 1950-1960-an.

Juga tidak bisa tidak harus mempertimbangkan situasi Internasional yang melingkupi. Sejak Pasca perang dunia II, negara-negara yang dulu tergabung dalam aliansi Fasisme, Jepang, Italia dan Jerman terpecah menjadi 2 Blok Blok Barat yang berideologi Liberal-Kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang berideologi Kerakyatan*Sosialis-Komunis dengan Pimpinannya USSR (Uni Soviet Sosialis Republik), polarisasi ini membawa Bumi kedalam kekuatan Militer, Politik yang di kenal dengan Perang dingin.

Selain Indonesia yang pada saat itu baru merdeka, banyak negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika Latin mengumandangkan kemerdekaannya. Perlu di ketahui bahwa sebagian besar Negara-Negara yang baru merdeka tersebut pada umumnya bebas dari cengkeraman-Cengkeraman dari Negara-Negara Imperialis yang berideologi **Liberal Kapitalis maupun ultra Nasionalist Sempit atau yang dikenal dengan ***Fasis.

Atas dasar hak setiap bangsa di Belahan dunia untuk merdeka dibentuklah Konferensi Asi Afrika sebagai Gerakan dari Negara-Negara Asia, afrika, maupun Amerika Latin yang tidak mau terlibat dalam polarisasi ke 2 negara tersebut.

Amerika pada saat itu di pimpin oleh seorang Purnawirawan Jenderal yang sangat Konservatif-Eisenhower-bekas panglima Sekutu di Eropa.

Eisenhower bertekad setelah menghancurkan Fasisme, tiba saatnya menhancurkan Komunisme dan para simpatisannya.

Dalam konteks itu ia berprinsip bahwa”bersikap Netral itu Amoral. Padahal inti dari Konfrensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok adalah sikap sebagai bangsa yang Berdaulat, bebas menentukan nasib sendiri.

Setelah kemerdekaan bentuk negara Indonesia berganti menjadi RIS (negara federasi) pasca perjanjian KMB dan UU yang berlaku adalah UUDS 1950 yang membatasi kekuasaan presiden Soekarno dan menyerahkan kepengurusan pemerintahan kepada Perdana Menteri. Sistem pemerintahan ini dinamakan sistem Parlementer. Ternyata dalam perjalanannya tidak ada Perdana Menteri beserta kabinetnya yang mampu bertahan lama karena antar partai politik yang duduk di parlemen saling menjatuhkan.

Tahun 1953, juga telah dilangsungkan pendaftaran pemilih bagi keperluan pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 1955. Pemilu pertama ini berpegang pada prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia). Pemilu ini adalah yang pertama kali diselenggarkaan setelah Indonesai merdeka. Ada pun susunan pemenang pemilu adalah sebagai berikut :
1.       PNI 57 kursi.
2. Masyumi 57 kursi.
3. Partai NU 45 kursi.
4. PKI 39 kursi.
Hal yang cukup mencengangkan adalah hasil yang signifikan yang diraih oleh PKI karena pada saat itu banyak orang menilai pasca peristiwa Madiun, kondisi PKI sudah hancur disebabkan karena banyak pemimpin-pemimpin partai (Musso, Amir Syarifudin, Maruto Darusman, Oey Gwe Hwat, Suripno tewas).

Masyumi cukup puas dengan mempunyai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Partai Katolik (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia – PMKRI), Parkindo GMKI, ketiganya bernafaskan agama yang bersama-sama dengan 4 organisasi lokal lainnya yaitu Perhimpunan Aktivis Kedokteran Hewan (bogor), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM) membentuk Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI merupakan wadah organisasi ekstra universitas di tingkat nasional. PPMI dibentuk oleh 7 organ ini melalui konfrensi mahasiswa di Malang pada tanggal 8 – 10 Maret 1947.

Pada 8 Juni 1950, bergabung pula Badan Kongres Mahasiswa Indonesia (BKMI), Federasi dari 5 organisasi mahasiswa lokal yang berada dibawah pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan seperti Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Bandung (PMIB) yang kemudian berkembang menjadi Perhimbunan Mahasiswa Bandung (PMB) dan Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Surabaya (PMS) yang kemudian berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Perhimpunan Mahasiswa Bogor (PMS) kemudian menjadi Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Jakarta (PMIJ) kemudian menjadi Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), serta Perhimpunan Mahasiswa Makasar.

SITUASI POLITIK NASIONAL (Pertarungan Elit Politik)

Keterlibatan Militer di bawah komando AD, dalam lapisan Pemuda,Pelajar/mahasiswa di mulai dari penandatanganan”Piagam Kerja sama pada tgl 17 Juni1957 yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjend Pemuda Rakyat) SM.Thaher (Pemuda Demokrat) A.Buchori (GPII), K.H Wahib Wahab (Ansor) dan Let.Kol Pamurahardjo (AD). Strukturalisasi ini di nyatakan dalam Badan Kerja Pemuda Militer(BKS-PM). Fase ini adalah titik dimana Pergeraakan Mahasiswa mulai dilirik.

Pertarungan antara elit adalah yang melatar belakangi Gerakan Mahasiswa Indonesia, selain tentu saja hal itu tidak terlepas dari kematangan-kematangan Ideologi-Ideologi yang ada dibanding tahun sebelumnya.

Gerakan Mahasiswa Thn 1966 perlu dibeberkan secara lebih proporsional, secara Kritis dalam memahami aspek Gerakan Mahasiswa beserta dampak yang di timbulkannya di tengah-tengah rakyat Indonesia.

Sebab bila dibandingkan dengan yang lain Gerakan Mahasiswa thn 66 paling besar Klaimnya terhadap pembentukan Politik, maupun dampaknya terhadap pembentukan opini rakyat hingga saat ini.

Selain merupakan Sejarah “Paling Gelap”selain sangat Kontroversial.

Pemaparan ini setidaknya membawa ”Dimana sebenarnya Gerakan Mahasiswa itu bersifat Otentik atau berdasarkan Moral Force dalam menghantam kekuasaan. Dimana sadar atau tidak Gerakan Mahasiswa terjebak dalam Permainan politik pihak lain. Apakah itu Militer, dan Parpol yang ada saat itu.

Hal ini menjadi persoalan yg sangat krusial yang menyelubungi Gerakan Mahasiswa 66. Karena itu perlu didapatkan rekonstruksi baru berdasarkan data-data baru,

Pertarungan antara berbagai kekuatan Politik pada Sektor Mahasiswa (baca;Student) merupakan pertarungan Ideologi antara Elemen progresif yang bersandarkan pada politik kerakyatan yang berbasiskan pada kekuatan-kekuatan Mayoritas Rakyat yaitu; (Buruh,Tani).

Dibawah Payung GMNI ”Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PNI-Asu)- Partai Nasional Indonesia Ali Sastroamijoya dan Ir. Surachman, Perlu di ketahui GMNI terfragmentasi menjadi 2 kubu yaitu GMNI-nya Ali- Surachman yang Kerakyatan (Kiri) sependapat dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dipimpin oleh Hardoyo, yang dikenal berada di bawah PKI. Dengan GMNI yang masih dianggap menjalankan misi Nasionalis (GMNI-Osa usep – Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya) yang diidentifikasi sebagai nasionalis kanan dan anti PKI. Elemen Student lainnya yang reaksioner adalah HMI, PMKRI,dan GMSos.

Karakter mahasiswa yang pertama di sebutkan diatas adalah Anti Imperialisme dan Feodalisme. pekikan-pekikan seperti; Anti Neo Kolonialisme, Ganyang Kapitalis Birokrat, Ganyang Kaum komprador, Amerika kita setrika Inggris kita linggis adalah bahasa yang di kumandangkan dalam setiap aksi.

Sedangkan pekikan-pekikan student yang ke dua Komunisme satelit Soviet, Anjing Peking, Diktator, Komunisme menghalalkan segala cara adalah bahasa-bahasa yang sama di kumandangkan oleh pihak-AD, Masyumi, PSI, NU.

Politik Indonesia saat itu diwarnai”Pertentangan antara ABRI, Soekarno- PKI dalam merebut panggung politik .

Soekarno dengan semboyan NASAKOM-nya bertemu secara ideologi dengan PKI saat itu. Apalagi saat itu dengan slogan Amerika kita seterika Inggris Kita Linggis dan “Go to Hell With your aids” adalah salah satu pertanda indonesia dalam kepemimpinan Soekarno Anti Blok Barat.

Militer karena ”merasa berjasa” dalam pembentukan Republik menuntut hak-hak istimewa dalam Politik.Tidak jarang tekanan politik yang memakai cara-cara ”Politik Militer” dimainkan oleh pihak-pihak ABRI saat itu.

Salah satu contonya, termasuk Nasution Kolonel Zulkifli Lubis dan Kemal Idris pada 17 Oktober 1952 yang menuntut di lakukannya perubahan politik yang menjamin aspirasi mereka dengan cara mengepung istana dengan persenjataan lengkap dengan mengarahkan moncong meriam ke Istana negara.

Selain itu Hadirnya Partai-partai Politik antara tahun 1955 sampai 1959 menambah kekuatan baru.

Militer melihat tidak efektif dalam memutuskan suatu masalah, sedangkan permasalahan membutuhkan penyelesaian yang cepat. Sedangkan bagi Soekarno Banyaknya partai menyalahi semangat Revolusi.
UU Darurat di berlakukan mengingat banyaknya pemberontakan yang terjadi, menambah peluang ABRI bisa berbuat lebih banyak.termasuk dapat mengawasi DPR hasil pemilu 1955.

Karena dengan alasan situasi yang tegang dimasyarakat, dengan Demokrasi Parlementer yang goyang, jatuh bangunnya kabinet, adalah alasan yang tepat mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UU 45.

Juga tidak hanya hasil sidang konstituante yg di buang, DPR dan Badan Konstituante hasil pilihan rakyat 1955 turut di bubarkan.(menurut Petter Bitten ”Keberhasilan Militer mendorong Soekarno adalah kemenangan yg sesungguhnya bagi Kaum Militer”.

Sebab dengan di berlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali ke UU 45 dengan sendirinya memberi peluang kepada Soekarno untuk memeperoleh kekuasaan UU yang bersifat presidensil tersebut yang memberikan kekuasaan yg sangat besar pd Soekarno, selama demokrasi parlementer yang memberikan kekuasaan eksekutif pada perdana menteri.

Namun dengan di berlakukannya UUD 45 merupakan satu keuntungan bagi Militer. Sebab dengan begitu dapat memberikan keuntungan yang besar. Disinilah kelihatan Bargaining Politik yang aneh antara Militer dan Soekarno.

Sadar akan kekuatan politik yang ada Soekarno kemudian menggandeng Partai/Organisasi besar:NU, PNI dan lebih condong ke PKI. Pembentukan Front Nasionalisme, agama dan Komunis (Nasakom) membuat militer semakin terpojok. Indonesia makin ke Kiri setelah menerima senjata dari Soviet, yang bermula keengganan Amerika membantu persenjataan dalam masalah irian Barat. Padahal Tentara Indonesia baik yg berlatar belakang dari KNIL maupun PETA mayoritas Anti Komunis, ditambah lagi saat itu banyak perwira Militer di Indonesia banyak di latih Di Amerika Serikat. Program pelatihan tersebut yang jelas anti komunis selain itu minat utama A.S adalah menggunakan Indonesia sebagai tameng dalam menghadapi Komunis.

Di kabinet Militer menguasai 1/3 kursi,&1/3 Gubernur dari wilayah-wilayah itu adalah orang-orang militer.

MILITERIS DAN PKI

dI tahun 1960 Undang-Undang Landreform lahir yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) & UUBH (Undang-Undang Pokok Bagi Hasil) Intinya tidak boleh mempunyai tanah terlalu luas walaupun orang tersebut membelinya, hal ini adalah awal Pertentangan antara Militer, NU, dan sebagian PNI yang merupakan tuan tanah dengan PKI, PKI menginginkan agar UU itu dijalankan secara konsekwen tapi ternyata AD dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya kurang puas. AD sebagai kekuatan Militer yg terkoordinasi dan mempunyai kelebihan yg tidak di punyai oleh kelompok lain adalah “Kepemilikan tunggal Senjata” merasa bahwa atas usaha sebagian besar dari mereka dalam mempertahankan Repulik merasakan Soekarno terlalu dekat dgn PKI (telah di sebutkan diatas).PKI dalam melakukan aksinya yaitu melakukan perampasan tanah-tanah yang tidak sesuai dengan UU Landreform tersebut, kadang dalam perampasan tanah kekerasan terjadi hingga jalan masuk ini yg di gunakan oleh pihak AD hingga didaerah yg keras sering terjadi pertumpahan darah.
Selain itu masalah-masalah seperti Pembebasan Irian Barat, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi (DI/TII-Masyumi, PRRI/PERMESTA- PSI, Konfrontasi dengan Malaysia, penurunan mata uang dari 1000 ke 100 rupiah (scenering).
Situasi international ditahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno sesungguhnya semakin menghangatnya perang dingin antara Blok imperialis A.S dengan kekuatan NATO melawan Blok Komunis Uni Sovyet dengan Pakta Warsawanya. Sedangkan Indonesia berada di bawah pimpinan Bung Karno berada dalam kekuatan negara ke 3 yang sedang berjuang memerdekakan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sebagai bentuk kekuatan baru yang sedang tumbuh yang oleh Bung Karno dinamakan “The New Emerging Forces” melawan “The Old Established Forces”. Dalam situasi seperti inilah para kaki tangan imperialisme dunia didalam negeri bermain untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Sebagai buktinya di ketemukan dokumen Gilchirst dikedubes Inggris yang pada waktu itu didemonstrasi dan diobrak-abrik oleh ormas-ormas yang tergabung dalam Front Nasional. Isi dari dokumen tersebut adalah dukungan kepada “Our Local Army Friend” untuk menjatuhkan Soekarno. Selain itu ada juga peristiwa lainnya seperti Penggayangan aktivis-aktivis Manikebu oleh Lekra/PKI dan LKN-PNI, melihat kedekatan Soekarno kepada PKI, dan pengikut setia Soekarno melihat bahwa ajaran Soekarnoisme telah diselewengkan, maka mereka mendirikan Barisan Pendukung Soekarno (BPS) dibawah pimpinan Sayuti Melik yang reaksi berikutnya dari PKI adalah menuntut pembubaran BPS. BPS kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Desember 1964. Aksi-aksi pemboikotan Film AS dan tindakan terhadap Asosiasi Film Amerika (AMPAI) dan Bill Palmer, pengambil alihan perusahaan-perusahaan Inggris, pembubaran partai Murba, pengganyangan terhadap hal-hal yang berbau kebudayaan barat (musik ngak-ngik-ngok), aksi pengganyangan 3 setan kota (koruptor, kapitalis birokrat, birokrat komprador) dan 7 setan desa, pengganyangan menuntut pembubaran HMI (sayap mahasiswa masyumi) pada saat rapat akbar Pemuda rakyat dan CGMI seperti nampak pada pidato D.N Aidit bahwa CGMI “lebih baik pakai sarung jika tidak bisa membubarkan HMI ”. Bentrokan-bentrokan antar golongan mahasiswa reaksioner seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI-Osa-Usep dengan CGMI dan GMNI-Asu. Aksi-aksi menentang agresi AS terhadap Vietnam.

Sebagai reaksi terhadap aksi-aksi dari kelompok kiri, kaum reaksioner dalam negeri (AD) yang berkomplot dengan kaum imperialis As juga meningkatkan aktifitasnya menimbulkan provokasi-provokasi.

Dan pada puncaknya semakin terakumulasi sampai peristiwa G 30 S, menurut versi Angkatan Darat dan Gestok menurut Soekarno. Yang semakin membuyarkan harapan massa rakyat saat itu. Harga-Harga barang semakin naik. Dengan adanya masalah-masalah tersebut mahasiswa mulai melakukan protes untuk mengkritik keadaan tersebut.

Pada mulanya gerakan ini masih sangat terbatas jumlahmya, hanya sekitar 75 orang paling banyak.Tema utama dari Demonstrasi tersebut adalah Mengutuk Gerakan Kontrarevolusi dan GESTAPU dan semua tuduhan itu ditujukan kepada PKI beserta ormas-ormasnya.
Seluruh Media Massa sudah dibredel oleh militer, sumber informasi hanya dapat diperoleh dari koran berita Yudha (harian militer AD), sehingga massa dengan mudah dipengaruhi. Yang melakukan aksi pada saat itu tidak saja dilakukan oleh pemuda, pelajar/mahasiswa saja tapi Parpol dan organisasi sosial lainnya bahkan tentara turut serta. Pembubaran PKI serta Turunkan harga kebutuhan pokok adalah tuntutan-tuntutan umum saat itu.

Gerakan Mahasiswa yang ada dan demonstrasi yang di lakukan mereka bersifat lokal dalam arti hanya sekitar kampus, Kota ataupun Kedaerahan. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) saat itu Mayjen.Sjarif Thajeb memberikan saran agar dibuat organisasi nasional.
Mahasiswa menyambut maka pada tgl 25-Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Tgl 10 Juni 1966 mahasiswa mendeklarasikan Heri Kebangkitan Mahasiswa sambil mengusung TRITURA (3 tuntutan Rakyat) Bubarkan PKI, Re Tool Kabinet Dwi kora danTurunkan Harga. Dukungan terhadap mahasiswa justru mendapat sambutan dari masyarakat bawah.
Mulai dari tulisan di pamflet-pamflet, coretan-di dinding tembok kantor pemerintah sampai mendatangi para pejabat bahkan kedutaan-kedutaan asing, seperti RRC yang dituduh melakukan banyak intervensi terhadap Indonesia.
Gerakan mahasiswa ini dituduh sebagai Agen CIA, namun beberapa pimpinan KAMI mengatakan “aksi kami karena terdorong oleh keadaan rakyat yg semakin sengsara.”
“kalaupun ada yang menunggangi kami maka merekalah yang menunggangi Amanat Hati Nurani Rakyat. Dalam satu ketika mereka mengatakan ”aksi kami adalah Moral Force.”

Yozar Anwar ”penerjemah bukuPergolakan Mahasiswa Abad 20”-seorang presidium KAMI mengatakan ”GM muncul sebagai curahan perasaan rakyatyg mendambakan perubahan untuk kemajuan

Dukungan KAMI semakin luas tidak hanya dari Parpol maupun Organisasi sosial lainnya.
Dalam Rapat apel siaga Jend.Nasution hadir dalam apel di Aula UI. Pangkostrad Mayjen Soeharto ”Batista” Presiden dari Indonesia hanya memberikan sambutan tertulis.
KOSTRAD dan RPKAD yang telah lama membantu mahasiswa baik dalam penjagaan ketika aksi, melakukan rapat-rapat untuk konsolidasi.
Sebagaimana yang di ucapkan Kemal Idris: untuk menghindari penculikan-penculikan mahaisswa oleh Pasukan Cakrabirawa maka Tokoh utama KAMI seperti : Cosmas Batubara, Abdul.Gafur, David Napitupulu mendapat perlindungan dari KOSTRAD,
Bahkan mereka sampai menginap di Asrama tersebut. Ini bukanlah kerelaan hati maupun kikhlasan Militer tapi merupakan bagian dari Pertarungan Kekuasaan.
Akhir cerita PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan dan dilarang serta berikutnya setelah itu adalah penangkapan 15 menteri dari kabinet 100 menteri. Soekarno sendiri pada akhirnya diturunkan lewat keputusan rapat MPRS yang pada saat itu keanggotaannya sudah diganti dengan orang-orang yang pro-Jend. Soeharto dikuatkan dengan penetapan TAP MPRS No. 33 tahun 1967. Maka akhir cerita selesailah orde lama dan pupus sudah cita-cita masyarakat sosialis Indonesia, karena berikutnya dibawah kepemimpinan Soeharto Indonesia bergabung dengan blok kapitalis-imperialis Amerika. Serta menolak kebijakan Komunisme.
Pada masa ini pula mulai ada pemisahan antara pemuda dengan mahasiswa, dan mahasiswa mulai terpisah dari akar rumputnya, yaitu masyarakat. Pada saat ini pula Indonesia membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk masuknya modal asing yang itu akan dipergunakan untuk menghisap Sumber Daya Alam Indonesia dan menghisap seluruh rakyat Indonesia.

Orde Baru.
Naiknya Soeharto membuat seluruh oposisi hancur dengan dibubarkannya PKI dan organisasi afiliasinya tidak ada organisasi yang berbasis massa yang mengkritik pemerintahan yang didominasi militer. Kelompok kelas menengah muslim maupun yang sekuler mendukung apa yang dinamakan Orde Baru, seperti juga banyak aktivis mahsiswa. Tetapi segera menjadi jelas bahwa kelompok komunis bukanlah satu-satunya kelompok yang mendapat derita dari pemerintahan baru.

Sejak pemimpin baru mencoba mengontrol masyarakat dan mencegah berkembangnya setiap bentuk organisasi independen, banyak aktivis kelas menengah menjadi sadar dan mulai mengkritik rezim. Sejak 1970 sampai Januari 1972 protes dialamatkan pada tindak korupsi khususnya yang terjadi di perusahaan minyak negara (pertaminta). Proyek Taman Mini Indonesia yang juga di sponsori istri presiden merupakan target berikutnya. Januari 1972, pemerintah menindak protes-protes tersebut dengan menangkapi para pemimpin mahasiswa maupun editor media massa. Arief Budiman salah seorang pemimpin mahasiswa pindah ke Luar Negeri setelah huru-hara.

Banyak aktivis kelas menengah mengambil perdebatan yang lebih modern dan kurang konfrontatif. Mereka mendirikan LSM yang menangani isu-isu pembangunan perempuan, lingkungan dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena profile politik mereka yang rendah. Mereka lebih meloloskan diri dari bentuk-bentuk penindasan yang lebih hebat agar bisa melanjutkan advokasi mereka.

Aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal tidak dengan pendekatan moderat LSM itu. Tahun 1974 satu generasi baru aktivis mahasiswa menggalang demonstrasi untuk memprotes kebijakan pembangunan dan dominasi modal Jepang di Indonesia. Mereka di pengaruhi teori kemandirian (Independent Teori) dan barangkali juga oleh demonstrasi mahasiswa di Thailand tahun 1973 yang mengakibatkan berakhirnya rezim militer disana. Protes ini didukung unsur-unsur militer.

Hariman Siregar mengaku telah ,mengantongi dukungan dari sejumlah pengusaha Indonesia. Menyusul demonstrasi dan kerusuhan 15 Januari 1974 (dikenal dengan Malari) beberapa pimpinan mahasiswa diantaranya Hariman dipenjarakan. Setelah peristiwa Malari Kopkatip Sudomo mensinyalir kehidupan kampus menjadi apatis. Dr. Syarif Tayeb (mendiknas) menerapkan SK. 028 sebagai tempurung untuk mengurung gerakan mahasiswa hanya di dalam kampus.

Pada masa itu pemerintah begitu kelihatan menerapkan security aproach. Penguasa militer misalnya Pangdam biasanya dalam mengadakan brifing justru kesempatan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mendesak pencabutan berbagai larangan yang mematikan mahasiswa. Perjuangan berat untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan itu supaya ditempuh dengan berbagai cara, dengan membentuk grup-grup diskusi dikampus, pagelaran kesenian (teater) yang banyak memebrikan sindirian terhadap situasi kehidupan politik saat itu, pembacan puisi yang kebanyakan ekspresi kritik sosial, menjamurnya perkumpulan musik rakyat yang dipentaskan dalam acara kemahasiswaan.

Tahun 1977- 1978 lagi-lagi mahasiswa menentang rezim orde baru sekalian demokrasi dan HAM merupakan konsep kunci gerakan mahasiswa ini. Tahun 1977 banyak persitiwa penting yang dicatat mengenai lahirnya gerakan mahasiswa seperti pertemuan di kota malang jatim atas prakarsa mahasiswa yang bergerak di bidang Pers, akhir tahun 1970-an dan 80-an terjadi pula kerusuhan buruh gelombang pemogokan melanda wilayah perindustrian Jakarta tapi setelah ada intervensi militer frekuensinya menurun tajam.

Perjuangan buruh saat itu tidak terkait dengan protes-protes mahasiswa dan kelas menengah lain. Menyusul demonstrasi anti pemerintah 1978 aktivitas politik dikampus dilarang melalui kebijakan yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) / Badan Koordinasi Kampus (BKK).

Hal ini mengantarkan pada terciptanya forum-forum lain untuk diskusi dan aktivitas politik kelompok studi dan LSM. Kelompok-kelompok studi dibentuk oleh mahasiswa memainkan peran penting dalam memasukan ide-ide radikal dari teori kemandirian Marxisme, Feminisme, Islam radikal, dan Teologi Pembebasan.

Suatu media mahasiswa informal bangkit. Seiring dengan perkembangan pembangkangan di bawah ini muncul pula beberapa pembangkang elit. Pada tahun 1980, beberapa pensiunan jendral, mantan politisi sipil, intelektual dan tokoh mahasiswa mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang mengkritik presiden Soeharto atas idiologi negara pancasila dan konsep dwi fungsi ABRI. Pernyataan ini lebih dikenal dengan petisi 50. Akhirnya penandatangannya dilarang meninggalkan Indonesia, kontak dengan media, dan disisihkan dari kehidupan elit.

Banyak kelompok digenerasi baru aktivis mahasiswa yang berkembang pada akhir 80-an mencoba menghubungkan diri dengan pekerja dan petani. Yang semakin menuntut kondisi yang lebih baik. Demokrasi dan HAM menjadi kata kunci dalam perjuangan tersebut dan banyak LSM baru yang vokal dan radikal dibentuk pada akhirn 1980 dan awal 1990.

Pengalaman dibawah pemerintah orde baru tentunya melahirkan bibit-bibit pembangkang prodemokrasi. Dibalik perkembangan prodemokrasi adalah struktur kelas yang sedang berubah dengan tumbuhnya kelas pekerja dan menengah. Pemikiran baru Islam juga ikut menyumbang bagi tersebarnya nilai-nilai demokrasi.

Untuk menguraikan secara lebih rinci aktor prodemokrasi yang berbeda-beda membuat analisis ini teratur ada baiknya dibedakan 4 kategori aktor :

Kelompok pembangkang elit dan intelek.
Generasi LSM senior.
Aktivis Mahasiswa.
Generasi baru LSM dan prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Selain isu-isu demokrasi dan Ham ada 2 isu spesifik yang memiliki nilai penting yang saman sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Ini adalah politik kelas bawah, yakni isu-isu kelas buruh dan tani. Isu ini digarap oleh lebih dari 2 aktor yang tersebut pada penggolongan diatas.

Di tahun 1980 sebuah kajian tentang pembangkangan mahasiswa di Indonesia, menyimpulkan laporan tetang 155 demonstrasi mahasiswa dalam periode 1987-1990 bertentangan dengan protes-protes mahasiswa tahun 1970 yang berfokus pada isu-isu nasional, misalnya strategi pembangunan dan peran modal asing serta korupsi. Gerakan mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an berkonsentrasi pada isu-isu lokal. Mahasiswa memihak rakyat miskin yang dipaksa meningkat oleh pemerintah (kaki tangan pemodal)

Salah satu contoh mengenai aliansi antara mahasiswa dan petani, adalah Kelompok Solidaritas Pembangunan di Kedung Ombo (KSKPKO) kelompok ini meliputi mahasiswa-mahasiswa dari 45 Universitas dan akademi, seniman, pekerja sosial, dosen, dan sebagainya. Kolaborasi oleh aktivis-aktivis mahasiswa dengan rakyat miskin di pedesaan dan perkotaan, merupakan wajah baru aktivisme mahasiswa di era orde baru. Kontak intensif antar aktivis mahasiswa diberbagai kota melalui kelompok-kelompok study dan Pers mahasiswa merupakan ciri lain yang membedakan gerakan mahasiswa yang baru ini. Sementara aktivisme mahasiswa pada 1970-an terkonsentrasi terutama di Jakarta dan Bandung, gerakan mahasiswa yang baru ini jauh lebih tersebar luas. Bertentangan dengan tahun 1970-an, ketika aktivis mahasiswa di organisasi dalam lembaga-lembaga kemahasiswaan resmi, generasi baru aktivis mahasiswa ini membentuk sejumlah besar kelompok aksi dengan sasaran khusu, mempunyai kesadaran politik lebih tinggi dan lebih siap dalam mengambil resiko aksi politik dibanding generasi gerakan mahasiswa sebelumnya.
Hanya sekitar 0,6 % dari penduduk Indonesia adalah mahasiswa, dan dari jumlah ini hanya sebagian kelompok yang amat kecil, kurang lebih 1 % yang dapat dicap sebagai aktivis, kabanyakan mahasiswa di Indonesia bersikap pasif dalam politik jika tidak apatis.
Mahasiswa Indonesia terutama berasal terutama dari kelas menengah dan karena itu ekonomi relatif aman. Banyak dari aktivis mahasiswa radikal adalah anak dari elit militer dan elit politik serta barang kali karenanya mendapatkan perlindungan politik. Solidaritas mereka terhadap petani dan buruh serta ketertarikan mereka pada teori-teori politik yang menentang kepentingan-kepentingan kapitalis “menunjukan bahwa” peran mereka dalam perkembangan politik saat ini adalah lebih merupakan bagian dari peningkatan protes masyarakat.
Meskipun beberapa aktivisme mahasiswa telah dibiarkan oleh otoritas, cara penindasan telah dipergunakan untuk mengontrol gerakan mahasiswa. Pertemuan-pertemuan dan demonstrasi sering dibubarkan secara kasar dan publikasi terhadap gerakan mahasiswa dilarang. Sejumlah aktivis mahasiswa dipenjarakan pada akhir 80-an dan awal 90-an, menyusul pengadilan-pengadilan politik. Kasus yang paling terkenal diantaranya adalah kasus “dua” Bambang dan Bonar di Yogyakarta. Bambang Subeno, seorang mahasiswa ilmu politik UGM, ditangkap pada 9 Juni 1988 karena menjual buku terlarang karya Pramudiya Ananta Toer. Pada September 1989 dia dinyatakan bersalah atas tuduhan subversif dan dihukum 7 tahun penjara. Temannya Bambang Isti Nugroho, seorang asisten Lab. Fisika UGM dan Koord. (Kelompok Study Palagan) ditangkap pada 20 Juni 1988 juga karena tuduhan menjual buku-buku terlarang (berbau Marxis) September 1989 dia dihukum penjara. Juni 1994 kedua Bambang diberi kebebasan bersyarat. Bonar Tigor Naipospos ditangkap pada Juni 1989. Ketika itu ia sedang menyiapkan thesis pada gerakan mahasiswa 80-an dan dia sendiri adalah tokoh mahasiswa terkemuka yang aktif dalam kelompok-kelompok study di Yogya. Tahun 1990 dia dihukum 8 tahun, 6 bulan penjara. Dia diberi pembebasan bersyarat pada bulan Mei 1994. Aktivis mahasiswa lainnya yang diadili pada 1980-an dan 1990-an diJakarta adalah Bambang Beator Suryadi yang ditangkap pada Agustus 1989 karena menyebarkan pamflet dan mengorganisir demonstrasi menentang kenaikan listrik.
Peradilan penting lain terhadap aktifis-aktifis mahasiswa terjadi diBandung menyusul demonstrasi menentang kunjungan Mendagri Rudini ke kampus ITB pada 5 Agustus 1989. 6 mahasiswa menerima hukuman masing-masing 3 tahun. Pada 14 Desember 1993 sekitar 200 mahasiswa yang tergabung dalam jaringan FAMI berdemonstrasi didepan parlemen mereka menuntut diakhirinya pendekatan keamanan bagi masalah-masalah sosial dan berpendapat Presiden Soeharto bertanggung jawab terhadap penyelewang HAM. Salah satu slogan mereka berbunyi “Seret Presiden Kehadapan SI-MPR”. Demonstrasi ini berlangsung selama beberapa jam, tapi secara tiba-tiba dengan kasar dibubarkan paksa oleh militer. Beberapa mahasiswa terluka dan 21 orang ditangkap. Selama pengadilan terhadap 21 mahasiswa itu terjadi demonstrasi di pengadilan maupun aksi solidaritas di banyak kampus di Indonesia. Didalam persidangan tersebut mereka melihat bahwa hakim hanyalah alat pemerintah. Pelanggaran HAM oleh orde baru mulai dari penyembelihan orang-orang yang dianggap komunis (tahun 1965-66), aksi teror di aceh, Timor-timor, Papua Barat, biasanya dibahas dan dikutuk.

Ketimpangan sosial merupakan perhatian utama generasi baru aktivis mahasiswa, buku-buku berhaluan kiri banyak dipelajari seperti buku-buku Paulo Ferre, D.N Aidit, Tan Malaka dan buku lainnya.
Pada dasarnya aktivis mahasiswa 1990-an dapat dibagi menjadi 3 kategori utama yang menyangkut idiologi mereka. Yaitu :
kelompok-kelompok yang menggunakan wacana Marxis dan mencoba membangun gerakan massa yang mencakupi buruh dan petani.
kelompok populis kiri yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi dan kampanye High Profile sering langsung menentang Presiden Soeharto.
kelompok Muslim.
Salah satu kelompok mahasiswa paling radikal dan aktif di Indonesia pada akhir 80-an adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). 1989 kelompok ini mengklaim memiliki 1500 anggota dari 20 Sekolah Menengah Umum dan Universitas di Yogyakarta. FKMY tidak membatasi kegiatannya di Yogyakarta saja. Kelompok ini juga aktif di Kedung Ombo dan mengirimkan orang untuk melakukan protes di Semarang dan Jakarta. Pada 1991 terjadi perpecahan di tubuh FKMY yang menghasilkan pendirian 3 kelompok baru utama :
Yang populis tetapi anti komunis.
Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (yang lebih radikal).
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta dan Kelompok Muslim yang tergabung dalam serikat mahasiswa di UII.

Perpecahan itu terjadi karena ada profokasi internal masalah-masalah idiologi dan masalah-masalah pribadi (Subyektifisme). Sebaliknya aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal (yang kenyataannya tidak hanya memiliki perhatian pada isu-isu di dalam kampus) tapi mencoba menjangkau petani dan buruh mengklaim adanya perbedaan idiologi mendasar diantara organisasi-organisasi mahasiswa. Mereka melihat permasalahan di masyarakat dilandaskan pada analisa ekonomi dan politik. Sementara gerakan mahasiswa yang lain dilihat sebagai “kekuatan moral” semata.
Pada tingkat nasional perbedaan kecenderungan idiologis ini diwakili pada satu sisi oleh FAMI dan disisi lain oleh Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID). Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan yang didisain oleh penguasa militer orde baru dikantor pusat PDI (27 Juli 1996) banyak aktivis SMID yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) ditahan.
Aktivis mahasiswa muslim termasuk yang ada di Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) mengorganisasi demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara (SDSB) pada tahun 1993. protes-protes keras terutama didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral memaksa pemerintah untuk membubarkan usaha-usaha itu. Dan juga aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga mengambil sikap solidaritas untuk muslim di Bosnia dan untuk menentang Korupsi.
Meskipun gerakan mahasiswa ini tidak memiliki basis kuat (massa luas) , ciri paling siknifikan dari generasi aktivisme mahasiswa ini adalah :
Bahwa dia telah melahirkan organisasi-organsiasi politik di Luar Kampus yang menyerukan perubahan politik dan sering kali mencari dukungan pada kaum buruh dan petani. Dengan demikian aktivisme mahasiswa pada akhir 80-an dan akhir 90-an turut ikut andil bagi radikalisasi oposisi demokratis di Indonesia.
Gerakan mahasiswa tersebut juga banyak belajar dari gerakan-gerakan mahasiswa dan rakyat yang terjadi di seluruh dunia seperti gerakan people power di Filipina menumbangkan rezim Marcos, gerakan menumbangkan pemerintah yang dikuasai rezim militer di Thailand dan Korea Selatan. Pengalaman gerakan buruh di Amerika Latin, Polandia dan Spanyol. Kejadian di Lapangan Tianamen (aksi protes mahsiswa di Cina). Sifat tanpa kekerasan dari gerakan massa di Filipina ditekankan sebagai pelajaran penting oleh banyak aktivis di Indonesia. Perlawanan bersenjata melawan kekuatan Fasis “militer Soeharto” dengan rezim orde barunya tidaklah mungkin, tetapi aksi massa yang massif bisa dipakai sebagai strategi untuk menumbangkan Soeharto. Pelajaran strategis yang lebih spesifik dapat juga diambil dari pengalaman pergerakan di Filipina. Kegagalan gerakan kiri di Filipina dalam mengambil kepemimpinan sewaktu menumbangkan rezim Marcos menunjukan pentingnya melengkapi gerakan bawah tanah (Ilegal) dengan sebuah payung yang resmi (Legal) “kami harus belajar dari kesalahan gerakan di Fiipina. Mereka lemah dari strategi tingkat atas. Organisasi kami akan seperti payung, tetapi tidak boleh ada hubungan apapun yang bisa terlihat dengan gerakan kami yang lain, sebab kalau terlihat bahwa ada hubungan antara keduanya, maka semuanya akan hancur bilamana diserang. Karena itu hubungan yang ada harus tidak kelihatan.”
Masuknya krisis kapitalis diseluruh dunia mengakibatkan guncangan yang hebat di Indonesia. Guncangan ini timbul berasal dari seluruh lapisan masyarakat. Sebelumnya perlu diingat bahwa pada awal 1990-an pers-pers kampus dipakai oleh para aktivis untuk menyebarkan propaganda. Selain itu kelompok-kelompok diskusi merupakan tempat untuk mencari dan mencetak kader. Sedangkan advokasi atau pendampingan petani atau buruh merupakan praktek dari teori yang didapat. Kesemuanya ini berjalan beriringan dan tidak terputus-putus.
Melonjaknya harga yang mengakibatkan keresahan pada seluruh lapisan masyarakat tidak disia-siakan oleh para aktivis mahasiswa, buruh, petani dan pemua yang ada dan para senior LSM. Pada akhirnya aksi merebak di mana-mana. Dari awal yang berjumlah puluhan dalam sekejab berubah menjadi ratusan ribu, dan ini serentak diseluruh Indonesia. Setelah pendudukan DPR/MPR oleh mahasiswa akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mundur dari presiden dan digantikan wakilnya.
Seiring perjalanan organ-organ mahasiswa bersatu dalam sebuah jaringan yang bersifat nasional, namun tidak lama, karena kemudian baik organsasi lokal maupun nasional pecah menjadi berkeping-keping. 29 Maret 1998 di Malang dideklarasikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia sebuah organisasi mahasiswa yang bersifat keagamaan. Bagi gerakan prodem sendiri hanya sampai kepada menuntut reformasi tanpa sebuah konsep negara setelah itu dan siapa yang memegang dan bersama dengan siapa. Ini tidak mengherankan karena situasi yang timbul selama tahun 1990-an. Mendorong mahasiswa untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan.
GERAKAN MAHASISWA di Perancis, Jerman, Italia dan Jepang.

1950-AN DAN SELANJUTNYA
Periode demokrasi liberal, diawal tahun 1950-an, yang oleh beberapa sejarawan dikatakan memberi dampak positif bila dilihat dari pendewasaan pendidikan politik ternyata tidak berlaku bagi lahan mahasiswa. Pertemuan Madjelis Permoesjawaratan Mahasiswa (MPM) PPMI dalam bulan Desember 1955 di Bogor memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI di FPI, yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan aktifitas politik mereka: membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali Ke Kampus". Mahasiswa jadinya lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan rekreasi, perploncoan, mencari dana untuk aktifitas kedermawanan dan jarang menghadiri pertemuan-pertemuan yang berwatak serius. Hanya segelintir saja mahasiswa yang prihatin atas kemunduran gerakan mahasiswa tersebut.
Persiapan menghadapi PEMILU tahun 1955 menyebabkan partai-partai berusaha mencari kader-kader baru yang cakap, dan mereka melihatnya ada pada mahasiswa. Disinilah momentum untuk menggairahkan kembali gerakan mahasiswa, dan pada kurun inilah terbentuk organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih kuat berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI, afiliasinya ke PNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GERMASOS, afiliasinya ke PSI, terutama berbasis di UI), Himpunan Mhasiswa Indonesia (HMI, afiliasinya lebih ke MASYUMI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI, pada masa demokrasi terpimpin CGMI secara terbuka berdampingan dengan PKI). Sementara itu PPMI setuju dengan posisi yang apolitis. Hanya pada Konggres PPMI ke-IV tahun 1957, ketika organisasi-organisasi yang berafiliasi ke partai diperbolehkan menjadi anggota PPMI, maka PPMI berhasil didorong maju. Hal ini bisa dipahami karena banyak jabatan eksekutifnya yang kemudian dipegang oleh CGMI dan GMNI, terutama setelah konggres PPMI ke-VI tahun 1961. Ajang kuasi peperangan partai-partai di kampus identik dengan ajang kuasi di PPMI, berhasil dimenangkan oleh CGMI dan GMNI. Jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa CGMI dan GMNI menang karena memperoleh keistimewaan pada masa demokrasi terpimpin. Sudah dari awalnya mereka berjuang dan berhasil mendorong maju gerakan mahasiswa (PPMI) yang sedang berada dalam status demoralisasi.
Pertentangan lama antara front kiri dan partai-partai kanan, mereka tidak pernah menyatakan diri sebagai front, mendapatkan momentumnya lagi pada saat menghadapi PEMILU dan implementasinya di sektor mahasiswa adalah pertentangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak, dengan HMI, PMKRI dan GERMASOS dilain pihak. Namun ajang pertempuran GERMASOS berada diluar forum PPMI, tidak ada data yang membuktikan bahwa GERMASOS adalah anggota atau berhasil merebut kepemimpinan PPMI. Dalam pertentangan tersebut tema utama isue-isue dari pihak kiri adalah kapitalisme, neo-kapitalisme/imperialisme, feodalisme, dan fasisme (yang nampaknya masih belum jelas elaborasi dan tindakan politiknya). Sedangkan isue-isue dari pihak kanan adalah komunisme (yang identik dengan atheis dan kafir), diktator (identik dengan menghargai kebebasan individu), satelit negara-negara komunis, menghalalkan segala cara, dan sebagainya. Yang semuanya merupakan elaborasi dari kalimat bahwa PPMI telah "condong ke kiri".
Sejak tahun 1956 perpecahan (yang nampaknya wajar dalam kehidupan politik dimana militer sudah mulai turut campur dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, apalagi dalam situasi nasional sebagai berikut:
1. Kehidupan pembangunan perekonomian yang di ganggu oleh pertikaian politik antara pemerintah dan oposisi kanan.
2. Daerah tertentu menekan pemerintah pusat agar pendapatan pemerintah dan mata uang asing dibagikan secara lebih merata ke daerah. Di parlemen MASYUMI, PSI, politikus-politikus oposisi dan pejabat-pejabat militer saling bekerja sama dalam menentang pemerintah. Puncak pertentang ini adalah pemberontakan PRRI dan PERMESTA.
3. Pada saat itu pula Badan Konstituante dibentuk di Bandung sejak 1957 dan bertanggung jawab membuat konstitusi baru. Badan tersebut kemudian dibubarkan, penyebabnya adalah adanya kontroversi utama yang ditimbulkan oleh partai-partai Islam yang berusaha memasukkan Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru.
Didalam pengurusan PPMI perpecahan tidak dapat dielakkan lagi; pada tangga 11 juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan memberikan tekanan agar kembali ke UUD '45. Pada 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI-Djakarta berprakasa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Madjelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Terjadi lagi usaha memundurkan gerakan mahasiswa Indonesia, ketika gerakan mahasiswa berada pada tahap sedang menyerap aspirasi politik yang disebar luaskan oleh partai-partai politik, mahasiswa justru menghidupkan federasi mahasiswa yang tidak memiliki keprihatinan terhadap problem-problem konkrit rakyat.
Misalnya:
1) Mereka tidak mengerti dan tidak mendukung bahwa perjuangan merebut kembali Irian Barat merupakan bagian yang terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme. Irian Barat meliputi area 388.000 km2 atau kira-kira 20% dari luas republik. Irian adalah pulau terbesar di Pasifik, kedua terbesar setelah Greenland. Selain mineral-mineral, di Irian juga terdapat sumur minyak modern (di Sorong) dan deposit emas yang telah diekploitasi Belanda di Boven Digul (Tanah Merah) dan di Merauke. Juga tambang batu bara di Horna, dekat kepala burung. Berdasarkan penelitian para ahli; di Irian Barat ada kemungkinan terdapat uranium. Selidikilah perjanjian antara Belanda-Amerika, baik di bidang militer maupun ekonomi: kepentingan strategis Irian Barat bagi Amerika adalah usaha merelokasi rencana digunakannya Irian Barat sebagai garis strategis militer sepanjang kepulauan Bismark - Solomon - New Britania Investasi kapital Amerika secara bertahap dapat menggeser investasi Belanda: di sektor pengeboran minyak Sorong, perbandingan pada waktu itu telah menjadi 60% (40% Stanvac dan 20% CalTex): 40% juga terdapat perjanjian yang menyatakan bahwa Amerika akan membantu Belanda di PBB dalam persoalan Irian Barat, dan sebagai balas jasanya Amerika akan diperbolehkan mengambil alih pertambangan tembaga yang pada waktu itu dieksploitasi Belanda. Target utama kebengisan Belanda adalah pemuda: Abdullah dan Piet Kadar di bunuh secara kejam; 20 buruh di pengeboran minyak Sorong dikejar-kejar, ditindas hak-hak sipilnya, dan dibuang. Disamping kekejamannya, Belanda juga merampoki karya-karya seni berharga peninggalan nenek moyang Irian Barat,
2) Mereka tidak turut berpartisipasi dalam Deklarasi Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme, 24 April 1957 yang berpartisipasi adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Organisasi Pemoeda Islam Seloeroeh Indonesia (PORPISI) yang isinya merupakan pernyataan untuk saling memperkuat kerjasama dantara rakyat negeri-negeri Asia-Afrika, menghentikan secara tuntas ulah kolonialisme dalam segala bentuknya yang masih bercokol di negeri-negeri Asia-Afrika dan belahan bumi lainnya, menentang percobaan bom nuklir yang akan mengganggu keselamatan manusia, dan menyarankan agar ilmu nuklir di gunakan untuk kesejahteraan manusia sesuai dengan Konvensi Jenewa mengenai energi atom.
Bertambah kukuhnya peranan militer dalam kehidupan masyarakat di Indonesia berkembang sejak akhir tahun 50-an. Pertama, ketika dikeluarkannya peraturan SOB (negara dalam keadaan darurat) yang kemudian meningkat dalam masa perjuangan pembeasan Irian Barat, Kedua, ketika Presiden Soekarno terpaksa harus mengadakan rembuk dengan jendral Nasution, karena Soekarno menunjuk dirinya sebagai Perdana Mentri sesuai dengan UUD '45 (karena negara dalam keadaan SOB).
Dan, akar depolitisasi gerakan pemuda, mahasiswa dan sektor-sektor masyarakat lainnya bermula dari:
1) Penandatanganan kerjasama antara Pemuda dan Angkatan Darat, 17 juni 1957, yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjen Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda Demokrat), A. Bochori (GPII), Wahib Wahab (Ansor) dari pihak pemuda, dan Letkol. Pamuraharjo dari pihak Angkatan Darat. Strukturalisasi kerjasama ini dikukuhkan dalam bentuk Badan Kerjasama Pemuda-Militer (BKS-PM), yang diresmikan pada tanggal 26 juli 1957, sore hari di Istana. Perlu dicatat bahwa 125 organisasi pemuda dari 6 federasi memiliki perwakilan di Dewan Penasehat BKS-PM, dan BKS-PM memiliki struktur yang vertikal: Komite Eksekutif - Dewan Penasehat - Anggota,
2) Militer juga mengharuskan membentuk badan kerjasama dengan kelompok-kelompok fungsional lainnya, misalnya dengan buruh, petani dan wanita.
Tujuan administrator militer sebenarnya adalah untuk mengikis partai-partai politik. Pemimpin-pemimpin pemuda dan mahasiswa dengan menyesal harus menerima peraturan yang keras tersebut, yang kini membatasi gerakan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kekuatan mahasiswa (universitas), terutama sekali, sangat menggairahkan perhatian militer. Bukanlah merupakan kebetulan bila pejabat-pejabat militer memanjangkan tangannya ke Rektor ITB dan UI; Iwa Kusuma Sumantri digantikan Prof. Thoyib sebagai Menteri Pendidikan Tinggi; dan kini lebih banyak pejabat-pejabat militer di administrasi sipil kementrian. Bahkan di luar negeri, atase militer menjadi pejabat yang lebih berpengaruh dalam menangani urusan-urusan mahasiswa yang belajar di luar negeri; di dalam kampus, Resimen Mahasiswa (MENWA) dipasang. Eksponen-eksponen GERMASOS dan HMI diikutsertakan dalam aktifitas-aktifitas luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan beberapa hubungan dengan administrator-administrator militer yang berkaitan dengan urusan-urusan pemuda dan mahasiswa (seharusnya mereka sadar bahwa adanya struktur kelembagaan di militer yang bertugas mengurusi pemuda dan mahasiswa tidak bedanya dengan pola-pola fasis di Eropa). Mahasiswa Bandung yang tidak menyadari hal itu menjadi ladang oposisi mahasiswa dalam menentang Soekarno. Itulah sebabnya, bukanlah suatu yang mengejutkan bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa yang paling militan memimpin demonstrasi untuk menjatuhkan Soekarno berasal dari KAMI Bandung. Dan untuk waktu yang cukup lama, Sekolah Strategi Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung, dibawah pengarahan Kol. Suwarto, mempekerjakan teknokrat-teknokrat lulusan Berkeley sabagai inti instruktur-instruktur sipil.
Sementara Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan karena dituduh terlibat usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, HMI sampai peristiwa '65 berhasil selamat dari pembersihan . Hingga sekarang HMI tetap dapat melanjutkan eksistensinya sebagai organisasi mahasiswa Islam legal, dan hingga tahun 1966 banyak aktif menjatuhkan Soekarno.
GMNI, CGMI, dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiswa dan menyelenggarakan Konggres V PPMI di Jakarta pada juli 1961. Hasilnya adalah pembentukan presidium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB dan MMB. Eksekutif yang baru dianggap oleh lingkungan mahasiswa tertentu (minoritas) memiliki orentasi ke kiri. Pada saat yang sama, GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam tahun 1961 organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isue/peristiwa politik, dan orang akan dapat membaca, dalam pernyataan SOMAL ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan senat-senat mahasiswa yang tergabung dalam MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung pada bulan mei 1963, Konsulat PPMI Bandung mengeluarkan peryataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotif rasial, akan tetapi merupakan isue sosial yang di akibatkan oleh gap si kaya dan si miskin yang terus mendalam. Dalam masalah ini terjadi perpecahan dalam Konsulat PPMI Bandung, 4 anggota PPMI Bandung membentuk organisasi yang serupa dengan Biro Aksi Mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, mereka tergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung tersebut dan membentuk Madjelis Permusjawarahan Mahasiswa Indonesia (MAPEMI) pada Agustus 1965. Haruslah dicatat bahwa eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah Angkatan Darat dan Kepolisian.
Dalam masa ini orentasi gerakan mahasiswa sudah mulai membaik dalam menggugat hubungan sosial kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme, dikalahkan oleh kesiapan militer (yang masuk ke dalam gerakan pemuda, mahasiswa dan partai-partai politik sayap kanan). Bisakah gerakan mahasiswa tersebut disebut gerakan massa? Karena secara teoritis kesiapan gerakan militer sayap kanan hanya dapat dikalahkan oleh mobilisasi massa yang sudah siap, baik kuantitas maupun kualitasnya. Orentasi politik yang baik tanpa tindakan politik yang baik hanyalah merupakan petualangan.
Sebelum tahun 70-an, aktifis yang mula-mula sadar akan kekeliruan alternatifnya adalah Soe Hok Gie (dari GERMASOS) dan Achmad Wahib (HMI). Namun seperti juga generasi baru aktifis-aktifis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya, yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka yang salah (menjalin kerjasama dengan militer) mereka membuat kesalahan strategi lainnya: Terpisah dari potensi kekuatan rakyat atau tanpa basis massa yang luas. Demonstrasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), anti korupsi, Golongan putih/GOLPUT (aksi boikot PEMILU), gerakan 15 januari/MALARI (anti dominasi ekonomi Jepang, ketimpangan ekonomi, sulit untuk dikatakan anti imperialisme bila dilihat dari segi pemahaman para pelakunya pada konteks waktu itu) dan gerakan Parlemen Jalanan-Anti Suharto '78 dengan buku putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi.
Dengan melihat latar belakang sejarah seperti tersebut diatas, kita bisa menyadari bagaimana kondisi sosiologis gerakan pemuda dan mahasiswa pada masa Orde Baru sebelum tahun 80-an. Sebagian besar aktifis tahun '66 pada masanya tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur kiri (kecuali untuk Soe Hok Gie, pada masa SMP bahan-bahan bacaannya mencerminkan kejujuran/demokrasi intelektual, juga Ahmad Wahib). Dan dalam tindakan politiknya mereka tidak memiliki pengalaman mengorganisir atau bergulat dengan rakyat bawah (grassroot); tindakan politiknya elitis serta pragmatis. Dengan begitu tidak mengejutkan bila, pada masa-masa Orde Baru, mereka terbius oleh mitos bahwa bangsa Indonesia sedang dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Apalagi pada waktu itu masih didukung oleh booming minyak. Sebagian dari mereka masuk kedalam struktur kelembagaan negara, sebagian menjadi pengusaha, sebagian kecil saja dari mereka masuk ke struktur kelembagaan yang secara sosiologis dapat menumbuhkan kembali idealismenya.
Pada yang terakhirlah daya kritis bisa tumbuh, apalagi sebagian besar berada dalam kelembagaan yang dapat mengakomodir sentimen idealisme dan intelektualnya; lembaga keilmuan, mass media, LSM/NGO. Sentimen idealisme dan intelektual mereka sebenarnya merupakan konskwensi logis dari krisis demi krisis pembangunan Orde Baru, yang mengakutkan dampak-dampak negatif dan kontradiksi dari imperialisme ekonomi, kapitalisme, dwi-fungsi serta sisa-sisa feodalisme.
Bekas aktifis-aktifis '66 berada pada status sebagai generasi yang, sampai sekarang, tidak menemukan alternatif konkrit. Tidak ada alternatif konsep yang tegas bagi problem-problem ekonomi, politik dan budaya rakyat Indonesia, demikian juga dalam alternatif tindakan politiknya. Kalaupun ada, dan ini mayoritas adalah alternatif konsep tengah/reformis yang bukan merupakan jalan keluar bagi problem-problem konkrit rakyat Indonesia. Dan itupun direalisasi dengan strategi tindakan moral; menghimbau atau merubah dari dalam sistem (yang paling banyak adalah dengan menggunakan ideologi dan struktur kelembagaan LSM). Tidak ada tindakan politik yang dapat memperkuat daya tawar mereka, pengorganisasian massa sebagai alat penekan politik sepertinya tabu bagi mereka. Sering mereka berlindung dibalik kata (benar-benar hanya kata) taktis. Namun dalam kenyataan di lapangan mereka tidak pernah melakukan tindakan politik dalam arti penggalangan massa.
Pada tahun 70-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural dari barat, serta belajar keluar negeri meruapakan salah satu kondisi obyektif yang ditaarkan kapitalisme yang sedang berada pada titik kontrakdiksi ekonomi, politik, dan budayanya. Produktifitas yang rendah (terutama produk yang memiliki watak nasionalistis), kemiskinan, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya kehidupan dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, peruaskan lingkungan, dekadensi moral dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakannya dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi obyektif tersebut diatas, yang sebagian besar diserap oleh bekas aktifis '66, kemudian menjadi kondisi subyektif mereka sehingga tidak memiliki alternatif konsep dan tindakan politik. Kategori bekas aktifis '66 yang mengambil alternatif konsep ekonomi, politik dan budaya tengah, yang strategi tindakannya moral, benar-benar mandul, tak ada sejumputpun beban sejarah yang dipikulnya.
Ada kategori lain dari bekas aktifis tahun '66 ini, yakni yang juga tengah dan bergabung dengan suatu faksi eks Partai Sosialis Indonesia (PSI), unsur-unsur birokrasi yang tidak puas dan administrator militer. Ideal tindakan politik mereka adalah insureksi. Pada kasus MALARI kondisi insureksi tersebut malahan dihindari, militansi massa kemudian diredam kembali, ketika massa mengharap komandonya, massa justru disuruh mundur. Pada gerakan tahun '78, yang memiliki watak yang sama dengan kategori ini, tahap-tahap penggalangan massa lebih kurang siap.
Hukum sejarah pada periode ini memberikan kesimpulan bahwa: kondisi obyektif ekonomi-politiknya belum mematangkan pamahaman, pemihakan dan kecakapan tindakan politiknya.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (terutama yang menyangkut masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri, terutama dari barat, menyuburkan budaya diskusi, riset-penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan (income generating) . Bravo! buat menjamurnya kelompok study (menjamur sekitar tahun 1983) dan LSM, yang direspon oleh mahasiswa-mahasiswa moderat (mayoritas) generasi tahun '80-an dan eks mahasiswa-mahasiswa generasi tahun 70-an, yang juga moderat (beberapa aktifis gerakan mahasiswa tahun 70-an, yang frustasi pun masuk kedalamnya, mencoba menikmatinya atau mencari alternatif lain, dan larut dalam dekadensi ideologinya). Kategori pertama generasi tahun '66 diatas, yang sampai sekarang paling ekstrim moderatnya, turut juga bertanggung jawab dalam mempopulerkan kondisi tersebut sehingga kelompok study dan LSM dianggap sebagai jalan keluar oleh generasi berikutnya.
Sampai sekarang, mahasiswa-mahasiswa yang mengambil jalan keluar kelompok studi tidak menyadari proses pembusukan yang mereka alami, sehingga, sebagai kelembagaan kelompok study mereka tidak pernah memberikan respon tindakan atas terjadinya kasus Tanjung Priok, gerakan mahasiswa Ujung Pandang dan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Bila kelompok study masih mempertahankan wataknya seperti sekarang, maka proses pembusukan tidak akan berubah menjadi proses transformasi ke arah organisasi yang lebih politis.
Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun juga tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politiknya , proses pembusukannya lebih lamban ketimbang kelompok study. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktifis-aktifis sosial bahkan mahasiswa yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM masih bertahan dalam wataknya semula. Dalam perkembangannya, LSM justru menciptakan stratifikasi diantara mereka sendiri; terbentuknya statuta BINGO, MINGO, dan LINGO.
(BING) kelompok 13 dan INGI (sekarang INFID) merupakan gejala konsentrasi BINGO yang mempersulit transformasi LSM untuk memiliki agenda politik dan melakukan reorganisasi . Sulit untuk memberikan kesimpulan adanya spektrum LSM, karena penguasaan LSM oleh: (1) kelompok-kelompok sosial-demokrat (merupakan rangkaian generasi eks PSI), (2) kelompok-kelompok protestan, katolik, dan Islam modernis (rangkaian generasi MASYUMI, Muhammadiyah/HMI, dan NU), memiliki konsep dan tindakan politiknya yang sama: berwatak tengah. Usaha yang tengah dilakukan, yakni mengadakan persekutuan diantara mereka pun tidak memberikan dampak yang berarti.

1985 DAN SETERUSNYA

Kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi obyektif ekonomi-politik yang sangat negatif bagi pembagunan demokrasi politik dan keadilan sosial berhasil dikuakkan oleh gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, gerakan yang oknum-oknumnya mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina atau Korea Selatan . Bila dilihat aksi dan issuenya, gerakan mahasiswa sekarang relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat bargain politiknya , ketimbang gerakan buruh, petani atau sektor-sektor masyarakat lainnya. Gerakan-gerakan sektor-sektor lainnya, terutama sektor buruh dan petani, hanya berkonsolidasi dengan gerakan mahasiswa dari segi issuenya saja, belum dari segi aksinya. Apalagi dari segi keorganisasiannya untuk kondisi Indonesia, hal ini memang wajar dalam tahap awal.
Sewajarnya juga dalam tahap awal, konsolidasi aksi tersebut tidaklah menyiratkan adanya konsolidasi solid keorganisasian,ia hany merupakan konsolidasi aksi yang insidental; bereaksi bila tercapai kesepakatan mengangkat issue yang sama. Konsolidasi solid keorganisasian tidak pernah terdorong oleh kekuatan bargain politik yang dihasilkan oleh gerakan mahasiswa oleh generasi tahun 80-an, pencairan NKK/BKK yang otomatis juga pencairan Dewan Mahasiswa, benar-benar hanya merupakan iming-iming dari MENDIKBUD. Namun nampaknya pencairan itupun bukanlah merupakan faktor yang lebih menentukan lagi kelanjutan gerakan mereka, karena ternyata issue-issue sektarian otonomi kampus tidak terus menarik lagi untuk di perjuangkan; yang lebih menentukan adalah momentum obyektif ekonomi-politik dan pengkondisian subyektif oleh lingkaran kecil yang berdampak terutama bagi lingkaran kecil tersebut , ataupun bagi gerakan secara keseluruhan. Dan konsolidasi solid keorganisasian inilah yang dapat terus-menerus merespon dan berdialektik dengan kondisi obyektif ekonomi-politik Indonesia. Tanpa ini, kita hanya akan mengulangi kesalahan sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa sebelumnya, yang pantang menyerah namun pecundang.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang, 1987 adalah aksi yang baru pertama kalinya turun ke jalan (rally) dengan massa yang relatif besar, serta dengan issue tentang kebijakan pemerintah dibidang lalu-lintas (helm), judi dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan biaya dikorbankannya demokrasi oleh pemerintah; memakan jiwa manusia.
Kasus Tanjung Priok dan gerakan mahasiswa Ujung Pandang yang keduanya memakan jiwa manusia, tidak sampai mendapatkan respon populer dikalangan mahasiswa. Dalam merespon kasus Ujung Pandang, hanya mahasiswa ITB-UNPAD yang secara terbuka mengeluarkan pernyataan di DPR-MPR RI, sebelumnya hanyalah dalam aksi pamflet gelap dan sedikit pemberitaan di pers kampus. Aksi Ujung Pandang tersebut hanya direspon oleh mahasiswa ITB-UNPAD, setelah sebelumnya mahasiswa-mahasiswa ITB menurunkan aksi dengan massa yang lebih sedikit, tidak turun ke jalan (mendatangi Rektorat), dan dengan issue yang sektarian ; soal skorsing salah seorang mahasiswanya.
Intensitas aksi-aksi mahasiswa ITB pada waktu itu tinggi sekali (baru pertama kalinya dalam tahun 80-an), hampir dalam waktu 1,5 bulan mahasiswa ITB terus-menerus mengadakan aksi dengan issue-issue yang resikonya lebih tinggi (tidak ada kontinum issue-issue yang berkerangka dialektik taktik-strategik). Aksi-aksi ini juga terganggu oleh menurunnya kualitas konsolidasi dengan mahasiswa-mahasiswa UNPAD, dan tidak terjalinnya konsolidasi dengan mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta pada waktu mereka menghadiri Peringatan Hari Hak Asasi di Yogyakarta. Aksi-aksi itu dihancurkan oleh militer dengan cara penangkapan-culik, dan dengan alasan yang dibuat-buat (dikatakan; bahwa pada acara panggung malam acara tahun baru, yang organisatornya mahasiswa-mahasiswa baru, mahasiswa ITB menurunkan issue-issue yang berbau komunis). Nampaknya tidak ada kontinum yang seimbang antara peningkatan issue dengan konsolidasi massa di kotanya sendiri dan antar kota. Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang kontinumnya dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga baik dari segi pematangan pemahaman, penyatuan alam pikiran, maupun rekonsolidasi. Selanjutnya gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an. Kontinum gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an nampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, issuenya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati masyarakat, serta (tak seperti generasi sebelumnya) tingkat kolaborasi (yang menghilangkan independensi) dengan unsur-unsur administrasi militer, birokrat, partai-partai legal, eks partai, ormas-ormas, LSM, kelompok study ataupun lainnya, boleh dikatakan sangat rendah. Namun, kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat konsolidasi solid seperti yang dijelaskan di halaman sebelumnya. Status yang ada sekarang tentu saja dengan melewati masa-masa yang cukup menyulitkan, memakan waktu yang kadang-kadang mengesalkan, menyita pikiran dan dana yang tidak sedikit. Dan banyak aktifis-aktifis mahasiswa yang mengorbankan kesenangan-kesenangan yang biasa mereka nikmati sebelumnya .
Dan karena issue-issue yang diturunkan sudah lebih merakyat, maka issue-issue seperti deregulasi, liberalisasi, dan swastanisasi ekonomi tidak populer di kalangan mahasiswa karena kepentingan issue-issue tersebut yang jelas akan merubah konstelasi modal denga cara-cara yang lebih "demokratis" (sesuai dengan rasionalisasi kapitalisme). Dan makna pendemokratisasian konstelasi modal, pada kondisi struktur modal domestik dan asing sekarang di Indonesia, hanyaakan dinikmati atau dimenangkan oleh pesaing modal yang lebih besar. Kesulitan dana yang ditanggung oleh pemerintah jelas akan mengundang pendemokratisasian konstelasi modal, namun arahnya kesana atau tidak tergantung pinjaman (hutang) luar negeri dan diizinkannya pengeksploitasian sumber-sumber daya oleh pihak asing (perlu diingat: Indonesia tidak pernah berusaha untuk mampu mandiri). Sekarang, apapun jalan yang akan diambil oleh kelembagaan trias politika Republik Indonesia, yang identik satu suara, tetap akan menimbulkan krisis hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia. Krisis ini akan dapat di perlambat bila militer dapat menekan pemerintah untuk menahan kecenderungan pemusatan modal di segelintir orang-orang yang memperoleh kemudahan-kemudahan serta mengadakan program-program penghiburan ekonomi dan politik; menaikkan kesejahteraan masyarakat strata sosial menengah dan ke bawah, serta merubah konstelasi kekuasaan. Dengan kata lain, perspektifnya tergantung juga kepada bagaimana militer dapat menekan kekuasaanagar lebih ke tengah. tentu saja Amerika dan Jepang akan senang dengan tindakan ini: kedamaian modal mereka akan terjamin.




Militer dan Gerakan Mahasiswa
Oleh TETI SOLIHAT

ISU mengenai militer ini sempat tidak terdengar di telinga kita seiring dengan problematika pemerintahan yang semakin kompleks. Namun akhir-akhir ini isu tersebut kembali mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya dua figur militer dalam bursa calon presiden dan satu orang dalam bursa calon wakil presiden. Ada beberapa catatan yang perlu dijelaskan seputar isu ini.
Lahirnya dikotomi sipil-militer sudah dianggap seperti hukum alam dalam sebuah negara. Bahkan jauh sebelum dikenal pemerintahan demokrasi pun, jabatan patih sebagai kepala pasukan kerajaan menunjukkan eksistensi militer menjadi sebuah keharusan. Permasalahan selanjutnya muncul ketika lahir pertanyaan sejauh mana peran militer dalam sebuah negara.
Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita harus menyimak akar permasalahan sesungguhnya. Ide dasar dihadirkannya kalangan militer dalam sebuah negara adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perjuangan melawan penjajahan dilakukan oleh rakyat sehingga kemudian muncul Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai tameng hidup negara. Kehadiran BKR disambut meriah rakyat Indonesia yang kala itu belum memiliki tentara. Dari zaman ke zaman, BKR ini mengalami metamorfosis menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penamaan ini pun terkesan represif dan "sangar" sehingga di era reformasi diubah penamaannya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berkesan penjaga kedaulatan rakyat semata.
Secara substantif eksistensi militer di Indonesia lebih ditujukan pada pertahanan negara. Namun peranan ini mengalami deviasi seiring dengan perubahan konstelasi politik di era 1966 di mana terjadi peralihan kekuasaan, terlepas dari kontroversi sejarah yang melingkupinya, antara Orde Lama dengan Orde Baru. Seketika itulah, militer mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara, terlebih saat itu H.M. Soeharto mendapat mandat sebagai Pangkopkamtib yang berakhir dengan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Posisi Soeharto sebagai representasi ABRI kala itu sangatlah kuat dan didaulat sebagai Presiden RI setelah Soekarno. Pasca "terpilihnya" Soeharto tadi, militer mulai menguatkan cengkeramannya dalam lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibentuknya infrastruktur militer hingga tingkat babinsa menunjukkan perlunya pengamanan pemerintahan melalui doktrinasi pada rakyat. Di era itu jualah demokrasi dipahami secara parsial.
Adanya fusi partai politik ke dalam tiga partai pada tahun 1973 mengindikasikan tingginya tingkat pemahaman politik kalangan militer serta cerdiknya strategi yang diterapkan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat itu mewakili kalangan religius dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kalangan nasionalis, sedangkan Golongan Karya (Golkar) dicitrakan sebagai partai jalan tengah pro pembangunan sehingga melibatkan segenap aparatur pemerintahan baik pusat maupun daerah, baik struktural maupun nonstruktural. Kondisi seperti ini telah membius iklim demokrasi di Indonesia.
Pembiusan ini berlangsung selama 32 tahun yang ternyata menyimpan berbagai letupan kecil menuntut demokratisasi di Indonesia. Dan suara itu lebih disuarakan oleh kalangan mahasiswa sebagai agent of social change. Akumulasi dari letupan kecil ini terjadi pada tahun 1998 sekaligus menjadi tonggak awal reformasi seiring krisis moneter dialami Indonesia. Pada tahun 1998, tuntutan reformasi semakin meluas tidak hanya pada tataran ekonomi, politik, hukum bahkan sudah menjurus pada isu subjektif mengarah pada figur seorang Soeharto. Militer yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Soeharto mendapat kecaman yang tidak kalah hebatnya mulai dari desakan untuk menghapus dwifungsi ABRI hingga pengembalian total seluruh kekuatan militer ke barak.
Isu yang diangkat ini tentunya memiliki alasan tersendiri yaitu adanya trauma politik rakyat terhadap kepemimpinan militer. Dan dewasa ini tuntutan mahasiswa tidak hanya sebatas profesionalisme militer melainkan sudah merambah ke wilayah politik, sejalan dengan munculnya figur militer ke dalam bursa pencalonan presiden. Tak ayal lagi gerakan mahasiswa ini adalah gerakan politik. Layaknya sebuah manuver politik, gerakan ini pun disinyalir didanai kelompok politik tertentu untuk menolak calon presiden dari kalangan militer.
Menyikapi hal ini diperlukan pengkajian yang lebih mendalam. Apakah gerakan ini murni hasil kajian mahasiswa atau sebatas emosional belaka? Penulis lebih sepakat bahwa gerakan ini hanya luapan emosi semata yang berasal dari kekhawatiran masa lalu terulang kembali. Jika kita telaah lebih jauh, penolakan capres berlatar belakang militer justru menunjukkan ambiguitas, bahkan menguatkan asumsi standar ganda yang diterapkan mahasiswa. Karena menghalangi pencalonan seseorang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang selama ini digaungkan mahasiswa.
Salah satu renungan yang perlu dipikirkan mahasiswa dewasa ini adalah dengan mencari kembali akar dari gerakan yang mereka lakukan. Beberapa isu yang ditawarkan akhir-akhir ini terkesan berbeda dengan realita di lapangan. Tentunya ini menjadi sentilan-sentilan tersendiri terhadap gerakan moral mahasiswa. Apakah gerakan mahasiswa telah menjadi gerakan eksklusif tersendiri dan mulai meninggalkan aura hati nurani rakyat? Atau memang pola pikir rakyat yang cenderung pragmatis sehingga jauh dari nilai idealisme yang diusung mahasiswa? Namun di balik itu semua, suatu hal yang pasti bahwa mahasiswa telah gagal dalam menge-set mind pola pikir rakyat. Tetapi kegagalan ini bukanlah alasan untuk berhenti "bergerak" melainkan mahasiswa harus kembali pada khittah perjuangannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.***
Penulis mahasiswa Fikom Unpad Bandung.



GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN IDENTITAS
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa
Artikel:
dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..
Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani

PUBER IDEOLOGI
Fadli Zon*
Sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia di tahun 1991, saya diajak teman
berdiskusi di rumah kos seorang mahasiswa senior. Di sana telah berkumpul 20-an
mahasiswa siap membahas tulisan Jorge Larrain, penulis buku A Reconstruction
of Historical Materialism. Mula-mula pembahas memaparkan tentang
pikiran-pikiran Larrain. Dalam diskusi, hampir setiap orang beranjak dari
paradigma yang sama: masalah alienasi, perjuangan kelas, materialisme historis,
akumulasi dan disakumulasi modal, dan revolusi.
Ketika saya ikut menyumbang pikiran dengan berangkat dari pemikiran Islam, dan
menolak Marxisme, suasana hening dan semua mata menyorot tajam. Satu per
satu peserta diskusi itu meyakinkan saya bahwa Islam bukanlah alternatif dan
secara umum, agama bukanlah jawaban terhadap persoalan-persoalan rakyat. Tentu
saja saya membantah argumentasi-argumentasi mereka. Saya katakan, Uni Soviet
sebagai kampiun komunisme hampir runtuh (saat itu baru saja terjadi usaha kudeta
Agustus yang digagalkan oleh Boris Yeltsin) dan rakyat di negara-negara Eropa
Timur sudah menolak komunisme. Ini adalah bukti kegagalan praktek
Marxisme-Leninisme dan ideologi komunisme. Yang mengherankan, kenyataan
buram dunia komunis itu ditepis dengan argumentasi bahwa negara-negara itu tidak
menerapkan teori dengan benar.
Di ruangan itu belasan buku Karl Marx dan Frederick Engels tertata rapi. Di
bagian lain ada buku-buku Pramoedya yang dilarang, beberapa buku Mao,
buku-buku klasik komunisme serta buku-buku langka dan terlarang lainnya.
Sebagian buku Marx-Engels itu berbahasa Indonesia seperti buku Manifes Partai
Komunis yang diterbitkan Jajasan "Pembaruan" tahun 1960. Buku Lenin Negara
dan Revolusi yang dicetak kembali tahun 1976, sebelas tahun setelah G 30-S/PKI,
juga ada di sana. Di atas meja belajar sederhana berdiri foto Lenin tanpa
bingkai.
Belakangan saya tahu, buku-buku itu hanya hiasan perlawanan, tidak dibaca
seluruhnya, sebagian besar hanya membaca introduction. Diskusi berhenti tanpa
kejelasan. Di antara mereka sendiri tidak ada perdebatan, satu sama lain saling
mendukung karena mungkin telah percaya pada Marx walaupun tidak mengerti
benar apa itu Marxisme atau Marxisme Leninisme.
Fenomena di atas tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia. Kajian kritis di
kampus-kampus lain pun tidak sedikit yang memuja kembali Marx-Lenin-Mao,
bukan new left atau kiri baru. Proses kaderisasi dan rekruitmen berlangsung
terus
melalui diskusi, aksi dan advokasi lainnya seperti pembinaan terhadap buruh
maupun petani. Hal ini merupakan suatu resistensi terhadap kekuasaan dan
statusquo, yang mereka anggap telah memenjarakan kebebasan dan menindas
rakyat. Merekalah yang sering disebut kelompok "merah" atau "kiri." Sedangkan
aktivis-aktivis muslim disebut kelompok "hijau" atau "kanan." Kelompok lainnya
sering disebut sebagai kelompok "independen," kelompok "putih" untuk yang
netral dan bahkan ada yang disebut kelompok "semangka," untuk mereka yang
berwajah hijau tapi berhati merah. Klasifikasi ini bukan hal baru dan ia
merupakan
simplifikasi yang kadangkala menyesatkan namun terlanjur diterima.
Aktivis-aktivis mahasiswa era 1990-an adalah mereka yang terputus dari akar
gerakan mahasiswa di tahun 1970-an dan menjadi korban kekalahan aktivis-aktivis
mahasiswa akhir 1970-an. Dengan adanya NKK/BKK pada awal 1980-an,
depolitisasi kampus berjalan efektif. Organisasi mahasiswa ekstrauniversiter
seperti
HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI, dan lain-lain, yang selama itu berperan
dalam gerakan mahasiswa, telah dicabut akarnya dari kampus.
Kebijakan kembali ke kampus untuk belajar, makin berhasil dengan sistem kredit
semester yang kurang ditunjang fasilitas infrastruktur pendidikan yang memadai.
Akhirnya mahasiswa menghadapi oppotunity cost: belajar atau beraktivitas.
Sebagian aktivis "kiri" di kampus tidak begitu outstanding dalam prestasi studi,
bahkan tidak sedikit yang drop out.
Kelompok "kiri" tidaklah fenomenal di era 1980-an. Meskipun sebagian besar
aktivis mahasiswa adalah kalangan sekuler dan "abangan," namun kelompok "kiri"
yang memuja Marxisme-Leninisme-Maoisme, sebut saja "kiri klasik," masih dalam
jumlah relatif kecil dan tidak berani menampakkan diri. Mereka mendapat angin
di era 1990-an dengan makin globalnya isu hak asasi manusia dan demokrasi.
Kepentingan ini bertemu dengan kepentingan anak-anak eks PKI yang menjadi
aktivis, yang sakit hati karena perlakuan tidak adil atas dosa yang
dilakukan orang tua mereka.
Harus diakui, di antara mereka ada pula orang-orang yang memang murni
memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa embel-embel ideologi. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa yang membela rakyat itu selalu kelompok "kiri." Kelompok
aktivis mahasiswa Islam termasuk yang rajin membela nasib rakyat akibat
penggusuran, upah buruh rendah dan bentuk ketidakadilan lainnya.
Kesan yang dimunculkan kelompok "kiri" dengan the power to think dan the desire
to rebel, dalam kenyataannya tidak selamanya benar. Seorang teman yang ketika
mahasiswa menjadi aktivis "kiri," tidak lama setelah lulus menjadi seorang yang
begitu kompromis terhadap kenyataan hidup. Maka saya melihat kebangkitan
kelompok mahasiswa atau kaum muda "kiri" termasuk yang ikut-ikutan membela
Pramoedya sebenarnya karena puber ideologi. Bahayanya adalah mereka tidak
membaca Marx atau Marxisme secara tuntas, tetapi merasa paling tahu ajaran itu
dan berusaha memperjuangkannya.
* Dewan Redaksi Majalah HORISON dan mahasiswa Program Studi Rusia, UI.
Dimuat sebagai KOLOM Majalah GATRA edisi 14 Oktober 1995.

Peta Politik Indonesia - part 1
PERUBAHAN POLITIK INDONESIA PASCA SOEHARTO DAN POSISI UMMAT ISLAM
Oleh: Drs. Mahfudz Siddiq
Peneliti Yayasan SIDIK Jakarta
Bagian Kesatu
Kamis, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hari itulah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden yang pada hakikatnya menandakan runtuhnya rezim Soeharto (baca: Orde Baru) yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa itu merupakan klimaks dari perjuangan gerakan pro-reformasi yang dimotori oleh mahasiswa. Sejarah telah menemukan putaran baliknya setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama.
1. Tiga Faktor Utama Pemicu Gagasan Reformasi
Berkembangnya gagasan-gagasan idealistik tentang reformasi yang lalu mengkristal menjadi isu bersama menumbangkan rezim Soeharto, setidaknya disebabkan oleh tiga faktor utama.; Pertama, kerapuhan sistem Orde Baru. Pola kekuasaan sentralistik-militeristik telah menumbuh-kembangkan iklim politik yang sangat distortif yang akhirnya merambah ke aspek-aspek kehidupan lain. Sistem yang dibangun lebih didasari oleh motif untuk menjaga status-quo dengan mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur masyarakat dan bangsa. Sistem otoriter ini telah memunculkan the strong state dimana seluruh unsur-unsur masyarakat dan bangsa sangat bergantung kepada negara.
Pola komunikasi paternalistik menyuburkan hubungan-hubungan tidak wajar dalam perilaku politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi konsekuensi wajar dari pola hubungan ini. Pada gilirannya, budaya KKN ini bukan saja berdampak secara ekonomis, tapi juga politis. Pola hubungan dalam kekuasaan menjadi tidak transparan dan para pelaku kekuasaan cenderung mengembangkan pola tersebut ke lapisan subordinasinya untuk menjamin dan mengokohkan posisi-posisi politiknya. Sehingga KKN di Indonesia bukan saja sebagai budaya pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses pemerintahan dan bahkan kehidupan masyarakat lebih banyak dipandu oleh hubungan-hubungan distrotif yang sudah menjadi konsensus di bawah tangan. Dan bahkan setiap upaya untuk menjelaskan suatu masalah dengan merujuk kepada sistem sering mengalami jalan buntu. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan elit politik menjadi contoh paling; konkret dalam hal ini.
Ketika semua hubungan yang terjadi berpangkal pada satu figur kekuasaan - yaitu presiden - maka banyak pihak menilai bahwa presiden merupakan representasi dari sistem itu sendiri. Di sinilah letak kerapuhan utama Orde Baru. Logika yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya adalah bila figur tunggal kekuasaan jatuh, maka secara bersamaan sistem itu akan ikut runtuh pula.
Faktor kedua menguatnya gerakan anti-kemapanan.; Selama masa kekuasaannya, orientasi kebijakan politik rezim Orde Baru telah memunculkan dua arus gerakan anti-kemapanan. Selama fase 1967 - 1987, Orde Baru menarik garis politik tegas terhadap Islam yang dipicu oleh trauma politik kasus DI/NII dan PRRI-Permesta. Kebijakan ini juga tidak lepas dari peran politik kalangan Kristen (khususnya Katolik) yang sejak awal berdirinya Orde Baru secara intens membangun akses ke pusat kekuasaan. Orientasi kebijakan politik ini melahirkan gerakan-gerakan Islam ekstrem yang bersifat sangat ideologis. Gerakan Aceh Merdeka, Tanjung Priok (Komando Jihad), Lampung (GPK) dan NII.
Walaupun kasus-kasus di atas meninggalkan dosa sejarah bagi rezim Orde Baru, namun politik akomodatif yang diambil Soeharto terhadap ummat Islam sejak awal tahun 1987 telah banyak mengubah sikap politik berbagai kalangan Islam. Bahkan sejak awal tahun 90-an, terjadi kristalisasi dukungan dan legitimasi ummat Islam terhadap rezim Soeharto. Munculnya ICMI dan langkah-langkah politik Soeharto yang bernuansa Islam menjadi simbol menguatnya politik akomodasi yang bersifat mutual-simbiosis.
Legitimasi ummat Islam terhadap Soeharto memberikan ruang baginya untuk melicinkan dan mengokohkan proses pewarisan kekuasaan kepada anak-anaknya kelak. Pada sisi lain, koridor lebih besar yang diberikan kepada kalangan Islam memberikan angin segar dan ruang gerak yang lebih terbuka untuk mengakselerasi potensi-potensi kekuatan ummat. Situasi inilah yang akhirnya mempengaruhi sikap sebagian besar kalangan Islam terhadap rezim Soeharto dalam masa-masa kritis menguatnya tuntutan reformasi.
Arus kedua, gerakan anti-kemapanan yang berkembang pada fase 1987 sampai sekarang. Gerakan ini lebih bersifat politis dan sangat variatif. Mereka berasal dari unsur-unsur yang terpinggirkan oleh politik akomodatif Soeharto kepada kalangan Islam. Umumnya mereka dari kalangan Kristen dan Nasionalis. Kedua, mereka berasal dari sisa-sisa Orde Lama, baik secara personal, pemikiran politik sampai ideologi. Sebagiannya mengkristal di bawah payung Megawati dengan Soekarnoisme-nya, dan sebagian lagi tetap bermain di dalam sistem Orde Baru.
Kelompok ketiga adalah dari unsur-unsur lawan politik Orde Baru yang dilabelkan komunis. Sikap politik Soeharto yang mengisolasi hak-hak hidup napol PKI dan keluarganya telah melahirkan kekuatan lawan laten yang siap muncul secara tiba-tiba. Kelompok keempat, kalangan muda yang menganut paham Teologi Pembebasan yang secara ideologis cenderung sosialisme-marxisme. Mereka mengkristal ke dalam wadah LSM-LSM dan memiliki jaringan kerja internasional. Kemunculan mereka juga didorong oleh kebijakan depolitisasi kampus yang diantaranya melahirkan gerakan-gerakan bawah-tanah (OTB). Kelima, kalangan pro-demokrasi. Yang terakhir ini tidak memiliki sandaran ideologis yang jelas, namun sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran politik dan keagamaan yang cenderung liberal.
Bahkan sebagian tokoh-tokohnya dari kalangan muslim. Mereka mengambil posisi berseberangan dengan rezim melalui agenda demokratisasi.
Dalam kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli), kelima unsur anti-kemapanan ini bisa bertemu dalam Aliansi Pelangi yang dengan gerbong demokrasi mengedepankan agenda penumbangan rezim. Namun kasus Kudatuli ternyata belum menjadi momentum yang tepat bagi sebuah gerakan perlawanan terbuka. Malah sebaliknya, rezim Soeharto berhasil menanamkan opini komunisme kepada gerakan Kudatuli yang direpresentasikan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Justifikasi kalangan Islam terhadap sikap keras Soeharto memberangus PRD pada akhirnya juga mempengaruhi sikap politik kalangan anti-kemapanan terhadap ummat Islam pasca Soeharto.
Faktor ketiga, krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan. Sejak Juli 1997, kawasan Asia dilanda krisis ekonomi yang mempengaruhi kondisi politik. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling parah dan lama menanggung krisis ekonomi ini. Itu disebabkan kerapuhan sistem ekonomi dan politik Indonesia, sehingga tidak mampu secara cepat mengatasi masalah yang memang sangat dipengaruhi oleh faktor
internasional.
Krisis moneter terjadi pada saat Indonesia berada pada titik yang sangat berbahaya, namun justru tidak disadari oleh banyak kalangan. Yaitu tingginya jumlah utang luar negeri dan besarnya ketergantungan impor bahan baku bagi proses produksi di dalam negeri. Depresiasi rupiah mengakibatkan guncangnya seluruh sendi perekonomian Indonesia yang berjalan dengan multiflying effect-nya. Ketidaksiapan sistem politik (yang distortif) untuk mengambil kebijakan-kebijakan tepat mengakibatkan berkepanjangannya krisis tersebut sampai menghancurkan infra-struktur perekonomian nasional. Rontoknya dunia perbankan, terjepitnya sektor ekonomi kecil, macetnya proses produksi dan distribusi menjadi bom waktu yang siap (dan ternyata telah) melahirkan krisis politik dan sosial.
2. Gerakan Mahasiswa Menuntut Reformasi
Dalam konteks tiga faktor utama inilah, gagasan-gagasan reformasi idealistik semakin berkembang dan bahkan menjadi main-issue. Gagasan ini baru bergulir menjadi sebuah gerakan ketika mahasiswa dari berbagai kampus mulai bicara mengangkat issu reformasi sampai kepada aksi-aksi turun ke jalan. Secara tidak langsung, kemunculan gerakan mahasiswa di tahun 1998 ini memang dipengaruhi oleh ketiga faktor di atas. Namun masih ada penjelasan-penjelasan empirik lain untuk melogikakan kemunculan gerakan mahasiswa Indonesia yang spektakuler ini.
Sejak awal Februari 1998, aksi-aksi mahasiswa mulai mengarah kepada sebuah gerakan. Ini ditandai oleh mengkristalnya agenda tuntutan kepada agenda bersama, yaitu reformasi dan turunkan Soeharto, dan kedua ditandai oleh kesamaan pola aksi hampir seluruh mahasiswa. Ada dua instrumen kekuatan mahasiswa yang bekerja secara efektif selama proses tuntutan reformasi. Pertama kekuatan massa (mass power). Dalam kekuatan massa besar yang tak terorganisir, mahasiswa bisa bersatu oleh kepentingan yang sama, yaitu reformasi dan pijakan yang sama, yaitu tanggung-jawab moral-intelektual mereka. Kedua adalah kekuatan lembaga (institutional power), yang umumnya direpresentasikan oleh SMPT.; Selain lembaga intra-kampus, yang juga turut meramaikan student movement ini adalah lembaga-lembaga mahasiswa ekstra-kampus. KAMMI, HMI dan GMNI bisa disebut sebagai contoh. Bahkan KAMMI termasuk unsur kekuatan yang leading dalam hal mobilisasi massa dan penyebaran aksi.
Kejatuhan Soeharto memang tidak semata-mata karena faktor gerakan mahasiswa. Namun bisa dipastikan, gerakan mahasiswa menjadi main-factor yang mempengaruhi unsur-unsur elit politik lain yang mempengaruhi jalannya proses politik. Setidaknya ada empat unsur kekuatan elit yang sangat dipengaruhi oleh gerakan mahasiswa. Pertama, elit intelektual. Mereka menyatu dalam agenda setting mahasiswa, ketika gerakan tersebut mulai mengkristal dan membuat arus besar. Para elit intelektual menjadi rallying figure bagi gerakan mahasiswa dan sekaligus justifikasi politik bagi keabsahan tuntutan reformasi dari mahasiswa. Bertemunya dua arus ini menandakan gerakan reformasi masih kuat warna elitisnya. Walaupun dalam agendanya diangkat sejumlah isu populis, namun unsur-unsur masyarakat lain yang secara langsung mewakili isu populis belum tampil menjadi arus lain yang berjalan bersama-sama.
Unsur kedua adalah kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Munculnya isu-isu reformasi selama SU MPR pada Maret 1998 mempercepat terjadinya perubahan sikap politik anggota dewan ketika para mahasiswa mengarahkan tuntutan reformasinya ke DPR/MPR. Keputusan pimpinan fraksi DPR untuk meminta presiden Soeharto meletakkan jabatan merupakan keputusan politik yang luar biasa. Ini menunjukkan, lembaga legislatif yang lama jumud ini terdinamisir kuat dan cepat oleh gerakan mahasiswa.
Unsur ketiga adalah kalangan anggota eksekutif. Pertanggung-jawaban moral, politik dan hukum yang didengungkan gerakan pro-reformasi sangat terasa pengaruhnya ke kalangan anggota kabinet. Kompleksitas krisis ekonomi dan derasnya tuntutan reformasi bukan saja membuat mereka _kehilangan fikiran_ tanpa bahkan memunculkan indikasi-indikasi awal untuk lompat pagar. Langkah ini bahkan sudah diambil jauh-jauh hari oleh mantan-mantan menteri yang dulu menikmati kehidupan rezim Soeharto.
Unsur lainnya adalah militer. Secara kelembagaan, militer berupaya menempatkan posisi di tengah dengan mengajukan sikap akomodatif dengan sejumlah reserves. Namun secara personal di tataran elitnya, terjadi friksi kuat dalam mensikapi proses perubahan. Sikap militer sangat menentukan proses pengambilan keputusan pada diri Soeharto. Unsur keempat, adalah luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Banyak pihak sebelumnya menduga kuat bahwa telah terjadi deal politik antara AS dan Soeharto ketika ditanda-tangani letter of intent. Dugaan itu bahwa AS menerima figur Soeharto dengan konsesi besar yang harus diberikan oleh Soeharto kepada AS. Namun terbukanya sikap AS yang menghendaki Soeharto turun, tidak bisa dilepaskan dari sangat kuatnya tuntutan itu di kalangan mahasiswa. Sehingga akhirnya, mahasiswa berhasil memicu tertutupnya pintu-pintu keluar bagi Soeharto untuk bisa lolos dari tuntutan publik luas ini.
Perlu dicatat bahwa dua tekanan situasi riil yang diperhitungkan berbagai kalangan, dilakukan oleh mahasiswa. Pertama, pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa se Jabotabek dalam jumlah puluhan ribu orang dan diorganisir oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Kedua, rencana rapat akbar mahasiswa dan masyarakat di lapangan Monas pada Rabu, 20 Mei 1998 yang digerakkan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Amin Rais. Situasi tanggal 19 Mei 1998 sampai 20 Mei dini hari, merupakan saat-saat paling kritis dan mencekam. Karena prediksi banyak pihak, setelah simbol legislatif kenegaraan dikuasai mahasiswa, tinggal satu simbol yang tersisa, yaitu Istana Negara yang letaknya persis diseberang tugu Monas. Sehingga, ketika tanggal 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya memutuskan mengundurkan diri, bisa dipastikan pada tanggal-tanggal 19 s/d 20 Mei terjadi proses tawar-menawar politik yang sangat hebat di jajaran elit politik.
3. People Power yang Belum Lengkap
Dari gambaran ini, maka yang terjadi di Indonesia belum merupakan people power dalam arti sebenarnya. Karena masih ada pilar-pilar kekuatan yang belum sepenuhnya masuk dalam arus _pembangkangan umum_. Kalangan tokoh agama, profesional dan masyarakat umum secara luas hanya menunjukkan pelawanan pasif. Dan sepanjang aksi tuntutan massa berlangsung, belum pernah muncul aksi mahasiswa yang melibatkan unsur-unsur masyarakat lain secara besar.
Reaksi susulan dari mereka baru muncul pasca kejatuhan Soeharto yang bahkan eskalasi aksinya sampai ke tingkat kabupaten. Masyarakat seperti tercerahkan dan terdayakan dalam waktu sekejap, lalu bergerak bersama-sama menuntut masalah-masalah KKN dan penyimpangan hukum sampai tuntutan menurunkan pejabat daerah setempat. Kondisi ini menjelaskan social setting masyarakat Indonesia. Kultur besar masyarakat Indonesia masih memunculkan jarak antara _kesadaran_ dengan _tindakan_. Sangat mungkin ini lebih karena persoalan _knowledge and experience_ dalam kehidupan berdemokrasi, atau secara lebih spesifik karena adanya hambatan psikologis (psychological barrier) dari pencitraan akibat (consequences imaging) bagi tindakan-tindakan; politik selama masa rezim Orde Baru.
Bila potret ini benar, maka sesungguhnya masyarakat belumlah cukup berdaya secara politik. Kesadaran politik yang muncul secara tiba-tiba di kalangan mahasiswa lebih banyak kesadaran permukaan sebagai hasil dari pemotretan situasi kondisi ekonomi-politik yang muncul secara transparan. Sementara elit politik masih lebih banyak produk setting Orde Baru yang seringkali belum sepenuhnya mampu mempertemukan kepentingan politik diri (political interest) dengan kepentingan umum (public interest). Kalaupun ada baru satu dua orang, itupun umumnya dari luar sistem.
Maka perubahan politik yang terjadi sekarang lebih merupakan terbukanya pintu kehidupan politik bagi masyarakat untuk lebih berdaya dan memberdayakan dirinya. Yang lebih penting, para politisi harus menyadari betul kondisi ini sehingga orientasi kerja politik mereka lebih tertuju pada kepentingan pemberdayaan politik masyarakat, dan bukan mempolitisir masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya masih ada kekhawatiran, perubahan politik bila tidak ditata antara gagasan-gagasan demokrasi idealistik dengan potret budaya besar masyarakat Indonesia, justru akan menjadi bumerang atau blunder baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh kasus paling konkret misalnya soal berdirinya partai-partai politik.
Multi Partai sangat membutuhkan kedewasaan politik dan kemampuan berdemokrasi dari semua pihak. Bila tidak, sejarah lama kehidupan politik Indonesia akan terulang kembali.

4. Mahasiswa dan Aktor-Aktor Politik
babak pertama panggung politik nasional adalah mahasiswa, namun pada babak kedua justru didominasi para politisi. Sepertinya ini sesuatu yang wajar, namun belajar dari sejarah, seharusnya setting pemain tidak selalu harus demikian.
Sejak awal gerakannya 'moral force dan intellectual force' menjadi konstituen mahasiswa. Ketika sasaran besar tercapai, muncul berbagai pandangan yang menarik mereka turun dari panggung. Pertama, pandangan bahwa babak berikutnya sudah di luar jangkauan mahasiswa, sehingga harus diserahkan kepada pihak lain. Kedua, pandangan yang ingin memelihara moral force di tengah-tengah setting yang penuh kepentingan politik atau tepatnya politik kepentingan.
Pandangan ini menarik mahasiswa dari panggung dan juga mengarahkan sikap politiknya terhadap transisi kekuasaan yang terjadi. Tuntutan terhadap SI mencerminkan kehendak mereka menegakkan konstitusi. Ketika ini sudah sangat politis, mahasiswa terjebak pada komitmen moral yang tidak boleh menyeret mereka kepada kepentingan elit politik tertentu. Ini sebenarnya persoalan orientasi, pemahaman dan kemampuan sikap politik mahasiswa. Umumnya, kalangan mahasiswa mengalami disorientasi agenda aksi perjuangan. Ini terlihat ketika mereka tidak mampu sepenuhnya membaca peta politik di lapangan. Bila kondisi ini terus terjadi, mereka bisa terjebak dalam keadaan yang lebih buruk dari Angkatan _66.
Ada dua peran strategis mahasiswa sekarang ini, yaitu pelaku perubahan (agent of change) dan pengarah perubahan (director of change). Yang dibutuhkan sekarang adalah director of change. Dengan konstituen moralnya, mahasiswa bisa berdiri di atas kepentingan rakyat dan berbicara kepada setiap unsur elit politik. Maka repositioning kekuatan mahasiswa kepada posisi sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power). Posisi ini selaras dengan konstituen moral-intelektual.. Dalam posisi ini, mahasiswa membangun konsensus bersama mengenai Format Indonesia Masa Depan dan proses reformasi ke arah sana. Ini semacam visi besar mahasiswa yang ditegaskan ke seluruh pelaku politik sebagai lapangan besar bermain mereka. Dalam main-frame inilah, mahasiswa bisa menjalankan fungsi social-controlnya dengan instrumen mass power dan institutional power yang dimiliki.
Membangun konsensus di tengah kemajemukan mahasiswa memang bukan hal mudah, apalagi;; mengarah kepada fragmentasi yang bersifat pemikiran sampai ideologis. Dalam situasi ini yang dibutuhkan adalah membangun mainstream kekuatan mahasiswa. Arus utama inilah yang bisa membangun konsensus dan kemudian secara de facto, merepresentasikan gerakan mahasiswa. Dalam posisi dan agenda besar inilah, mahasiswa harus menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung-jawab moral yang berpihak kepada kebaikan rakyat. Keberpihakan ini berorientasi kepada kebutuhan mendasar mayoritas rakyat Indonesia yang sekarang ini sekarat dalam aspek ekonomi. Untuk itu, mahasiswa harus mampu bersikap politis-pragmatis dalam mensikapi berbagai polemik politik yang dikedepankan berbagai kalangan politisi.

5. Konstelasi Kekuatan Elit Politik
Unsur-unsur kekuatan politik di lapangan sangat beragam sampai pada polarisasi idelogisnya. Peta pertama adalah kekuatan status quo. Golkar dengan jalur ABRI, Birokrasi dan Golkar memang mengalami krisis soliditas organisasi. Namun demikian, Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar dan juga ABRI yang membutuhkan pijakan politik akan tetap berupaya menjaga eksistensi Golkar. Isu tentang Dewan Caretaker dan rencana Munaslub yang kepanitiaannya dikuasai pendukung Soeharto menunjukkan hal ini. Hal yang masih dimiliki Soeharto adalah kekuatan uang - sesuatu yang semakin sulit bagi Golkar sekarang ini.
Hal paling signifikan dalam memperhitungkan Golkar adalah militer. Fragmentasi dan friksi di kalangan sipil bisa menjadi celah bagi masuknya militer dalam arena politik. Cara pandang lama, bahwa sipil tidak mampu menjalankan pemerintahan akan muncul lagi - sesuatu yang menjadi justifikasi berperannya ABRI dalam bidang sosial-politik di awal Orde Baru. Meskipun begitu, perubahan-perubahan lingkungan strategis menyulitkan militer untuk menjadi aktor kekuasaan. Namun mereka sangat mungkin menjadi _the invisible hand_ dari kekuatan sipil, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara lain.
Peta kedua, kekuatan Soekarnois di bawah bendera Megawati yang bisa membesar manakala terjadi aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan sosialis-komunis. Konvergensi antar kekuatan ini sangat dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, kedekatan ideologis antara warisan pemikiran politik Soekarno dengan pemikiran sosialisme-komunisme. Kedua, ikatan historis yang terbangun dalam nuansa gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, dimana Megawati sempat dijadikan simbol perlawanan. Ketiga, eskalasi politik yang dibutuhkan unsur-unsur kekuatan baru yang akan menggunakan PDI Megawati sebagai batu loncatannya (milestone). Ini berkaitan dengan aspek legal-formal, popularitas dan akseptabilitas politik yang dimiliki Megawati.
Peta ketiga, kekuatan Sosialis-Komunis. Arus besar kekuatan sosialis-komunis ditandai dua simpul generasi. Pertama, generasi tua dari kalangan eks Tapol PKI dan tokoh-tokoh sosialis yang sepanjang perjalanan Orde Baru berhasil membangun akses politik yang kuat. Kedua, angkatan muda dari generasi lapis kedua eks Tapol PKI dan orang-orang muda yang memiliki orientasi pemikiran Neo-Marxisme. Mereka relatif menjadi organized power, bahkan memiliki jaringan kerja internasional.
Peta keempat, kekuatan Kristen. Sepuluh tahun terakhir terpinggirkan secara politis, kekuatan Kristen sangat mungkin mengkonsolidasikan kekuatannya dengan topangan barat, khususnya jaringan Katolik internasional. Kelebihan mereka adalah lengkapnya infrastruktur yang dibutuhkan bagi sebuah kekuatan politik formal. Salah satu; kunci kekuatannya adalah akses ke militer yang relatif masih kuat. Polarisasi ideologi yang berkembang - pertarungan Islam vs Kristen - menjadi motif kuat kalangan Kristen untuk mengedepankan agenda politik dan membuka aliansi dengan kekuatan-kekuatan non-Islam lainnya. Instrumen status quo - Golkar dan Militer - akan tetap dijadikan pijakan alternatif dalam rangka penguaan politik (political reinforcement).

N. Lenin
13-14 (26-27) September 1917


CATATAN:
[7] Blanquisme – adalah suatu aliran dalam gerakan sosialis Perancis yang dipimpin oleh Louis Auguste Blanqui (1805-1881), satu komunis utopis terkemuka. “Blanquisme menduga bahwa umat manusia akan dibebaskan dari perbudakan upah, tidak oleh perjuangan kelas proletarian, namun melalui satu konspirasi yang dilakukan oleh satu minoritas kecil dari kaum intelektual”. Aliran ini gagal untuk menghitung dengan situasi kongkrit, yang harus dipakai dalam perhitungan kapan satu pemberontakan akan berhasil, dan menolak untuk menciptakan ikatan dengan massa. [h.22].

[8] Apa yang ada di pikiran Lenin adalah demonstrasi massa yang bertempat di Petograd pad tanggal 3-4 (16-17) Juli 1917. Itu adalah gerakan para prajurit, pelaut dan pekerja, yang marah pada Pemerintahan Sementara karena mengirimkan pasukan ke penyerangan tanpa harapan yang membuktikan satu kegagalan. Itu dimulai pada tanggal 3 (16) Juli dengan satu demonstrasi oleh Resimen Senjata Mesin Pertama di Distrik Vyborg, dan mengancam akan berkembang menjadi satu pemberontakan bersenjata melawan Pemerintahan Sementara. Partai Bolshevik menentang untuk melakukan pemberontakan pada saat itu karena percaya bahwa krisis revolusioner belumlah sampai pada puncaknya. Rapat Komite Sentral pada jam 4 p.m. tanggal 3 (16) Juli memutuskan agar menahan diri untuk melakukan tindakan, dan keputusan yang serupa diputuskan oleh Konferensi Bolshevik Kota Petograd Kedua yang dilakukan segera. Para delegasi pergi ke pabrik-pabrik dan distrik-distrik untuk menghentikan massa pergi melakukan aksi, namun gerakan terlanjur terjadi dan tiada suatupun yang dapat dilakukan untuk menghentikannya.
Pada larut malam, Komite Sentral, bersama dengan Komite Petograd dan Organisasi Militer menghitung gejolak massa dan memutuskan untuk turut serta dalam demonstrasi untuk memimpinnya dalam satu karakter damai dan terorganisir. Lenin sedang dalam liburan pendek setelah kerja yang melelahkan. Setelah diinformasikan atas peristiwa itu, dia kembali ke Petograd di pagi hari tanggal 4 (17) Juli dan mengambil kepemimpinan.
Lebih dari 500.000 orang terlibat dalam demonstrasi pada 4 (17) Juli. Para demonstran membawa slogan-slogan Bolshevik, seperti “Seluruh Kekuasaan untuk Soviet” dan menuntut bahwa Komite Sentral Eksekutif Soviet Seluruh Rusia harus mengambil kekuasaan. Namun pemimpin kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik menolak untuk melakukan hal tersebut. Pemerintahan Sementara, dengan sepengetahuan dan persetujuan Komite Sentral Eksekutif yang didominasi oleh kaum Menshevik dam Sosialis-Revolusioner mengirim pasukan yang terdiri kaum Cadet dan Cossak untuk menyerang dan menembaki para pelaku demontrasi damai. Pasukan kontra-revolusi ditarik dari garis depan untuk mematahkan demonstasi.
Malam itu, Lenin memimpin satu pertemuan para anggota Komite Sentral dan Komite Petograd, yang mengambil satu keputusan untuk menghentikan demontrasi dengan cara organisisional. Hal ini merupakan langkah yang bijak, yang menyelematkan kekuatan revolusioner utama dari kekalahan. Kaum Menshevik dan Sosialis-Revolusioner bertindak dengan satu cara yang menolong kaum kontra-revolusioner; mereka bergabung dengan kaum borjuis untuk menyerang Partai Bolsehevik. Koran Bolshevik, Pravda, Soldatskaya Pavda (Prajurit Kebenaran) dan lain-lainnya ditutup oleh Pemerintahan Sementara. Sementara Rumah Percetakan Trud yang dioperasikan dengan dana yang disumbangkan oleh kaum pekerja dihancurkan. Kaum pekerja dilucuti dan ditangkap, pencarian dan penghukuman pun dimulai. Unit-unit revolusioner dari garnisun Petograd dipindahkan dari ibukota dan dikirimkan ke garis-depan.
Setelah peristiwa Juli, kekuasaan di daerah pindah ketangan Pemerintah Sementara yang kontra-revolusioner. Periode kekuasaan kembar berakhir, dan demikian pula dengan tahap revolusi damai. Kaum Bolshevik menghadapi tugas untuk mempersiapkan pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan Pemerintahan Sementara.

[9] Pemberontakan kontra-revolusi oleh kaum borjuis dan pemilik tanah pada bulan Agustus 1917 dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat, Jendral Kornilov, pendukung tsar. Para pelaku plot merencanakan untuk mengambil-alih Petograd, menghancurkan Partai Bolshevik, menggantikan Soviet-soviet dan membentuk tatanan diktator militer dengan maksud merestorasi kerajaan. Kerensky, pimpinan Pemerintahan Sementara, terlibat dalam plot tersebut. Namun ketika pemberontakan sedang berjalan, dia menyadari bahwa dia dengan Kornilov akan disikat dan dia mencuci-tangan atas seluruh urusan itu: diumumkan bahwa pemberontakan itu ditujukan melawan Pemerintahan Sementara.
Pemberontakan berakhir pada 25 Agustus (7 September), ketika Kornilov mengirimkan Korp Kaveleri Ketiga ke Petograd, dimana organisasi-organisasi kontra-revolusioner gatal untuk melakukan aksi.
Perjuangan massa melawan Kornilov dipimpin oleh Partai Bolshevik, yang diteruskan sebagaiman diinginkan oleh Lenin untuk menelanjangi kesalahan Pemerintahan Sementara dan kaki-tangannya kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik. Komite Sentral Partai Bolshevik menghimpun kaum pekerja Petograd dan prajurit dan pelaut revolusioner untuk berjuang melawan kaum pemberontak. Para pekerja Petograd dengan cepat mengorganisasi unit-unit Tentara Merah. Komite-komite revolusiener dibentuk diberbagai tempat. Pergerakan pasukan Kornilov terhenti dan moral mereka diturunkan oleh para agitator Bolshevik.
Pemberontakan Kornilov dihancurkan oleh para pekerja dan petani yang dipimpin oleh Partai Bolshevik. Di bawah tekanan massa, Pemerintahan Sementara terpaksa memberikan perintah penangkapan dan penuntutan atas Kornilov dan kaki-tangannya dengan tuduhan menyusun suatu pemberontakan.

[10] Cadets (Partai konstitusional Demokrat) – partai terbesar dari kaum borjuis kerajaan yang liberal di Rusia, didirikan pada Oktober 1905. Keanggotaannya terdiri dari kaum kapitalis, pemilik tanah yang begerak pada dewan-dewan lokal dan kaum intelektual borjuis. Anggota termuka mereka diantaranya PN. Milyukov, SA. Muromtsev, VA. Maklakov, AI. Shingaruyov dan PB Struve. Kaum Cadet pada akhirnya berkembang menjadi satu partai borjuis-imperialis. Selama Perang Dunia Pertama, mereka mendukung secara aktif kebijakan luar-negeri Pemerintahan Tsar mengenai agresi. Selama revolusi borjuis-demokratis di bulan Februari 1917, mereka mencoba menyelamatkan kerajaan; memainkan satu peranan penting dalam Pemerintahan Sementara yang borjuis, mereka melakukan suatu kebijakan kontra-revolusi melawan kepentingan rakyat.
Setelah Revolusi Sosialis Oktober yang Agung, mereka menjadi menjadi lawan yang fanatik dari kekuasaan Soviet dan terlibat dalam segala operasi militer kontra-revolusioner dan kampanye-kampanye kaum intervensionist. Setelah kekalahan kaum intervensionist dan tentara-putih, Kaum Cadet melarikan diri ke luar negeri dan meneruskan aktivitas kontra-revolusioner anti-Soviet mereka. [h.24]
The Alexandrinsky Theatre di Petrograd merupakan suatu tempat dimana Konferensi Demokratik dilangsungkan.
[11] Benteng Peter dan Paul di Neva yang berseberangan dengan Istana Winter berfungsi sebagai penjara negara dari lawan politik Tsar. Sekarang sebagai musium, yang memiliki persenjataan berat dan situasi yang strategis.

[12]Divisi Biadab (The Savage Division), didirikan pada PD I, yang terdiri dari sukarelawan-sukarelawan orang-orang Kaukasia. Jenderal Kornilov menggunakan divisi ini untuk menyerang Kaum Revolusioner Petrograd.

* * *