Sejarah Pergerakan Pemuda dan Pergerakan Wanita
Sebelum tumbuhnya dengan cepat
organisasi-organisasi pemuda daerah pada dasawarsa kedua abad ini, Budi
Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 pada mulanya dapat dipandang
sebagai organisasi pemuda. Hanya sesudah kongres I, peranan pemuda dalam
organisasi ii menjadi lemah bahkan kemudian hilang karena sama keluar karena
merasa kecewa atas kebijaksaan oleh pemimpinnya
Beberapa
tahun sesudah Budi Utomo didirikan, pada tahun 1915 berdiri Tri Koro Darmo
di jakarta, Pendirinya, yakni antara lain Satiman Wiryosandjoyo, Kadarman dan
Sunardi menetapkan bahwa
perkumpulan
itu dibentuk khusus untuk anak-anak sekolah menengah yang berasal dari daerah
Jawa dan Madura. Tri Koro Dharmo yang berarti tiga tujuan mulia (Sakti,
Budi, Bakti) bertujuan menimbulkan pertalian antara murid-murid bumi
putara sekolah menengah dan perguruan kejujuran ;
menambah
pengetahuan umum bagi anggota-anggota dan membangkitkan dan mempertajam peranan
buat segala bahasa dan budaya. Dengan ini hendak dicapai tujuan untuk mencapai
Jawa Raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pernuda-pemuda Jawa,
Sunda, Madura, Bali dan Lombok.
Untuk
menghindari perasaan tidak puas dari pihak sementara anggota yang dapat
melemahkan organisasi, pada tahun 1918 dalam kongresnya di Solo namanya diubah
menjadi Jong Java. Dalam kongres tahun 1919 diputuskan untuk menunjuk
seorang anggota wanita duduk dalam pengurus besar dan dalam anggota redaksi
majalah organisasi. Kegiatannya berkisar pada bidang sosial-budaya, seperti
pemberantasan buta huruf, kepramukaan, seni dan lain-lain. Pada kongres bulan Mei
1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak mencampuri urusan politik.
Anggota-anggota dilarang menjalankan politik atau menjadi anggota perkumpulan
politik.
Meningkatnya
radikalisme Pergerakan Nasional mempengaruhi Jong Java untuk toh
bergerak di bidang politik kongres ke VII bulan Desember 1924, akibat pengaruh
Sarekat Islam, usul Ketua Jong Java yaitu Sjamsuridjal agar anggota yang sudah
berumur 18 tahun diberi kebebasan untuk berpolitik dan memasukkan program
memajukan agama islam, mendapat tantangan dan anggota. Adanya program memajukan
agama Islam didorong oleh H. Agus Salim seorang tokoh Sarekat Islam
dengan
alasan
peranan agama sangat besar dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka. Usul ini
ditolak, dan yang setuju bepolitik mendirikan Jong islamieten Bond (JIB)
dengan agama sebagai dasar perjuangan. Untuk menggalang persatuan dengan
organisasi pemuda islam lainnya dibentuklah Pemuda Muslimin Indonesia. JIB yang
terpengaruh SI, dan Jong Java yang terpengaruh oleh Budi secara perorangan
tidak melarang anggotanya bergerak dalam politik. Banyak dijumpai kasus di mana
anggota JIB adalah juga anggota Jong Java dan sebaliknya.
Dalam
kongres-kongres selanjutnya diambil keputusan untuk memupuk persatuan di
kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, meningkatkan nasionalismenya dan juga
telah diputuskan untuk lebih banyak menggunakan bahasa Melayu daripada bahasa
Belanda, di samping itu juga kata Inlands (bumiputra) diganti dengan Indonesisch. Sejalan
dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda daerah lain juga membentuk organisasi-organisãsi
pemuda seperti :
- Jong Sumatranen Bond,
- Pasundan,
- Joig Minahasa,
- Jong Ambon,
- Jong Celebes,
- Jong Batak,
- Pemuda Kaum Betawi,
- Sekar Rukun
- Timorees Verbond dan
lain-lain.
Pada dasarnya oganisasi itu semua
masih berrsifat kedaerahan tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan
indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
Jong
Sumatranen Bond didirikan pada bulan Desember 1917 di jakarta dengan
cabang-cabang di Padang dan Bukit tinggi. Tujuannya adalah mempererat
hubungan di antara pemuda-pemuda yang berasal dari Sumatra, mendidik mereka
untuk menjadi pemimpin bangsa, mempelajari dan mengembangkan budaya yang ada di
Sumatra. Tokoh utama dariorganisasi itu adalah Moh. Hatta dan Muh. Yamin
Diluar
negeri dimana pemuda-pemuda indonesia banyak menuntuk ilmu, organisasi pemuda
juga muncul. Tetapi paling terkenal dan kemudian juga sangat berpengaruh dalam
Pergerakan Nasional Ialah Perhimpunan Indonesia. Melalui majalah Indonesia
Merdeka gagasan-gagasan PI disebar ke indonesia. Organisasi ini didirikan
pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging hanya untuk kegiatan
sosia, tetapi sesudah tahun 1920 terutama bergerak di bidang politik.
Nasionalisme dan percaya pada diri sendiri dalam mencapai cita-cita Indonesia
Merdeka merupakan dasar utama perjuangan PI. Tokoh-tokohnya yang utama adalah
Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, Sukiman, Sunaryo, Ali Sastroamidjoyo, Iskak, Samsi,
Bdhyarto Martoatmodjo, Iwa Kusumasumantri, Sutan Sjahrir, Nasir Datuk Pamontjak
dan lain-;ain yang ternyata kemudian memegang peranan penting dalam Perjuangan
Nasional sejak 1945, dalam pemerintah Republik Indonesia, dan dalam
partai-partai politik.
Meningkatnya
nasionalisme yang mendorong keinginan untuk bersatu dalam perjuangan, mendorong
organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan itu untuk bersatu
dalam satu wadah. Pada tanggal 30 April- 2 Mei 1926 diadakanKomite itu adalah
hasil dari pertemuan antara Jong Java, Jong Sumatranenbond, Jong Ambon, Jong
Minahasa, Sekar Rukun dan lain-lain pada tanggal 15 Nopember 1925. Tujuan
kongres ialah untuk menanamkan semangat kerjasama antara perkumpulan pemuda di
Indonesia untuk menjadi dasar persatuan Indonesia dalam arti yang lebih luas.
Usul untuk
Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta. Kongres ini dilaksanakan oleh suatu
komite yang diketuai oleh Tabrani dengan anggota Bahder Djohan, Sumarto, Jan
Toule, Soulehuwij, Paul Pinontuan.
membentuk
suatu organisasi bagi pemuda Indonesia tidak berhasil karena rasa kedaerahan
masih kuat. Karena itu pada tanggal 15 Agustus 1926 beberapa organisasi pemuda
mengadakan pertemuan di Jakarta untuk membicarakan suatu badan tetap bagi
kepentingan pemuda Indonesia. Hasilnya adalah bahwa pada tanggal 31 Agustus
1926 disyahkan anggaran dasar suatu organisasi baru yang bernama Jong Indonesia
dengan tujuan menanamkan dan mewujudkan cita-cita persatuan Indonesia.
Organisasi
ini berbentuk permanen dan berdiri di luar organisasi-organisasi pemuda yang
sudah ada.
Akan tetapi
harapan pada Jong Indonesia itu tidak begitu terpenuhi. Karenanya pada
permulaan tahun 1926 oleh Algemene Studieclub di Bandung dibentuk pula
organisasi baru juga dengan nama Jong Indonesia. Tujuan tidak begitu banyak
berbeda dengan yang lama, tidak berpolitik tetapi membolehkan anggotanya
berpolitik secara perorangan. Sementara itu para pelajar di Jakarta dan Bandung
melihat adanya dua kepentingan yang bertentangan dalam penjajahan, yang disebut
mereka
sebagai
antithese kolonial yang sangat merugikan pihak Indonesia. Antithese ini akan
hapus apabila penjajahan sudah lenyap. Untuk itulah para pelajar tersebut, yang
berasal dan berbagai daerah, pada bulan September 1926 mendirikan organisasi
Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. Berdasarkan pandañgan
tersebut, PPPI bertujuan memperjuangkan Indonesia Merdeka dan untuk itir para
anggota dididik untuk menjadi pemimpin rakyat sejati. Dengan demikian para
anggota harus rajin belajar. Cita-cita itu hanya akan tercapai apabila sifat
kedaerahan lenyap, begitupun perselisihan pendapat antara sesama nasionalis
harus lenyap. Dalam aksi-aksinya kelihatan militansi PPPI dibidang pergerakan
pemuda, sosial dan politik. Tokoh-tokohnya antara lain adalah:
- Abdullah
Sigit
- Sugondo
- Suwiryo
- Sumitro
Reksodiputro
- Muh.Yamin,
- A.K.
Gani, Moh. Tamzil
- Sunarko
- Sumanang
- Amir
Sjarifuddin.
Pada tahun
1928 alam politik di Indonesia sudah dipenuhi oleh jiwa persatuan. Rasa bangga,
rasa telah menemukan diri-sendiri, rasa memiiki cita-cita tinggi yaitu
Indonesia Merdeka, telah mencekam jiwa rakyat Indonesia yang terjajah. Dalam Kongres
Pemuda Indonesia II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, yang
dihadiri oleh utusan organisasi-organisasi pemuda, diikrarkanlah sumpah yang
terkenal dengan nama Sumpah Pemuda. Isinya adalah:
ISI SUMPAH PEMUDA :
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia
mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia
mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kepada
Kongres juga diperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage
Rudolf Supratman, dan bendera Merah Putih yang dipandang sebagai bendera
pusaka bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928, merupakan salah satu puncak Pergerakan Nasional. Karena itu peristiwa
yang bersejarah ini setiap tahun diperingati sampai sekarang sebagai han besar
nasional. Sebagai kelanjutan kongres ini pada tanggal 24-28 Desember 1929 di
Yogyakarta disetujui gagasan fusi daripada organisasi-organisasi pemuda
yang telah ada. Persiapan ke arah itu dilakukan oleh suatu komisi dan pada
tanggal 31 Desember 1930 dalam konferensi di Solo berdirilah Indonesia Muda,
yang pada saat berdirinya telah mempunyai 25 cabang, 4 di Sumatra dan satu di
Su1awesi. Jong Islamieten Bond dan Pemuda Muslimin karena alasan tertentu tidak
ikut dalam Indonesia Muda. Organisasi ini memutuskan tidak akan bergerak dalam
aksi politik walau hanya sebagai taktik belaka. Tetapi justru keputusan ini
kemudian menyebabkan organisasi ini agak mundur. Meskipun telah ada pernyataan
demikian, namun kecurigaan pemerintah kolonial tetap besar, bahkan sampai
melarang murid-murid beberapa sekolah untuk menjadi anggotanya. Tekanan dan
pengawasan yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap organisasi ini
menyeabkan banyak anggotanya ke luar. Akibatnya perasaan tidak puas terhadap
pemerintah kolonial bertambah dalam.
Politik reaksioner
Gubernur Jenderal de Jonge yang mengadakan bermacam-macam peraturan
larangan bagi kegiatan organisasi-organisasi nasional menyebabkan aksi-aksi
menjadi lesu. Untuk memperkuat barisan, kembali diusahakan suatu kongres pemuda
pada tahun 1936. Usaha itu gagal karena tidak ada ijin dari pemerintah. Barulah
pada tahun 1938 dapat diadakan Kongres Pemuda Indonesia III di Yogyakarta,
dihadiri utusan 22 organisasi, yang melahirkan fusi baru organisasi pemuda
yaitu Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Pemuda Indonesia (Perpindo)
dengan pusat di Jakarta. Dalam organisasi ini organisasi-organisasi pemuda yang
bernaung di bawah sesuatu partai politik tidak turut serta.
Di samping organisasi yang bersifat “sekuler” juga ada organisasi yang
bersifat keagamaan seperti :
- Anshor Nahdatul Ulama,
- Pemuda Muhammadiyah,
- JIB
- Persatuan Pemuda Kristen,
- Persatuan Pemuda Katholik,
danlain-lain.
Begitupün
organisasi yang terbatas lingkungannya masih banyak juga seperti Pemuda
Taman Siswa, Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan lain-lain. Bahkan
organisasi pemuda yang tumbuh pada masa-masa terakhir penjajahan Belanda yang
ada sifat kedaerahannya juga masih ada seperti: Pemuda-Pemudi Cirebon, Pemuda
Sriwijaya, Minangkabau Muda dan sebagainya.
Sejalan
dengan gerakan pemuda, dalam Pergerakan Nasional juga ada gerakan wanita.
Terutama yang khusus berjuang untuk rneninggikan derajat wanita, emansipasi
wanita dan hal-hal yang bertalian dengan kesejahteraan rumah tangga yang
menjadi tiang suksesnya pembangunan sesuatu bangsa. Semenjak dirintis oleh R.A.
Kartini pada permulaan abad ini gerakan wanita berkembang seirama dengan
gerakan pemuda. Pada umumnya bergerak di bidang sosial- budaya, dan di samping
mendirikan organisasi, mereka juga menerbitkan majalah-majalah dan brosur-brosur
yang kesemuanya mempercepat proses kemajuan wanita Indonesia. Perkumpulan
wanita berdiri di mana-mana seperti :
- Perkumpulan
Kartinifonds di Semarang,
- Putri
Mardika di Jakarta,
- Maju
Kemuliaan di Bandung,
- Wanita
Rukun Santoso di Malang,
- Budi
Wanito di Solo,
- Kerajinan
Amai Setia di Kota Gadang,
- Serikat
Kaum Ibu Sumatra di Bukittinggi,
- Inaa
Tuni di Ambon,
- Gorontalosche
Mohammedaansche Vrouwenvereeniging,
- dan
Sebagainya.
Banyaknya
perkumpulan ini juga menunjukkan bahwa golongan wanita tidak mau ketinggalan
dalam proses kemajuan nasional. Surat kabar gerakan wanita yang terkenal
antara lain adalah:
- Poetri
Hindia di Bandung (1909),
- Wanito
Sworo (1913) di Pacitan-Brebes,
- Soenting
Melayoe di Bukittinggi,
- Estri
Oetomo di Semarang,
- Soeara
Perempuan di Padang,
- Perempoean
Bergerak di Medan
- Poetri
Mardika di Jakarta.
Kalau pada awalnya gerakan wanita lebih terdapat pada golongan
elite yang sadar, maka sesudah tahun 1920 gerakan itu sudah sampai ke
lapisan bawah. Perkembangan itu juga terjadi karena perluasan pengajaran bagi
wanita dan kesediaan organisasi-organisasi untuk membentuk bagian wanita.
Contoh: Aisyah yang merupakan bagian organisasi Muhammadiyah, pada tahun 1929
telah mempunyai 5.000 orang anggota dan 32 sekolah dengan 75 guru-guru wanita.
Terpengaruh oleh gerakan pemuda, maka organisasi-organisasi wanita mengadakan
pula suatu kongres nasional yang dinamai Kongres Perempuan indonesia, pada
tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hasilnya adalah dibentuknya Perserikatan
Perempuan Indonesia (PPI) yang pada tahun 1929 diubah namanya menjadi
Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Tanggal lahir PPII tanggal 22
Desember 1928 kemudian dikenal sebagai "Hari Ibu” dan
tiap tahun diperingati dan dapat dipandang sebagai hari ahirnya kesadaran yang
mendalam pada pihak wanita Indonesia mengenai martabatnya.berbeda dengan PPII,
istri Sadar yang didirikan di Bandungpada tahun 1930 lebih bercorak sesuatu
organisasi politik, begitupun Istri Indonesia yang ikut serta dalam pemilihan
anggota dewan-dewan kotapraja pada tahun 1983. Namun bila dibandingkan dengan
sejumlah wanita dari golongan bawah, hasil-hasil gerakan wanita selama
penjajahan berjumlah banyak.
Pra Kemerdekaan 1942-1945
Pemuda Jawa (Pusat pergerakan awalnya di tanah Jawa, kemudian menyebar) secara
mendalam dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yg sedang berlangsung dalam
masyarakat disekitar mereka. Pengalaman baru merekapun ikut membentuk Kesadaran
Mereka.
Pada tahun 1940, diperkirakan ada sekitar dibawah 5 juta pemuda di pulau jawa
yg berumur antara 15-19 tahun.1.789 pelajar yg terdaftar di sekolah-sekolah yg
mendapat pendidikan Barat dan 637 orang adalah mahasiwa. Secara kasarnya dapat
dikatakan bahwa kurang dari satu dalam setiap 2.000 pemuda yang ada di jawa yg
menempuh pendidikan Non Tradisional tingkat tinggi. Jumlah kecil Minoritas ini
terlihat melukiskan WATAK konservatif dari politik pendidikan Kolonial dan juga
mempunyai hak-hak Istimewa. Karena mayoritas dari mereka adalah anak-anak dari
Priyayi terkemuka, orang-orang profesional yg berhasil di kota-kota besar maupun
pendatang kaya. Selama tahun-tahun terakhir Zaman Imperialis Belanda, Politik
Pemuda terpusat di kota besar; Jakarta, Bandung (itu juga karena terdapat
fakultas Teknik, Kedokteran, Hukum di tempat itu) dan kota besar lainnya.
Pemuda-pemuda yang berkesadaran Politik pada thn 1930-an menunjukkan
betul-betul terisolasi dari masyarakat Sebaya mereka.
Dari Baris Berbaris Menuju Perang
Dalam tahun 1943, Lembaga pendidikan yang di buat Belanda ditutup oleh Jepang,
kecuali : Fakultas Kedokteran (FK) yang di buka kembali. Fasis Jepang kemudian
membuka ”Pusat-pusat pendidikan tertentu tetapi tidak dapat digambarkan sebagai
lembaga-lembaga yang bersifat Akademi”.
Beberapa mahasiswa lulusan sekolah-sekolah Belanda mencari kerja pada
pemerintahan militer dalam berbagai bidang, namun yang paling diminati adalah
SendenBu (Departemen Propaganda). Ada juga yang mengasingkan diri dari
masyarakat, bertemu degan sanak saudara, selain itu sebagian juga melakukan
diskusi-diskusi tidak resmi, secara intensif membaca tentang segala masalah
yang nampaknya berkaitan degan keadaan mereka & hari depan. Beberapa
diantara mereka tertarik kedalam kelompok-kelompok bawah tanah seperti kelompok
bawah tanah PKI, kelompok bawah tanah PARI pimpinan Tan Malaka, Kelompok Sutan
Sahrir.
Jepang juga mendirikan lembaga-lembaga yang menguntungkan serta menjaga
kelanggengan Pemerintahan kerajaan Jepang di daerah bekas penjajahan Belanda.
Lembaga itu diantaranya adalah PETA (Pembela Tanah Air) yang mayoritas terdiri
dari Pemuda (Oktober 1943) dengan tujuan sebagai pasukan yang dilatih Jepang
untuk membantu Jepang di garis depan medan pertempuran jika terjadi penyerangan
dari pasukan Sekutu, disusun hanya sampai tingkat Batalyon (DaiDan),
beranggotakan 500-600 orang, pemimpinnya (Komandan-DaiDan Co) dipilih yang agak
tua karena menurut Jepang mempunyai pengaruh dan berwibawa terhadap Pemuda.
Heiho (Pasukan Bantuan) dibentuk sebagai badan resmi dari pasukan Angkatan
Darat (AD), menyusul badan-badan lain seperti Keibodan, Jawa Hokokai dll.
Pada Thn 1944 kekalahan perang yang dialami Fasis Jepang sudah semakin banyak,
keadaan ekonomi di Jawa khususnya sudah sangat merosot. harapan masyarakat
kepada Jepang semakin menurun karena melihat tingkah laku yang semena-mena
terhadap rakyat, namun semangat menuju Indonesia yang merdeka menjadi semakin
membara
Jawa hokokai di mobilisir untuk melakukan pengawasan yang lebih “Ketat”
terhadap rakyat. Selain organisasi SuiShinTai (Barisan Pelopor) dimaksudkan
sebagai barisan Aktivis yang akan menggerakkan Hokokai dibawah kepemimpinan
Resmi SOEKARNO. Tetapi secara Operasional (kepemimpinan) di kendalikan
Dr.Muwardi, barisan ini menarik Kaum Muda dari segala lapisan masyarakat
kedalamnya.Baris-Berbaris A”La Militer degan menggunakan Bambu Runcing. Sambil
mendengarkan Soekarno Berpidato mengajarkan para anggotanya Teknik memobilisir
massa melalui Organisasi ini.
Organisasi-organisasi diatas yang dilahirkan guna menghadapi sekutu itu
ternyata dihari depan semua organisasi itu secara dialektis menjadi perangkat
yang berguna untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia. Maka Gaya Politik Fasis
Jepang memberikan pada Pemuda Jawa suatu Corak Baru dari kahidupan dan tindakan
politik,mengandung Kritik Radical terhadap Nilai-nilai dari pandangan politik
yang ditanamkan Kolonial-Imperialis Belanda.
Minoritas Yang Membakar
Kelompok-Kelompok Pemuda yang telah disebutkan diatas kebanyakan di kota-kota
besar, secara kwantitas sangat kecil, informasi-informasi buat mereka sangat
terbatas tentang keadaan Internasional dan nasional Indonesia saat itu.
Kelompok-kelompok ini mempunyai Basis-basis kelembagaan yang menimbulkan
kepercayaan pada diri pribadi. Basis-basis mereka terutama ada pada
Asrama-Asrama untuk berbagai golongan Pemuda, selain tempat pengungsian untuk
para mahasiswa yang kandas belajarnya (Di tutup Jepang). Asrama memberikan
Alternatif lain yaitu menyediakan forum-Diskusi secara Tertutup.
Ada 3 nama Asrama Mahasiswa yg terkenal (menjadi pusat Kegiatan Pada saat itu)
:
1. Asrama Fakutas Kedokteran, yang terletak di Prapatan 10 (sebagai catatan, FK
adalah satu-satunya Pendidikan Tinggi yang di buka Jepang) walaupun mahasiswa
ini secara pasti dipengaruhi oleh situasi Krisis, namun pandangan mereka
mengenai peristiwa-peristiwa politik juga beralaskan kenyataan. Fakultas mereka
adalah kelanjutan dari Zaman Belanda yang belum begitu banyak di ubah oleh
Jepang. Orientasi mereka lebih condong ke BARAT dari pada Gerakan-Gerakan Bawah
Tanah lainnya. Adapun pemimpin asrama ini adalah : Sutan Sahrir, Johar Nur,
Syarif Thayeb, Darwis, Ari Soedewo. Selain itu Asrama Mahasiswa lainnya ada di
Jln.Cikini yang ditempati oleh Chaerul Saleh, Djohar Nur. Kusnandar Cs.
2. Berpusat di Asrama Angkatan Baru Indonesia, jalan. Menteng Raya 31 (sekarang
gedung Juang) yang didirikan pada awal pendudukan Jepang dengan bantuan
SendenBu. Ada Sukarni, Maruto Nitimiharjo, Adam Malik, Pandu kartawiguna, DN.
Aidit, Armunanto, MH. Lukman, AM. Hanafi (yang bekerja di bawah tanah)
tujuannya : menciptakan Inti dari aktivis-aktivis pemuda yang setelah masa
pelatihan akan meneruskan hasil latihan itu pada kader-kader di daerah dan
mereka mengorganisir rakyat didaerah pinggiran Jakarta (Hal ini nantinya akan
terlihat bagaimana kemampuan mereka memobilisasi massa pada saat rapat Akbar
pada tanggal 19 September 1945 di lapangan IKADA (sekarang Monas). Masa
Pelatihan resminya di Menteng 31, berakhir pada bulan April-1943, keanggotaan
asrama itu tidak lebih dari 50 atau 60 orang. Ada bekas mahasiswa FH, juga
bergabung pemuda-pemuda berpendidikan lebih rendah, namun sudah turut dalam
gerakan-gerakan tahun 1930-an. Komposisi penghuni tersebut sangat jelas ada
golongan yang lebih tua dan muda.
Dibawah pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di SendenBu (Barisan Propaganda
Jepang) dibawah Mr. Muhammad Yamin. Termasuk didalam grup Sukarni ini ialah
Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, Marutto Nitimiharjo yang memang sejak jaman
Belanda dahulu mempunyai hubungan-hubungan perjuangan satu sama lainnya.
Sukarni dengan grupnya inilah yang mempunyai hubungan politik dan idiologi
dengan PARI-Tan Malaka.
3. Asrama Indonesia Merdeka belakangan berubah, alasan-alasan Problematik
pendirinya (Laksamana Tadashi) yang selama ini memimpin BuKanFu-kantor
penghubung Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD) di Jakarta. Asrama ini
berada di Kebon Sirih 80 (1944). Setelah jaman pendudukan, beberapa upaya telah
dilakukan oleh kelompok Syahrir untuk mendiskusikan kegiatan-kegiatan Maeda dan
orang-orangnya. Terutama karena alasan-alasan Politik. Kadang dituduhkan bahwa
kelompok Kaigun (AL-Jepang) telah mendirikan asrama itu untuk melatih
infiltrator-infiltrator yang akan menyusup ke dalam Gerakan Bawah Tanah (GBT)
”Komunis” yaitu Kelompok Stalinis Ortodoks (PKI yang didirikan kembali oleh
Musso pada tahun 1935) dan Kelompok Komunis Nasionalistis yang mempunyai hubungan
erat dengan PARI-Tan Malaka. Namun tidak ada bukti tentang itu, kesaksian
Wikana, seorang yang jelas bukan “Dekat degan Jepang” dengan tegas membenarkan
ketulusan Hati Laksamana Maeda dan pembantunya mengenai kemerdekaan Indonesia.
Perlu ditekankan bahwa kelompok ini (Asrama) mencerminkan kemauan yang tumbuh
di pihak pemuda untuk menganggap diri sebagai pemikir pikiran-pikiran
kritis”jika hati seorang di sakiti oleh kesengsaraan Penduduk, yang semakin
parah yang di muakkan oleh keterlibatan Politisi Tua yang diwakili oleh
Soekarno dan Hatta yang merupakan kolaborator Jepang, Pamong Praja dalam
program Romusha dan penyerahan Padi secara paksa dan sinis tentang Janji Fasis
Jepang dalam soal janji Kemerdekaan.
Terbentuknya Beberapa kelompok ini disebabkan Karena :
Adanya Perbedaan latar belakang Pendidikan (Tempat/Daerah didapatkannya
pendidikan oleh para pemuda, ada yang bersekolah di Belanda, ada yang hanya di
Indonesia.
Adanya kedekatan beberapa Pemuda dengan Orang-orang belanda maupun Tidak
Ini berarti menunjukkan belum adanya suatu Organisasi Revolusioner/Partai
Revolusioner/Partai Pelopor-Avant Garde yang mempunyai kesatuan dalam bergerak.
Koordinasi Group pemuda tersebut tidak secara langsung tapi berdasarkan
Individu-Individu yang ada dalam organisasi tersebut.
Dapat di simpulkan adanya metode yang berbeda dalam Pencapaian Kemerdekaan, dan
dalam hal Pengisian Kemerdekaan. Ada yang dengan jalan Kompromi atau mau
bekerjasama dengan Fasis Jepang dan juga ada yang menolak bekerja sama dengan
Fasis Jepang. Berikutnya setelah kemerdekaan ada yang ingin berjuang dengan
cara perang total ataupun ada yang ingin mengutamakan jalur diplomasi.
Masa Kemerdekaan. (jaman perang mempertahankan kemerdekaan)
Dibawah kesadaran keadaan Dunia yang sedang bergejolak antara lain dengan
Mendaratnya pasukan-pasukan Amerika di pulau Leyte telah mensinyalir akan
tanda-tanda kehancuran Fasis Jepang. Serangan Inggris di Birma dengan cepat
memperoleh kemajuan, di bawah keadaan itu menjadi lebih mendesaklah mengadakan
pertemuan untuk Menghimpun dukungan rakyat setempat di pulau Jawa. Dengan
memberikan wawasan yg lebih luas kepada perasaan Nasionalis kedudukan
tawar-menawar dari pada nasionalis Indonesia, baik golongan muda maupun tua
bertambah baik. Salah satu dari tanda-tanda yang paling nyata dari perubahan
ini adalah kongres Pemuda yang di liangsungkan di VILLA Isoha, Bandung 16-18
Mei 1945. Sidang Kongres itu sebagai tanda dari kemajuan dan keikhlasan pemuda.
Kongres itu di sponsori oleh Pemimpin-pemimpin muda yang pertama sejak
pendudukan Jepang di Jawa. Setelah melalui perdebatan 3 hari, pemuda memutuskan
dua Resolusi penting, yaitu :
1.Seluruh golongan Indonesia harus di persatukan dan di sentralisasikan dalam
satu kepemimpinan.
2.Kemerdekaan Indonesia harus di wujudkan secepat mungkin, Angkatan Muda harus
selalu siap mengabdikan Tenaga, Jiwa dan Raganya Ke arah pengkoordinasian
seluruh upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Tekanan semakin Keras yang dilakukan oleh para pemuda lebih terlihat pada
sidang Ke-8 dari Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), dimana pemuda
mendesak Jepang supaya membawa lebih banyak Pemuda kedalam kerangka
pemerintahan. Kemudian mendesak Jepang untuk mengembangkan pelatihan daam
Kepemimpinan Gerakan Rakyat Baru (GRB/suatu organisasi Massa yang telah
diumumkan oleh Jepang akan didirikan pada bulan Juli 1945).
Pada waktu yang sama terdapat sekelompok kecil Pemuda (sekitar 100 orang tokoh
pemuda) yang diKetuai oleh B.M Diah seorang wartawan di Surat Kabar
Metropolitan Asia Raya yang dapat mencari Informasi secara mendetail tentang
perkembangan situasi Perang dengan cepat sehingga informasi kemajuan sekutu di
Asia dan kekalahan Jepang di Pasifik samar-samar sudah terdengar.
Sukarni, Sudiro (Mbah), Sjarif Thayeb Cs, para pemuda terkemuka di Jakarta
mengadakan pertemuan untuk membentuk kelompok Penghubung Poliik tak Resmi yang
bernama Angkatan Baru. “Kelompok inilah yg Kemudian membentuk Gerakan Angkatan
Baru Indonesia yg menggerakkan Menteng 31”
6 Juli saat sidang itu di buka pemimpin-pemimpin angkatan baru bertemu untuk
membahas kedudukan mereka. Persoalan pokok timbul dalam pembahasan Rancangan
Piagam GRB, dimana Pemuda Menuntut supaya Kota-kota Republik Indonesia
disiapkan, tentu saja tidak dapat diterima Jepang karena :
1.Tokyo sendiri belum membuat keputusan terakhir mengenai kapan dan dengan
bentuk apa kemerdekaan akan diberikan kepada Indonesia.
2.Badan Penyelidik yg membahas apakah Indonesia akan menjadi negara Monarki
atau Repulik.
Akibat hasil rapat tersebut hanya menimbulkan makian, kekecewaan yang besar
pada diri tiap Para Pemuda. Desas-desus Jepang yang sudah hampir menyerah
kepada Sekutu melalui para Pemuda yang bekerja di SenDenBu dari siaran radio
San Fransisco, bahwa Fasis Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Imperialis
Sekutu dan pengumuman resmi penyerahan tanpa syarat itu di umumkan pada tanggal
15 Agustus 1945.
Siaran Kaisar Hirohito di terima di Jakarta, sementara itu berita dengan cepat
menyebar degan cepat melalui jaringan Pemuda di seluruh pelosok.
Atas prakarsa Mahasiswa FK, rapat Darurat dilangsungkan di Laboratorium
Bakteriologi Pegangsaan yang dihadiri pula oleh Kelompok Menteng 31, disitu
diputuskan untuk mengirim suatu delegasi yang dipimpin Wikana untuk menjumpai
Soekarno malam itu juga agar mendesak membuat Proklamasi, namun Soekarno
menolak dan menimbulkan ketegangan dan suasana emosional, mereka menyatakan
Soekarno telah gagal menjadi Bapak, akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan
darah apabila tidak mau mengumumkan pernyataan itu.
Penghinaan pribadi terhadap Wikana telah menimbulkan jarak yang semakin dalam
antara Golongan Tua dan Muda dan sebagai tantangan bersama. Atas prakarsa
Sukarni, penculikan terhadap Soekarno-Hatta terjadi, kira-kira pukul 04. pagi
dini hari 16-08-45. Soekarno-Hatta dilarikan ke Rengasdengklok, atas kawalan
Peta Jakarta Raya yang dipimpin oleh Sodanco Singgih dan pimpinan Peta
Rengkasdengklok Sudanco Umar Bachsan (beliau adalah salah seorang pendiri
Lembaga Kebudayaan Rakyat –LEKRA-). Disana terjadi desakan untuk
memproklamasikan kemerdekaan yang akhirnya menimbulkan perdebatan antara pemuda
dan Soekarno-Hatta. Akhir dari perdebatan itu hanya kebuntuan. Akhirnya
Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta oleh para pemuda.
KRONIK PROKLAMASI (15-17 AGUSTUS 1945)
Setelah perdebatan tentang perlunya sesegera mungkin di kumandangkannya
Proklamasi antara Para Pemuda dan Golongan Tua :
Sore hari: Subadio S.dan Subianto datang ke rumah Hatta, mengabarkan Jepang
Menyerah pada Sekutu, minta pada Soekarno sebagai pemimpin untuk atas nama
rakyat mengucapkan Proklamasi lewat radio ke seluruh dunia.
Hatta menyatakan, bahwa Jepang telah mengakui kemerdekaan Indonesia, dan
penyelenggaraannya terserah pada PPKI. Karena itu rapat akan diadakan di
Pejambon besok.
Ke dua pemuda mengatakan hal itu harus di halangi. Hatta mengajukan beberapa
alasan namun sampai setengah jam terjadi perdebatan, ke 2 Pemuda mengatakan : “
Di saat Revolusi kami rupanya tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak
Revolusioner! ”
Hatta Menjawab: ”Saya pun menginginkan Revolusi tapi ingin menyiapkan
Organisasinya. Tindakan kalian ini Putsch sama seperti yang dilakukan Hitler di
Muenchen ! ”
Pemuda: Bung tidak bisa diharapakan mengadakan Revolusi ,”
Jam 20.00: Rapat dipimpin oleh Chaerul Saleh di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan
timur, Jakarta hadir Dari Golongan Pemuda; Chaerul Saleh, Djohar Nur,
Kusnandar, Subadio, Subiantoro, Margono, dari golongan Kaigun; Wikana,
Armansjah.
Keputusan: Menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal Rakyat,
tidak dapat di gantungkan pada orang lain, maka harus diputuskan dengan janji
Jepang, dan diadakan pertemuan dengan Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta.
Jam 21.30 : Ketika Hatta sedang mengetik naskah Proklamasi, datang Subardjo
untuk mengajak menemui Soekarno, yang waktu itu sedang dipaksa Para Pemuda
untuk Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia hari itu juga.
Mereka langsung ke rumah Soekarno disana bertemu dengan; Dr. Buntaran
Martoatmodjo dll. Pemuda memaksa Soekarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan,
tapi menolak dengan alasan yang sama dengan Hatta.
Jam 22.00: Keputusan rapat golongan pemuda disampaikan wikana dan Darwis pada
Ir.Soekarno. Wikana menuntut untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, jika
tidak akan terjadi pertumpahan darah.
16 AGUSTUS 1945
Kaisar Hirihito memerintahkan penghentian seluruh pertempuran menyusul
pernyataan menyerah tanpa syarat.
Jam 4.00 waktu makan sahur Sukarni dkk datang ke rumah Hatta, menjelaskan
karena semalam Soekarno tidak mau melakukan proklamasi maka pemuda-pemuda
mengambil putusan sendiri:
1.Soekarno-Hatta di bawa ke Rengasdengklok untuk memimpin Republik dari sana
2.Menjelang jam 12.00-15.00 Rakyat-Mahasiswa-PETA akan menyerbu dan melucuti
Jepang.
Rombongan pergi ke Rengasdengklok sebelumnya menjemput Soekarno.
Jam 12.30: Hatta meminta sukarni untuk mengecek tentang serbuan ke Jakarta
seperti yang direncanakan, namun setelah meengecek ternyata tidak ada
penyerbuan.
Jam 18.00: Sukarni mangatakan ”bahwa Ahmad Soebrdjo datang atas perintah untuk
menjemput Soekarno Hatta.”
Rombongan kembali pulang ke Jakarta.
Jam 22.00: Berkumpul di rumah Laksamana Maeda.
Maeda: Saya mencintai Indonesia Merdeka. Mereka selanjutnya ke rumah Nishimura.
Terjadi percakapan antara Nishimura dan Hatta dkk:
Nishimura:Jepang tidak bisa mengubah status Quo, tentara jepang telah menjadi
alat Sekutu. Sayang Jepang tidak bisa menolong para pemimpin Indonesia
menyelenggarakan Kemerdekaan.
Hatta: (Memperingatkan Janji Jepang pd Soekarno-Hatta-Radjiman-lewat Jenderal
Terauchi)
Nishimura: Tapi sekarang Rapat PPKI terpaksa kami larang.
Hatta dkk: Kalau jepang tidak bisa memenuhi janjinya, Rakyat Indonesia akan
memerdekakan dirinya, Jepang jangan coba-coba menghalangi.
Nishimura: Kami hrs menghalangi terjadinya perubahan pd Status Quo.
Hatta dkk: apakah Jepang akan menembaki Pemerintah Indonesia ?
Nishimura: Apa boleh buat, tapi Bersabarlah Sekutu memperhatikan keinginan
Bangsa Indonesia, kami terpaksa menjilat pada Sekutu.
Jam 24.00: sidang PPKI di rumah Laksamana Maeda di hadiri para pemimpin
Pemuda,Pergerakan dan anggota Cuo Sangi In,sementara itu diluar berkumpul
banyak Pemuda
17 Agustus 1945: jam 10.00 pagi proklamasi di bacakan oleh Ir.Soekarno
dihalaman tempat kediamannya, jalan. Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang dihadiri
sekitar 500 orang yang terdiri dari : Para Pemuda, kaum pergerakan, Barisan
Keamanan,dan massa Rakyat Jakarta.
(1945-1949)
Pada masa Revolusi Nasional Para Pemuda, pelajar dan Intelektual tergabung
dalam Laskar Rakyat,Tentara Pelajar, Serikat Buruh dan Partai-Partai politik
(Parpol). Bahasa sama pada waktu itu;mempertahankan Dan Menyelesaikan Revolusi
Nasional. Karakter dari Pemuda, Pelajar adalah Anti Imperialisme.
Dikeluarkannya Maklumat X oleh KNIP mendorong berdirinya partai-partai politik.
Hal ini sebenarnya sangat kontra revolusi karena dapat memecah belah persatuan
rakyat Indonesia yang di kotak-kotakan oleh partai-partai politik yang tumbuh
bak cendawan di musim hujan.
Gerakan yang ada pada saat itu (Berupa laskar-laskar, seperti laskar pemuda,
laskar pelajar, dan laskar lainnya) juga ikut terkotak-kotakan oleh partai
politik. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadinya bentrokan-bentrokan antar
laskar-laskar bersenjata yang dimiliki oleh partai-partai tersebut. Seperti
bentrokan antara Laskar merah dari PKI dengan Front Hizbullah dari Masyumi,
atau Laskar Bambu Runcing/Laskar Rakyat Jakarta Raya sayap bersenjata dari
Persatuan Perjuangan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasukan pemerintah.
Strategi pokok yang dipakai pada waktu itu adalah Perjuangan diplomasi sambil
sedikit melalui perjuangan Bersenjata (Dalam Laskar Rakyat).
Pasca Revolusi Kemerdekaan
Polarisasi Kekuatan Dunia
Menelaah Sejarah Gerakan Mahasiswa, sangat erat kaitannya dengan menelaah
Situasi Nasional Sejarah politik, ekonomi 1950-1960-an.
Juga tidak bisa tidak harus mempertimbangkan situasi Internasional yang
melingkupi. Sejak Pasca perang dunia II, negara-negara yang dulu tergabung
dalam aliansi Fasisme, Jepang, Italia dan Jerman terpecah menjadi 2 Blok Blok
Barat yang berideologi Liberal-Kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok
Timur yang berideologi Kerakyatan*Sosialis-Komunis dengan Pimpinannya USSR (Uni
Soviet Sosialis Republik), polarisasi ini membawa Bumi kedalam kekuatan
Militer, Politik yang di kenal dengan Perang dingin.
Selain Indonesia yang pada saat itu baru merdeka, banyak negara-negara lain di
Afrika, Asia dan Amerika Latin mengumandangkan kemerdekaannya. Perlu di ketahui
bahwa sebagian besar Negara-Negara yang baru merdeka tersebut pada umumnya
bebas dari cengkeraman-Cengkeraman dari Negara-Negara Imperialis yang
berideologi **Liberal Kapitalis maupun ultra Nasionalist Sempit atau yang
dikenal dengan ***Fasis.
Atas dasar hak setiap bangsa di Belahan dunia untuk merdeka dibentuklah
Konferensi Asi Afrika sebagai Gerakan dari Negara-Negara Asia, afrika, maupun
Amerika Latin yang tidak mau terlibat dalam polarisasi ke 2 negara tersebut.
Amerika pada saat itu di pimpin oleh seorang Purnawirawan Jenderal yang sangat
Konservatif-Eisenhower-bekas panglima Sekutu di Eropa.
Eisenhower bertekad setelah menghancurkan Fasisme, tiba saatnya menhancurkan
Komunisme dan para simpatisannya.
Dalam konteks itu ia berprinsip bahwa”bersikap Netral itu Amoral. Padahal inti
dari Konfrensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok adalah sikap sebagai bangsa
yang Berdaulat, bebas menentukan nasib sendiri.
Setelah kemerdekaan bentuk negara Indonesia berganti menjadi RIS (negara
federasi) pasca perjanjian KMB dan UU yang berlaku adalah UUDS 1950 yang
membatasi kekuasaan presiden Soekarno dan menyerahkan kepengurusan pemerintahan
kepada Perdana Menteri. Sistem pemerintahan ini dinamakan sistem Parlementer.
Ternyata dalam perjalanannya tidak ada Perdana Menteri beserta kabinetnya yang
mampu bertahan lama karena antar partai politik yang duduk di parlemen saling
menjatuhkan.
Tahun 1953, juga telah dilangsungkan pendaftaran pemilih bagi keperluan pemilu
yang akan diselenggarakan pada tahun 1955. Pemilu pertama ini berpegang pada
prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia). Pemilu ini adalah yang pertama
kali diselenggarkaan setelah Indonesai merdeka. Ada pun susunan pemenang pemilu
adalah sebagai berikut :
1.
PNI 57 kursi.
2. Masyumi 57 kursi.
3. Partai NU 45 kursi.
4. PKI 39 kursi.
Hal yang cukup mencengangkan adalah hasil yang signifikan yang diraih oleh PKI
karena pada saat itu banyak orang menilai pasca peristiwa Madiun, kondisi PKI
sudah hancur disebabkan karena banyak pemimpin-pemimpin partai (Musso, Amir
Syarifudin, Maruto Darusman, Oey Gwe Hwat, Suripno tewas).
Masyumi cukup puas dengan mempunyai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Partai
Katolik (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia – PMKRI), Parkindo GMKI,
ketiganya bernafaskan agama yang bersama-sama dengan 4 organisasi lokal lainnya
yaitu Perhimpunan Aktivis Kedokteran Hewan (bogor), Masyarakat Mahasiswa Malang
(MMM) membentuk Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI
merupakan wadah organisasi ekstra universitas di tingkat nasional. PPMI
dibentuk oleh 7 organ ini melalui konfrensi mahasiswa di Malang pada tanggal 8
– 10 Maret 1947.
Pada 8 Juni 1950, bergabung pula Badan Kongres Mahasiswa Indonesia (BKMI),
Federasi dari 5 organisasi mahasiswa lokal yang berada dibawah pendudukan
Belanda pada masa perang kemerdekaan seperti Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
Bandung (PMIB) yang kemudian berkembang menjadi Perhimbunan Mahasiswa Bandung
(PMB) dan Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Surabaya
(PMS) yang kemudian berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS),
Perhimpunan Mahasiswa Bogor (PMS) kemudian menjadi Masyarakat Mahasiswa Bogor
(MMB), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Jakarta (PMIJ) kemudian menjadi Gerakan
Mahasiswa Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), serta Perhimpunan
Mahasiswa Makasar.
SITUASI POLITIK NASIONAL (Pertarungan Elit Politik)
Keterlibatan Militer di bawah komando AD, dalam lapisan
Pemuda,Pelajar/mahasiswa di mulai dari penandatanganan”Piagam Kerja sama pada
tgl 17 Juni1957 yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjend Pemuda Rakyat)
SM.Thaher (Pemuda Demokrat) A.Buchori (GPII), K.H Wahib Wahab (Ansor) dan Let.Kol
Pamurahardjo (AD). Strukturalisasi ini di nyatakan dalam Badan Kerja Pemuda
Militer(BKS-PM). Fase ini adalah titik dimana Pergeraakan Mahasiswa mulai
dilirik.
Pertarungan antara elit adalah yang melatar belakangi Gerakan Mahasiswa
Indonesia, selain tentu saja hal itu tidak terlepas dari kematangan-kematangan
Ideologi-Ideologi yang ada dibanding tahun sebelumnya.
Gerakan Mahasiswa Thn 1966 perlu dibeberkan secara lebih proporsional, secara
Kritis dalam memahami aspek Gerakan Mahasiswa beserta dampak yang di
timbulkannya di tengah-tengah rakyat Indonesia.
Sebab bila dibandingkan dengan yang lain Gerakan Mahasiswa thn 66 paling besar
Klaimnya terhadap pembentukan Politik, maupun dampaknya terhadap pembentukan
opini rakyat hingga saat ini.
Selain merupakan Sejarah “Paling Gelap”selain sangat Kontroversial.
Pemaparan ini setidaknya membawa ”Dimana sebenarnya Gerakan Mahasiswa itu
bersifat Otentik atau berdasarkan Moral Force dalam menghantam kekuasaan.
Dimana sadar atau tidak Gerakan Mahasiswa terjebak dalam Permainan politik
pihak lain. Apakah itu Militer, dan Parpol yang ada saat itu.
Hal ini menjadi persoalan yg sangat krusial yang menyelubungi Gerakan Mahasiswa
66. Karena itu perlu didapatkan rekonstruksi baru berdasarkan data-data baru,
Pertarungan antara berbagai kekuatan Politik pada Sektor Mahasiswa
(baca;Student) merupakan pertarungan Ideologi antara Elemen progresif yang
bersandarkan pada politik kerakyatan yang berbasiskan pada kekuatan-kekuatan
Mayoritas Rakyat yaitu; (Buruh,Tani).
Dibawah Payung GMNI ”Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PNI-Asu)- Partai
Nasional Indonesia Ali Sastroamijoya dan Ir. Surachman, Perlu di ketahui GMNI
terfragmentasi menjadi 2 kubu yaitu GMNI-nya Ali- Surachman yang Kerakyatan
(Kiri) sependapat dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia)
dipimpin oleh Hardoyo, yang dikenal berada di bawah PKI. Dengan GMNI yang masih
dianggap menjalankan misi Nasionalis (GMNI-Osa usep – Osa Maliki dan Usep
Ranuwijaya) yang diidentifikasi sebagai nasionalis kanan dan anti PKI. Elemen
Student lainnya yang reaksioner adalah HMI, PMKRI,dan GMSos.
Karakter mahasiswa yang pertama di sebutkan diatas adalah Anti Imperialisme dan
Feodalisme. pekikan-pekikan seperti; Anti Neo Kolonialisme, Ganyang Kapitalis
Birokrat, Ganyang Kaum komprador, Amerika kita setrika Inggris kita linggis
adalah bahasa yang di kumandangkan dalam setiap aksi.
Sedangkan pekikan-pekikan student yang ke dua Komunisme satelit Soviet, Anjing
Peking, Diktator, Komunisme menghalalkan segala cara adalah bahasa-bahasa yang
sama di kumandangkan oleh pihak-AD, Masyumi, PSI, NU.
Politik Indonesia saat itu diwarnai”Pertentangan antara ABRI, Soekarno- PKI
dalam merebut panggung politik .
Soekarno dengan semboyan NASAKOM-nya bertemu secara ideologi dengan PKI saat
itu. Apalagi saat itu dengan slogan Amerika kita seterika Inggris Kita Linggis
dan “Go to Hell With your aids” adalah salah satu pertanda indonesia dalam
kepemimpinan Soekarno Anti Blok Barat.
Militer karena ”merasa berjasa” dalam pembentukan Republik menuntut hak-hak
istimewa dalam Politik.Tidak jarang tekanan politik yang memakai cara-cara
”Politik Militer” dimainkan oleh pihak-pihak ABRI saat itu.
Salah satu contonya, termasuk Nasution Kolonel Zulkifli Lubis dan Kemal Idris
pada 17 Oktober 1952 yang menuntut di lakukannya perubahan politik yang
menjamin aspirasi mereka dengan cara mengepung istana dengan persenjataan
lengkap dengan mengarahkan moncong meriam ke Istana negara.
Selain itu Hadirnya Partai-partai Politik antara tahun 1955 sampai 1959
menambah kekuatan baru.
Militer melihat tidak efektif dalam memutuskan suatu masalah, sedangkan
permasalahan membutuhkan penyelesaian yang cepat. Sedangkan bagi Soekarno
Banyaknya partai menyalahi semangat Revolusi.
UU Darurat di berlakukan mengingat banyaknya pemberontakan yang terjadi,
menambah peluang ABRI bisa berbuat lebih banyak.termasuk dapat mengawasi DPR
hasil pemilu 1955.
Karena dengan alasan situasi yang tegang dimasyarakat, dengan Demokrasi
Parlementer yang goyang, jatuh bangunnya kabinet, adalah alasan yang tepat
mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UU 45.
Juga tidak hanya hasil sidang konstituante yg di buang, DPR dan Badan
Konstituante hasil pilihan rakyat 1955 turut di bubarkan.(menurut Petter Bitten
”Keberhasilan Militer mendorong Soekarno adalah kemenangan yg sesungguhnya bagi
Kaum Militer”.
Sebab dengan di berlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali ke UU 45
dengan sendirinya memberi peluang kepada Soekarno untuk memeperoleh kekuasaan
UU yang bersifat presidensil tersebut yang memberikan kekuasaan yg sangat besar
pd Soekarno, selama demokrasi parlementer yang memberikan kekuasaan eksekutif
pada perdana menteri.
Namun dengan di berlakukannya UUD 45 merupakan satu keuntungan bagi Militer.
Sebab dengan begitu dapat memberikan keuntungan yang besar. Disinilah kelihatan
Bargaining Politik yang aneh antara Militer dan Soekarno.
Sadar akan kekuatan politik yang ada Soekarno kemudian menggandeng
Partai/Organisasi besar:NU, PNI dan lebih condong ke PKI. Pembentukan Front
Nasionalisme, agama dan Komunis (Nasakom) membuat militer semakin terpojok.
Indonesia makin ke Kiri setelah menerima senjata dari Soviet, yang bermula
keengganan Amerika membantu persenjataan dalam masalah irian Barat. Padahal
Tentara Indonesia baik yg berlatar belakang dari KNIL maupun PETA mayoritas
Anti Komunis, ditambah lagi saat itu banyak perwira Militer di Indonesia banyak
di latih Di Amerika Serikat. Program pelatihan tersebut yang jelas anti komunis
selain itu minat utama A.S adalah menggunakan Indonesia sebagai tameng dalam
menghadapi Komunis.
Di kabinet Militer menguasai 1/3 kursi,&1/3 Gubernur dari wilayah-wilayah
itu adalah orang-orang militer.
MILITERIS DAN PKI
dI tahun 1960 Undang-Undang Landreform lahir yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) & UUBH (Undang-Undang Pokok Bagi Hasil) Intinya tidak boleh
mempunyai tanah terlalu luas walaupun orang tersebut membelinya, hal ini adalah
awal Pertentangan antara Militer, NU, dan sebagian PNI yang merupakan tuan
tanah dengan PKI, PKI menginginkan agar UU itu dijalankan secara konsekwen tapi
ternyata AD dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya kurang puas. AD sebagai
kekuatan Militer yg terkoordinasi dan mempunyai kelebihan yg tidak di punyai
oleh kelompok lain adalah “Kepemilikan tunggal Senjata” merasa bahwa atas usaha
sebagian besar dari mereka dalam mempertahankan Repulik merasakan Soekarno
terlalu dekat dgn PKI (telah di sebutkan diatas).PKI dalam melakukan aksinya
yaitu melakukan perampasan tanah-tanah yang tidak sesuai dengan UU Landreform
tersebut, kadang dalam perampasan tanah kekerasan terjadi hingga jalan masuk
ini yg di gunakan oleh pihak AD hingga didaerah yg keras sering terjadi
pertumpahan darah.
Selain itu masalah-masalah seperti Pembebasan Irian Barat,
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi (DI/TII-Masyumi, PRRI/PERMESTA- PSI,
Konfrontasi dengan Malaysia, penurunan mata uang dari 1000 ke 100 rupiah
(scenering).
Situasi international ditahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno sesungguhnya
semakin menghangatnya perang dingin antara Blok imperialis A.S dengan kekuatan
NATO melawan Blok Komunis Uni Sovyet dengan Pakta Warsawanya. Sedangkan
Indonesia berada di bawah pimpinan Bung Karno berada dalam kekuatan negara ke 3
yang sedang berjuang memerdekakan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin sebagai bentuk kekuatan baru yang sedang tumbuh yang oleh Bung Karno
dinamakan “The New Emerging Forces” melawan “The Old Established Forces”. Dalam
situasi seperti inilah para kaki tangan imperialisme dunia didalam negeri
bermain untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Sebagai buktinya di ketemukan
dokumen Gilchirst dikedubes Inggris yang pada waktu itu didemonstrasi dan
diobrak-abrik oleh ormas-ormas yang tergabung dalam Front Nasional. Isi dari
dokumen tersebut adalah dukungan kepada “Our Local Army Friend” untuk
menjatuhkan Soekarno. Selain itu ada juga peristiwa lainnya seperti
Penggayangan aktivis-aktivis Manikebu oleh Lekra/PKI dan LKN-PNI, melihat
kedekatan Soekarno kepada PKI, dan pengikut setia Soekarno melihat bahwa ajaran
Soekarnoisme telah diselewengkan, maka mereka mendirikan Barisan Pendukung
Soekarno (BPS) dibawah pimpinan Sayuti Melik yang reaksi berikutnya dari PKI
adalah menuntut pembubaran BPS. BPS kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada
tanggal 17 Desember 1964. Aksi-aksi pemboikotan Film AS dan tindakan terhadap
Asosiasi Film Amerika (AMPAI) dan Bill Palmer, pengambil alihan
perusahaan-perusahaan Inggris, pembubaran partai Murba, pengganyangan terhadap
hal-hal yang berbau kebudayaan barat (musik ngak-ngik-ngok), aksi pengganyangan
3 setan kota (koruptor, kapitalis birokrat, birokrat komprador) dan 7 setan
desa, pengganyangan menuntut pembubaran HMI (sayap mahasiswa masyumi) pada saat
rapat akbar Pemuda rakyat dan CGMI seperti nampak pada pidato D.N Aidit bahwa
CGMI “lebih baik pakai sarung jika tidak bisa membubarkan HMI ”.
Bentrokan-bentrokan antar golongan mahasiswa reaksioner seperti HMI, PMKRI,
GMKI, GMNI-Osa-Usep dengan CGMI dan GMNI-Asu. Aksi-aksi menentang agresi AS
terhadap Vietnam.
Sebagai reaksi terhadap aksi-aksi dari kelompok kiri, kaum reaksioner dalam
negeri (AD) yang berkomplot dengan kaum imperialis As juga meningkatkan
aktifitasnya menimbulkan provokasi-provokasi.
Dan pada puncaknya semakin terakumulasi sampai peristiwa G 30 S, menurut versi
Angkatan Darat dan Gestok menurut Soekarno. Yang semakin membuyarkan harapan
massa rakyat saat itu. Harga-Harga barang semakin naik. Dengan adanya
masalah-masalah tersebut mahasiswa mulai melakukan protes untuk mengkritik
keadaan tersebut.
Pada mulanya gerakan ini masih sangat terbatas jumlahmya, hanya sekitar 75
orang paling banyak.Tema utama dari Demonstrasi tersebut adalah Mengutuk
Gerakan Kontrarevolusi dan GESTAPU dan semua tuduhan itu ditujukan kepada PKI
beserta ormas-ormasnya.
Seluruh Media Massa sudah dibredel oleh militer, sumber informasi hanya dapat
diperoleh dari koran berita Yudha (harian militer AD), sehingga massa dengan
mudah dipengaruhi. Yang melakukan aksi pada saat itu tidak saja dilakukan oleh
pemuda, pelajar/mahasiswa saja tapi Parpol dan organisasi sosial lainnya bahkan
tentara turut serta. Pembubaran PKI serta Turunkan harga kebutuhan pokok adalah
tuntutan-tuntutan umum saat itu.
Gerakan Mahasiswa yang ada dan demonstrasi yang di lakukan mereka bersifat
lokal dalam arti hanya sekitar kampus, Kota ataupun Kedaerahan. Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) saat itu Mayjen.Sjarif Thajeb
memberikan saran agar dibuat organisasi nasional.
Mahasiswa menyambut maka pada tgl 25-Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia. Tgl 10 Juni 1966 mahasiswa mendeklarasikan Heri
Kebangkitan Mahasiswa sambil mengusung TRITURA (3 tuntutan Rakyat) Bubarkan
PKI, Re Tool Kabinet Dwi kora danTurunkan Harga. Dukungan terhadap mahasiswa
justru mendapat sambutan dari masyarakat bawah.
Mulai dari tulisan di pamflet-pamflet, coretan-di dinding tembok kantor
pemerintah sampai mendatangi para pejabat bahkan kedutaan-kedutaan asing,
seperti RRC yang dituduh melakukan banyak intervensi terhadap Indonesia.
Gerakan mahasiswa ini dituduh sebagai Agen CIA, namun beberapa pimpinan KAMI
mengatakan “aksi kami karena terdorong oleh keadaan rakyat yg semakin
sengsara.”
“kalaupun ada yang menunggangi kami maka merekalah yang menunggangi Amanat Hati
Nurani Rakyat. Dalam satu ketika mereka mengatakan ”aksi kami adalah Moral
Force.”
Yozar Anwar ”penerjemah bukuPergolakan Mahasiswa Abad 20”-seorang presidium
KAMI mengatakan ”GM muncul sebagai curahan perasaan rakyatyg mendambakan
perubahan untuk kemajuan
Dukungan KAMI semakin luas tidak hanya dari Parpol maupun Organisasi sosial
lainnya.
Dalam Rapat apel siaga Jend.Nasution hadir dalam apel di Aula UI. Pangkostrad
Mayjen Soeharto ”Batista” Presiden dari Indonesia hanya memberikan sambutan
tertulis.
KOSTRAD dan RPKAD yang telah lama membantu mahasiswa baik dalam penjagaan
ketika aksi, melakukan rapat-rapat untuk konsolidasi.
Sebagaimana yang di ucapkan Kemal Idris: untuk menghindari
penculikan-penculikan mahaisswa oleh Pasukan Cakrabirawa maka Tokoh utama KAMI
seperti : Cosmas Batubara, Abdul.Gafur, David Napitupulu mendapat perlindungan
dari KOSTRAD,
Bahkan mereka sampai menginap di Asrama tersebut. Ini bukanlah kerelaan hati
maupun kikhlasan Militer tapi merupakan bagian dari Pertarungan Kekuasaan.
Akhir cerita PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan dan dilarang serta
berikutnya setelah itu adalah penangkapan 15 menteri dari kabinet 100 menteri.
Soekarno sendiri pada akhirnya diturunkan lewat keputusan rapat MPRS yang pada
saat itu keanggotaannya sudah diganti dengan orang-orang yang pro-Jend.
Soeharto dikuatkan dengan penetapan TAP MPRS No. 33 tahun 1967. Maka akhir
cerita selesailah orde lama dan pupus sudah cita-cita masyarakat sosialis
Indonesia, karena berikutnya dibawah kepemimpinan Soeharto Indonesia bergabung
dengan blok kapitalis-imperialis Amerika. Serta menolak kebijakan Komunisme.
Pada masa ini pula mulai ada pemisahan antara pemuda dengan mahasiswa, dan
mahasiswa mulai terpisah dari akar rumputnya, yaitu masyarakat. Pada saat ini
pula Indonesia membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk masuknya modal asing
yang itu akan dipergunakan untuk menghisap Sumber Daya Alam Indonesia dan
menghisap seluruh rakyat Indonesia.
Orde Baru.
Naiknya Soeharto membuat seluruh oposisi hancur dengan dibubarkannya PKI dan
organisasi afiliasinya tidak ada organisasi yang berbasis massa yang mengkritik
pemerintahan yang didominasi militer. Kelompok kelas menengah muslim maupun
yang sekuler mendukung apa yang dinamakan Orde Baru, seperti juga banyak
aktivis mahsiswa. Tetapi segera menjadi jelas bahwa kelompok komunis bukanlah
satu-satunya kelompok yang mendapat derita dari pemerintahan baru.
Sejak pemimpin baru mencoba mengontrol masyarakat dan mencegah berkembangnya
setiap bentuk organisasi independen, banyak aktivis kelas menengah menjadi
sadar dan mulai mengkritik rezim. Sejak 1970 sampai Januari 1972 protes
dialamatkan pada tindak korupsi khususnya yang terjadi di perusahaan minyak
negara (pertaminta). Proyek Taman Mini Indonesia yang juga di sponsori istri
presiden merupakan target berikutnya. Januari 1972, pemerintah menindak
protes-protes tersebut dengan menangkapi para pemimpin mahasiswa maupun editor
media massa. Arief Budiman salah seorang pemimpin mahasiswa pindah ke Luar
Negeri setelah huru-hara.
Banyak aktivis kelas menengah mengambil perdebatan yang lebih modern dan kurang
konfrontatif. Mereka mendirikan LSM yang menangani isu-isu pembangunan
perempuan, lingkungan dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena profile politik
mereka yang rendah. Mereka lebih meloloskan diri dari bentuk-bentuk penindasan
yang lebih hebat agar bisa melanjutkan advokasi mereka.
Aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal tidak dengan pendekatan moderat
LSM itu. Tahun 1974 satu generasi baru aktivis mahasiswa menggalang demonstrasi
untuk memprotes kebijakan pembangunan dan dominasi modal Jepang di Indonesia.
Mereka di pengaruhi teori kemandirian (Independent Teori) dan barangkali juga
oleh demonstrasi mahasiswa di Thailand tahun 1973 yang mengakibatkan
berakhirnya rezim militer disana. Protes ini didukung unsur-unsur militer.
Hariman Siregar mengaku telah ,mengantongi dukungan dari sejumlah pengusaha
Indonesia. Menyusul demonstrasi dan kerusuhan 15 Januari 1974 (dikenal dengan
Malari) beberapa pimpinan mahasiswa diantaranya Hariman dipenjarakan. Setelah
peristiwa Malari Kopkatip Sudomo mensinyalir kehidupan kampus menjadi apatis.
Dr. Syarif Tayeb (mendiknas) menerapkan SK. 028 sebagai tempurung untuk
mengurung gerakan mahasiswa hanya di dalam kampus.
Pada masa itu pemerintah begitu kelihatan menerapkan security aproach. Penguasa
militer misalnya Pangdam biasanya dalam mengadakan brifing justru kesempatan
ini dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mendesak pencabutan berbagai larangan
yang mematikan mahasiswa. Perjuangan berat untuk melepaskan diri dari belenggu
kekuasaan itu supaya ditempuh dengan berbagai cara, dengan membentuk grup-grup
diskusi dikampus, pagelaran kesenian (teater) yang banyak memebrikan sindirian
terhadap situasi kehidupan politik saat itu, pembacan puisi yang kebanyakan
ekspresi kritik sosial, menjamurnya perkumpulan musik rakyat yang dipentaskan
dalam acara kemahasiswaan.
Tahun 1977- 1978 lagi-lagi mahasiswa menentang rezim orde baru sekalian
demokrasi dan HAM merupakan konsep kunci gerakan mahasiswa ini. Tahun 1977
banyak persitiwa penting yang dicatat mengenai lahirnya gerakan mahasiswa
seperti pertemuan di kota malang jatim atas prakarsa mahasiswa yang bergerak di
bidang Pers, akhir tahun 1970-an dan 80-an terjadi pula kerusuhan buruh
gelombang pemogokan melanda wilayah perindustrian Jakarta tapi setelah ada
intervensi militer frekuensinya menurun tajam.
Perjuangan buruh saat itu tidak terkait dengan protes-protes mahasiswa dan
kelas menengah lain. Menyusul demonstrasi anti pemerintah 1978 aktivitas
politik dikampus dilarang melalui kebijakan yang dikenal dengan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK) / Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Hal ini mengantarkan pada terciptanya forum-forum lain untuk diskusi dan
aktivitas politik kelompok studi dan LSM. Kelompok-kelompok studi dibentuk oleh
mahasiswa memainkan peran penting dalam memasukan ide-ide radikal dari teori kemandirian
Marxisme, Feminisme, Islam radikal, dan Teologi Pembebasan.
Suatu media mahasiswa informal bangkit. Seiring dengan perkembangan
pembangkangan di bawah ini muncul pula beberapa pembangkang elit. Pada tahun
1980, beberapa pensiunan jendral, mantan politisi sipil, intelektual dan tokoh
mahasiswa mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang mengkritik presiden
Soeharto atas idiologi negara pancasila dan konsep dwi fungsi ABRI. Pernyataan
ini lebih dikenal dengan petisi 50. Akhirnya penandatangannya dilarang
meninggalkan Indonesia, kontak dengan media, dan disisihkan dari kehidupan
elit.
Banyak kelompok digenerasi baru aktivis mahasiswa yang berkembang pada akhir
80-an mencoba menghubungkan diri dengan pekerja dan petani. Yang semakin
menuntut kondisi yang lebih baik. Demokrasi dan HAM menjadi kata kunci dalam
perjuangan tersebut dan banyak LSM baru yang vokal dan radikal dibentuk pada
akhirn 1980 dan awal 1990.
Pengalaman dibawah pemerintah orde baru tentunya melahirkan bibit-bibit
pembangkang prodemokrasi. Dibalik perkembangan prodemokrasi adalah struktur
kelas yang sedang berubah dengan tumbuhnya kelas pekerja dan menengah.
Pemikiran baru Islam juga ikut menyumbang bagi tersebarnya nilai-nilai
demokrasi.
Untuk menguraikan secara lebih rinci aktor prodemokrasi yang berbeda-beda
membuat analisis ini teratur ada baiknya dibedakan 4 kategori aktor :
Kelompok pembangkang elit dan intelek.
Generasi LSM senior.
Aktivis Mahasiswa.
Generasi baru LSM dan prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Selain isu-isu demokrasi dan Ham ada 2 isu spesifik yang memiliki nilai penting
yang saman sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Ini adalah politik
kelas bawah, yakni isu-isu kelas buruh dan tani. Isu ini digarap oleh lebih
dari 2 aktor yang tersebut pada penggolongan diatas.
Di tahun 1980 sebuah kajian tentang pembangkangan mahasiswa di Indonesia,
menyimpulkan laporan tetang 155 demonstrasi mahasiswa dalam periode 1987-1990
bertentangan dengan protes-protes mahasiswa tahun 1970 yang berfokus pada
isu-isu nasional, misalnya strategi pembangunan dan peran modal asing serta
korupsi. Gerakan mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an berkonsentrasi
pada isu-isu lokal. Mahasiswa memihak rakyat miskin yang dipaksa meningkat oleh
pemerintah (kaki tangan pemodal)
Salah satu contoh mengenai aliansi antara mahasiswa dan petani, adalah Kelompok
Solidaritas Pembangunan di Kedung Ombo (KSKPKO) kelompok ini meliputi
mahasiswa-mahasiswa dari 45 Universitas dan akademi, seniman, pekerja sosial,
dosen, dan sebagainya. Kolaborasi oleh aktivis-aktivis mahasiswa dengan rakyat
miskin di pedesaan dan perkotaan, merupakan wajah baru aktivisme mahasiswa di
era orde baru. Kontak intensif antar aktivis mahasiswa diberbagai kota melalui
kelompok-kelompok study dan Pers mahasiswa merupakan ciri lain yang membedakan
gerakan mahasiswa yang baru ini. Sementara aktivisme mahasiswa pada 1970-an
terkonsentrasi terutama di Jakarta dan Bandung, gerakan mahasiswa yang baru ini
jauh lebih tersebar luas. Bertentangan dengan tahun 1970-an, ketika aktivis mahasiswa
di organisasi dalam lembaga-lembaga kemahasiswaan resmi, generasi baru aktivis
mahasiswa ini membentuk sejumlah besar kelompok aksi dengan sasaran khusu,
mempunyai kesadaran politik lebih tinggi dan lebih siap dalam mengambil resiko
aksi politik dibanding generasi gerakan mahasiswa sebelumnya.
Hanya sekitar 0,6 % dari penduduk Indonesia adalah mahasiswa, dan dari jumlah
ini hanya sebagian kelompok yang amat kecil, kurang lebih 1 % yang dapat dicap
sebagai aktivis, kabanyakan mahasiswa di Indonesia bersikap pasif dalam politik
jika tidak apatis.
Mahasiswa Indonesia terutama berasal terutama dari kelas menengah dan karena
itu ekonomi relatif aman. Banyak dari aktivis mahasiswa radikal adalah anak
dari elit militer dan elit politik serta barang kali karenanya mendapatkan
perlindungan politik. Solidaritas mereka terhadap petani dan buruh serta
ketertarikan mereka pada teori-teori politik yang menentang
kepentingan-kepentingan kapitalis “menunjukan bahwa” peran mereka dalam
perkembangan politik saat ini adalah lebih merupakan bagian dari peningkatan
protes masyarakat.
Meskipun beberapa aktivisme mahasiswa telah dibiarkan oleh otoritas, cara
penindasan telah dipergunakan untuk mengontrol gerakan mahasiswa.
Pertemuan-pertemuan dan demonstrasi sering dibubarkan secara kasar dan
publikasi terhadap gerakan mahasiswa dilarang. Sejumlah aktivis mahasiswa
dipenjarakan pada akhir 80-an dan awal 90-an, menyusul pengadilan-pengadilan
politik. Kasus yang paling terkenal diantaranya adalah kasus “dua” Bambang dan
Bonar di Yogyakarta. Bambang Subeno, seorang mahasiswa ilmu politik UGM,
ditangkap pada 9 Juni 1988 karena menjual buku terlarang karya Pramudiya Ananta
Toer. Pada September 1989 dia dinyatakan bersalah atas tuduhan subversif dan
dihukum 7 tahun penjara. Temannya Bambang Isti Nugroho, seorang asisten Lab.
Fisika UGM dan Koord. (Kelompok Study Palagan) ditangkap pada 20 Juni 1988 juga
karena tuduhan menjual buku-buku terlarang (berbau Marxis) September 1989 dia
dihukum penjara. Juni 1994 kedua Bambang diberi kebebasan bersyarat. Bonar
Tigor Naipospos ditangkap pada Juni 1989. Ketika itu ia sedang menyiapkan
thesis pada gerakan mahasiswa 80-an dan dia sendiri adalah tokoh mahasiswa
terkemuka yang aktif dalam kelompok-kelompok study di Yogya. Tahun 1990 dia
dihukum 8 tahun, 6 bulan penjara. Dia diberi pembebasan bersyarat pada bulan
Mei 1994. Aktivis mahasiswa lainnya yang diadili pada 1980-an dan 1990-an
diJakarta adalah Bambang Beator Suryadi yang ditangkap pada Agustus 1989 karena
menyebarkan pamflet dan mengorganisir demonstrasi menentang kenaikan listrik.
Peradilan penting lain terhadap aktifis-aktifis mahasiswa terjadi diBandung
menyusul demonstrasi menentang kunjungan Mendagri Rudini ke kampus ITB pada 5
Agustus 1989. 6 mahasiswa menerima hukuman masing-masing 3 tahun. Pada 14
Desember 1993 sekitar 200 mahasiswa yang tergabung dalam jaringan FAMI
berdemonstrasi didepan parlemen mereka menuntut diakhirinya pendekatan keamanan
bagi masalah-masalah sosial dan berpendapat Presiden Soeharto bertanggung jawab
terhadap penyelewang HAM. Salah satu slogan mereka berbunyi “Seret Presiden
Kehadapan SI-MPR”. Demonstrasi ini berlangsung selama beberapa jam, tapi secara
tiba-tiba dengan kasar dibubarkan paksa oleh militer. Beberapa mahasiswa
terluka dan 21 orang ditangkap. Selama pengadilan terhadap 21 mahasiswa itu
terjadi demonstrasi di pengadilan maupun aksi solidaritas di banyak kampus di
Indonesia. Didalam persidangan tersebut mereka melihat bahwa hakim hanyalah
alat pemerintah. Pelanggaran HAM oleh orde baru mulai dari penyembelihan
orang-orang yang dianggap komunis (tahun 1965-66), aksi teror di aceh,
Timor-timor, Papua Barat, biasanya dibahas dan dikutuk.
Ketimpangan sosial merupakan perhatian utama generasi baru aktivis mahasiswa,
buku-buku berhaluan kiri banyak dipelajari seperti buku-buku Paulo Ferre, D.N
Aidit, Tan Malaka dan buku lainnya.
Pada dasarnya aktivis mahasiswa 1990-an dapat dibagi menjadi 3 kategori utama
yang menyangkut idiologi mereka. Yaitu :
kelompok-kelompok yang menggunakan wacana Marxis dan mencoba membangun gerakan
massa yang mencakupi buruh dan petani.
kelompok populis kiri yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi dan kampanye
High Profile sering langsung menentang Presiden Soeharto.
kelompok Muslim.
Salah satu kelompok mahasiswa paling radikal dan aktif di Indonesia pada akhir
80-an adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). 1989 kelompok ini
mengklaim memiliki 1500 anggota dari 20 Sekolah Menengah Umum dan Universitas
di Yogyakarta. FKMY tidak membatasi kegiatannya di Yogyakarta saja. Kelompok
ini juga aktif di Kedung Ombo dan mengirimkan orang untuk melakukan protes di
Semarang dan Jakarta. Pada 1991 terjadi perpecahan di tubuh FKMY yang
menghasilkan pendirian 3 kelompok baru utama :
Yang populis tetapi anti komunis.
Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (yang lebih radikal).
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta dan Kelompok Muslim yang tergabung dalam
serikat mahasiswa di UII.
Perpecahan itu terjadi karena ada profokasi internal masalah-masalah idiologi
dan masalah-masalah pribadi (Subyektifisme). Sebaliknya aktivis-aktivis
mahasiswa yang lebih radikal (yang kenyataannya tidak hanya memiliki perhatian
pada isu-isu di dalam kampus) tapi mencoba menjangkau petani dan buruh
mengklaim adanya perbedaan idiologi mendasar diantara organisasi-organisasi
mahasiswa. Mereka melihat permasalahan di masyarakat dilandaskan pada analisa
ekonomi dan politik. Sementara gerakan mahasiswa yang lain dilihat sebagai
“kekuatan moral” semata.
Pada tingkat nasional perbedaan kecenderungan idiologis ini diwakili pada satu
sisi oleh FAMI dan disisi lain oleh Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk
Demokrasi (SMID). Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan yang didisain
oleh penguasa militer orde baru dikantor pusat PDI (27 Juli 1996) banyak
aktivis SMID yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) ditahan.
Aktivis mahasiswa muslim termasuk yang ada di Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Jakarta (FKMIJ) mengorganisasi demonstrasi besar-besaran menentang judi milik
negara (SDSB) pada tahun 1993. protes-protes keras terutama didasarkan pada
nilai-nilai agama dan moral memaksa pemerintah untuk membubarkan usaha-usaha
itu. Dan juga aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga mengambil sikap solidaritas
untuk muslim di Bosnia dan untuk menentang Korupsi.
Meskipun gerakan mahasiswa ini tidak memiliki basis kuat (massa luas) , ciri
paling siknifikan dari generasi aktivisme mahasiswa ini adalah :
Bahwa dia telah melahirkan organisasi-organsiasi politik di Luar Kampus yang
menyerukan perubahan politik dan sering kali mencari dukungan pada kaum buruh
dan petani. Dengan demikian aktivisme mahasiswa pada akhir 80-an dan akhir
90-an turut ikut andil bagi radikalisasi oposisi demokratis di Indonesia.
Gerakan mahasiswa tersebut juga banyak belajar dari gerakan-gerakan mahasiswa
dan rakyat yang terjadi di seluruh dunia seperti gerakan people power di
Filipina menumbangkan rezim Marcos, gerakan menumbangkan pemerintah yang
dikuasai rezim militer di Thailand dan Korea Selatan. Pengalaman gerakan buruh
di Amerika Latin, Polandia dan Spanyol. Kejadian di Lapangan Tianamen (aksi
protes mahsiswa di Cina). Sifat tanpa kekerasan dari gerakan massa di Filipina
ditekankan sebagai pelajaran penting oleh banyak aktivis di Indonesia.
Perlawanan bersenjata melawan kekuatan Fasis “militer Soeharto” dengan rezim
orde barunya tidaklah mungkin, tetapi aksi massa yang massif bisa dipakai
sebagai strategi untuk menumbangkan Soeharto. Pelajaran strategis yang lebih
spesifik dapat juga diambil dari pengalaman pergerakan di Filipina. Kegagalan
gerakan kiri di Filipina dalam mengambil kepemimpinan sewaktu menumbangkan
rezim Marcos menunjukan pentingnya melengkapi gerakan bawah tanah (Ilegal)
dengan sebuah payung yang resmi (Legal) “kami harus belajar dari kesalahan
gerakan di Fiipina. Mereka lemah dari strategi tingkat atas. Organisasi kami
akan seperti payung, tetapi tidak boleh ada hubungan apapun yang bisa terlihat
dengan gerakan kami yang lain, sebab kalau terlihat bahwa ada hubungan antara
keduanya, maka semuanya akan hancur bilamana diserang. Karena itu hubungan yang
ada harus tidak kelihatan.”
Masuknya krisis kapitalis diseluruh dunia mengakibatkan guncangan yang hebat di
Indonesia. Guncangan ini timbul berasal dari seluruh lapisan masyarakat.
Sebelumnya perlu diingat bahwa pada awal 1990-an pers-pers kampus dipakai oleh
para aktivis untuk menyebarkan propaganda. Selain itu kelompok-kelompok diskusi
merupakan tempat untuk mencari dan mencetak kader. Sedangkan advokasi atau
pendampingan petani atau buruh merupakan praktek dari teori yang didapat.
Kesemuanya ini berjalan beriringan dan tidak terputus-putus.
Melonjaknya harga yang mengakibatkan keresahan pada seluruh lapisan masyarakat
tidak disia-siakan oleh para aktivis mahasiswa, buruh, petani dan pemua yang
ada dan para senior LSM. Pada akhirnya aksi merebak di mana-mana. Dari awal
yang berjumlah puluhan dalam sekejab berubah menjadi ratusan ribu, dan ini
serentak diseluruh Indonesia. Setelah pendudukan DPR/MPR oleh mahasiswa
akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mundur dari presiden dan digantikan
wakilnya.
Seiring perjalanan organ-organ mahasiswa bersatu dalam sebuah jaringan yang
bersifat nasional, namun tidak lama, karena kemudian baik organsasi lokal
maupun nasional pecah menjadi berkeping-keping. 29 Maret 1998 di Malang
dideklarasikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia sebuah organisasi
mahasiswa yang bersifat keagamaan. Bagi gerakan prodem sendiri hanya sampai
kepada menuntut reformasi tanpa sebuah konsep negara setelah itu dan siapa yang
memegang dan bersama dengan siapa. Ini tidak mengherankan karena situasi yang
timbul selama tahun 1990-an. Mendorong mahasiswa untuk menjatuhkan sebuah
pemerintahan.
GERAKAN MAHASISWA di Perancis, Jerman, Italia dan Jepang.
1950-AN DAN SELANJUTNYA
Periode demokrasi liberal, diawal tahun 1950-an, yang oleh beberapa
sejarawan dikatakan memberi dampak positif bila dilihat dari pendewasaan
pendidikan politik ternyata tidak berlaku bagi lahan mahasiswa. Pertemuan
Madjelis Permoesjawaratan Mahasiswa (MPM) PPMI dalam bulan Desember 1955 di
Bogor memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian
jelaslah bahwa keanggotaan PPMI di FPI, yang secara sosiologis dapat memberikan
dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa
justru melumpuhkan aktifitas politik mereka: membius diri dengan slogan-slogan
"Kebebasan Akademik" dan "Kembali Ke Kampus". Mahasiswa
jadinya lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan rekreasi, perploncoan, mencari
dana untuk aktifitas kedermawanan dan jarang menghadiri pertemuan-pertemuan
yang berwatak serius. Hanya segelintir saja mahasiswa yang prihatin atas
kemunduran gerakan mahasiswa tersebut.
Persiapan menghadapi PEMILU tahun 1955 menyebabkan partai-partai berusaha
mencari kader-kader baru yang cakap, dan mereka melihatnya ada pada mahasiswa.
Disinilah momentum untuk menggairahkan kembali gerakan mahasiswa, dan pada
kurun inilah terbentuk organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih kuat
berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI,
afiliasinya ke PNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GERMASOS,
afiliasinya ke PSI, terutama berbasis di UI), Himpunan Mhasiswa Indonesia (HMI,
afiliasinya lebih ke MASYUMI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI,
pada masa demokrasi terpimpin CGMI secara terbuka berdampingan dengan PKI).
Sementara itu PPMI setuju dengan posisi yang apolitis. Hanya pada Konggres PPMI
ke-IV tahun 1957, ketika organisasi-organisasi yang berafiliasi ke partai
diperbolehkan menjadi anggota PPMI, maka PPMI berhasil didorong maju. Hal ini
bisa dipahami karena banyak jabatan eksekutifnya yang kemudian dipegang oleh
CGMI dan GMNI, terutama setelah konggres PPMI ke-VI tahun 1961. Ajang kuasi
peperangan partai-partai di kampus identik dengan ajang kuasi di PPMI, berhasil
dimenangkan oleh CGMI dan GMNI. Jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa
CGMI dan GMNI menang karena memperoleh keistimewaan pada masa demokrasi
terpimpin. Sudah dari awalnya mereka berjuang dan berhasil mendorong maju
gerakan mahasiswa (PPMI) yang sedang berada dalam status demoralisasi.
Pertentangan lama antara front kiri dan partai-partai kanan, mereka tidak
pernah menyatakan diri sebagai front, mendapatkan momentumnya lagi pada saat
menghadapi PEMILU dan implementasinya di sektor mahasiswa adalah pertentangan
antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak, dengan HMI, PMKRI dan GERMASOS dilain
pihak. Namun ajang pertempuran GERMASOS berada diluar forum PPMI, tidak ada
data yang membuktikan bahwa GERMASOS adalah anggota atau berhasil merebut kepemimpinan
PPMI. Dalam pertentangan tersebut tema utama isue-isue dari pihak kiri adalah
kapitalisme, neo-kapitalisme/imperialisme, feodalisme, dan fasisme (yang
nampaknya masih belum jelas elaborasi dan tindakan politiknya). Sedangkan
isue-isue dari pihak kanan adalah komunisme (yang identik dengan atheis dan
kafir), diktator (identik dengan menghargai kebebasan individu), satelit
negara-negara komunis, menghalalkan segala cara, dan sebagainya. Yang semuanya
merupakan elaborasi dari kalimat bahwa PPMI telah "condong ke kiri".
Sejak tahun 1956 perpecahan (yang nampaknya wajar dalam kehidupan politik
dimana militer sudah mulai turut campur dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih
terbuka, apalagi dalam situasi nasional sebagai berikut:
1. Kehidupan pembangunan perekonomian yang di ganggu oleh pertikaian politik
antara pemerintah dan oposisi kanan.
2. Daerah tertentu menekan pemerintah pusat agar pendapatan pemerintah dan mata
uang asing dibagikan secara lebih merata ke daerah. Di parlemen MASYUMI, PSI,
politikus-politikus oposisi dan pejabat-pejabat militer saling bekerja sama
dalam menentang pemerintah. Puncak pertentang ini adalah pemberontakan PRRI dan
PERMESTA.
3. Pada saat itu pula Badan Konstituante dibentuk di Bandung sejak 1957 dan
bertanggung jawab membuat konstitusi baru. Badan tersebut kemudian dibubarkan,
penyebabnya adalah adanya kontroversi utama yang ditimbulkan oleh partai-partai
Islam yang berusaha memasukkan Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru.
Didalam pengurusan PPMI perpecahan tidak dapat dielakkan lagi; pada tangga 11
juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan memberikan
tekanan agar kembali ke UUD '45. Pada 28 Februari 1957, aktivis-aktivis
mahasiswa yang berbasis di UI-Djakarta berprakasa menggalang senat-senat
mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa
yang bernama Madjelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Terjadi lagi usaha memundurkan
gerakan mahasiswa Indonesia, ketika gerakan mahasiswa berada pada tahap sedang
menyerap aspirasi politik yang disebar luaskan oleh partai-partai politik,
mahasiswa justru menghidupkan federasi mahasiswa yang tidak memiliki
keprihatinan terhadap problem-problem konkrit rakyat.
Misalnya:
1) Mereka tidak mengerti dan tidak mendukung bahwa perjuangan merebut kembali
Irian Barat merupakan bagian yang terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia
melawan kolonialisme dan imperialisme. Irian Barat meliputi area 388.000 km2
atau kira-kira 20% dari luas republik. Irian adalah pulau terbesar di Pasifik,
kedua terbesar setelah Greenland. Selain mineral-mineral, di Irian juga
terdapat sumur minyak modern (di Sorong) dan deposit emas yang telah
diekploitasi Belanda di Boven Digul (Tanah Merah) dan di Merauke. Juga tambang
batu bara di Horna, dekat kepala burung. Berdasarkan penelitian para ahli; di
Irian Barat ada kemungkinan terdapat uranium. Selidikilah perjanjian antara
Belanda-Amerika, baik di bidang militer maupun ekonomi: kepentingan strategis
Irian Barat bagi Amerika adalah usaha merelokasi rencana digunakannya Irian
Barat sebagai garis strategis militer sepanjang kepulauan Bismark - Solomon -
New Britania Investasi kapital Amerika secara bertahap dapat menggeser
investasi Belanda: di sektor pengeboran minyak Sorong, perbandingan pada waktu
itu telah menjadi 60% (40% Stanvac dan 20% CalTex): 40% juga terdapat
perjanjian yang menyatakan bahwa Amerika akan membantu Belanda di PBB dalam
persoalan Irian Barat, dan sebagai balas jasanya Amerika akan diperbolehkan
mengambil alih pertambangan tembaga yang pada waktu itu dieksploitasi Belanda.
Target utama kebengisan Belanda adalah pemuda: Abdullah dan Piet Kadar di bunuh
secara kejam; 20 buruh di pengeboran minyak Sorong dikejar-kejar, ditindas
hak-hak sipilnya, dan dibuang. Disamping kekejamannya, Belanda juga merampoki
karya-karya seni berharga peninggalan nenek moyang Irian Barat,
2) Mereka tidak turut berpartisipasi dalam Deklarasi Hari Solidaritas
Internasional Menentang Kolonialisme, 24 April 1957 yang berpartisipasi adalah
PPMI, FPI dan Perserikatan Organisasi Pemoeda Islam Seloeroeh Indonesia
(PORPISI) yang isinya merupakan pernyataan untuk saling memperkuat kerjasama
dantara rakyat negeri-negeri Asia-Afrika, menghentikan secara tuntas ulah
kolonialisme dalam segala bentuknya yang masih bercokol di negeri-negeri
Asia-Afrika dan belahan bumi lainnya, menentang percobaan bom nuklir yang akan
mengganggu keselamatan manusia, dan menyarankan agar ilmu nuklir di gunakan
untuk kesejahteraan manusia sesuai dengan Konvensi Jenewa mengenai energi atom.
Bertambah kukuhnya peranan militer dalam kehidupan masyarakat di Indonesia
berkembang sejak akhir tahun 50-an. Pertama, ketika dikeluarkannya peraturan
SOB (negara dalam keadaan darurat) yang kemudian meningkat dalam masa
perjuangan pembeasan Irian Barat, Kedua, ketika Presiden Soekarno terpaksa
harus mengadakan rembuk dengan jendral Nasution, karena Soekarno menunjuk
dirinya sebagai Perdana Mentri sesuai dengan UUD '45 (karena negara dalam
keadaan SOB).
Dan, akar depolitisasi gerakan pemuda, mahasiswa dan sektor-sektor masyarakat
lainnya bermula dari:
1) Penandatanganan kerjasama antara Pemuda dan Angkatan Darat, 17 juni 1957,
yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjen Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda
Demokrat), A. Bochori (GPII), Wahib Wahab (Ansor) dari pihak pemuda, dan
Letkol. Pamuraharjo dari pihak Angkatan Darat. Strukturalisasi kerjasama ini
dikukuhkan dalam bentuk Badan Kerjasama Pemuda-Militer (BKS-PM), yang
diresmikan pada tanggal 26 juli 1957, sore hari di Istana. Perlu dicatat bahwa
125 organisasi pemuda dari 6 federasi memiliki perwakilan di Dewan Penasehat
BKS-PM, dan BKS-PM memiliki struktur yang vertikal: Komite Eksekutif - Dewan
Penasehat - Anggota,
2) Militer juga mengharuskan membentuk badan kerjasama dengan kelompok-kelompok
fungsional lainnya, misalnya dengan buruh, petani dan wanita.
Tujuan administrator militer sebenarnya adalah untuk mengikis partai-partai
politik. Pemimpin-pemimpin pemuda dan mahasiswa dengan menyesal harus menerima
peraturan yang keras tersebut, yang kini membatasi gerakan. Sangat menarik
untuk dicatat bahwa kekuatan mahasiswa (universitas), terutama sekali, sangat
menggairahkan perhatian militer. Bukanlah merupakan kebetulan bila
pejabat-pejabat militer memanjangkan tangannya ke Rektor ITB dan UI; Iwa Kusuma
Sumantri digantikan Prof. Thoyib sebagai Menteri Pendidikan Tinggi; dan kini
lebih banyak pejabat-pejabat militer di administrasi sipil kementrian. Bahkan
di luar negeri, atase militer menjadi pejabat yang lebih berpengaruh dalam
menangani urusan-urusan mahasiswa yang belajar di luar negeri; di dalam kampus,
Resimen Mahasiswa (MENWA) dipasang. Eksponen-eksponen GERMASOS dan HMI
diikutsertakan dalam aktifitas-aktifitas luar kampus. Sejak awal 1959 mereka
telah mengukuhkan beberapa hubungan dengan administrator-administrator militer
yang berkaitan dengan urusan-urusan pemuda dan mahasiswa (seharusnya mereka
sadar bahwa adanya struktur kelembagaan di militer yang bertugas mengurusi
pemuda dan mahasiswa tidak bedanya dengan pola-pola fasis di Eropa). Mahasiswa
Bandung yang tidak menyadari hal itu menjadi ladang oposisi mahasiswa dalam
menentang Soekarno. Itulah sebabnya, bukanlah suatu yang mengejutkan bila pada
tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa yang paling militan memimpin demonstrasi untuk
menjatuhkan Soekarno berasal dari KAMI Bandung. Dan untuk waktu yang cukup
lama, Sekolah Strategi Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung, dibawah
pengarahan Kol. Suwarto, mempekerjakan teknokrat-teknokrat lulusan Berkeley
sabagai inti instruktur-instruktur sipil.
Sementara Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan karena dituduh
terlibat usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, HMI sampai peristiwa '65
berhasil selamat dari pembersihan . Hingga sekarang HMI tetap dapat melanjutkan
eksistensinya sebagai organisasi mahasiswa Islam legal, dan hingga tahun 1966
banyak aktif menjatuhkan Soekarno.
GMNI, CGMI, dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiswa dan
menyelenggarakan Konggres V PPMI di Jakarta pada juli 1961. Hasilnya adalah
pembentukan presidium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB dan MMB.
Eksekutif yang baru dianggap oleh lingkungan mahasiswa tertentu (minoritas)
memiliki orentasi ke kiri. Pada saat yang sama, GERMASOS dan HMI berhasil masuk
ke organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dalam tahun 1961 organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat
Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu
menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isue/peristiwa politik, dan
orang akan dapat membaca, dalam pernyataan SOMAL ada semacam hubungan antara
aspirasi SOMAL dengan senat-senat mahasiswa yang tergabung dalam MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung pada bulan mei 1963, Konsulat PPMI
Bandung mengeluarkan peryataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotif
rasial, akan tetapi merupakan isue sosial yang di akibatkan oleh gap si kaya
dan si miskin yang terus mendalam. Dalam masalah ini terjadi perpecahan dalam
Konsulat PPMI Bandung, 4 anggota PPMI Bandung membentuk organisasi yang serupa
dengan Biro Aksi Mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, mereka
tergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung tersebut dan membentuk
Madjelis Permusjawarahan Mahasiswa Indonesia (MAPEMI) pada Agustus 1965.
Haruslah dicatat bahwa eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum
Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK), sehingga tidak
mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah
Angkatan Darat dan Kepolisian.
Dalam masa ini orentasi gerakan mahasiswa sudah mulai membaik dalam menggugat
hubungan sosial kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa
feodalisme, dikalahkan oleh kesiapan militer (yang masuk ke dalam gerakan
pemuda, mahasiswa dan partai-partai politik sayap kanan). Bisakah gerakan mahasiswa
tersebut disebut gerakan massa? Karena secara teoritis kesiapan gerakan militer
sayap kanan hanya dapat dikalahkan oleh mobilisasi massa yang sudah siap, baik
kuantitas maupun kualitasnya. Orentasi politik yang baik tanpa tindakan politik
yang baik hanyalah merupakan petualangan.
Sebelum tahun 70-an, aktifis yang mula-mula sadar akan kekeliruan alternatifnya
adalah Soe Hok Gie (dari GERMASOS) dan Achmad Wahib (HMI). Namun seperti juga
generasi baru aktifis-aktifis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya, yang
mulai menyadari kekeliruan strategi mereka yang salah (menjalin kerjasama
dengan militer) mereka membuat kesalahan strategi lainnya: Terpisah dari
potensi kekuatan rakyat atau tanpa basis massa yang luas. Demonstrasi Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), anti korupsi, Golongan putih/GOLPUT (aksi boikot
PEMILU), gerakan 15 januari/MALARI (anti dominasi ekonomi Jepang, ketimpangan
ekonomi, sulit untuk dikatakan anti imperialisme bila dilihat dari segi
pemahaman para pelakunya pada konteks waktu itu) dan gerakan Parlemen
Jalanan-Anti Suharto '78 dengan buku putihnya merupakan contoh-contoh
keterasingan dan frustasi.
Dengan melihat latar belakang sejarah seperti tersebut diatas, kita bisa
menyadari bagaimana kondisi sosiologis gerakan pemuda dan mahasiswa pada masa
Orde Baru sebelum tahun 80-an. Sebagian besar aktifis tahun '66 pada masanya
tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur kiri (kecuali untuk Soe Hok
Gie, pada masa SMP bahan-bahan bacaannya mencerminkan kejujuran/demokrasi
intelektual, juga Ahmad Wahib). Dan dalam tindakan politiknya mereka tidak
memiliki pengalaman mengorganisir atau bergulat dengan rakyat bawah
(grassroot); tindakan politiknya elitis serta pragmatis. Dengan begitu tidak
mengejutkan bila, pada masa-masa Orde Baru, mereka terbius oleh mitos bahwa
bangsa Indonesia sedang dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Apalagi
pada waktu itu masih didukung oleh booming minyak. Sebagian dari mereka masuk
kedalam struktur kelembagaan negara, sebagian menjadi pengusaha, sebagian kecil
saja dari mereka masuk ke struktur kelembagaan yang secara sosiologis dapat
menumbuhkan kembali idealismenya.
Pada yang terakhirlah daya kritis bisa tumbuh, apalagi sebagian besar berada
dalam kelembagaan yang dapat mengakomodir sentimen idealisme dan
intelektualnya; lembaga keilmuan, mass media, LSM/NGO. Sentimen idealisme dan
intelektual mereka sebenarnya merupakan konskwensi logis dari krisis demi
krisis pembangunan Orde Baru, yang mengakutkan dampak-dampak negatif dan
kontradiksi dari imperialisme ekonomi, kapitalisme, dwi-fungsi serta sisa-sisa
feodalisme.
Bekas aktifis-aktifis '66 berada pada status sebagai generasi yang, sampai
sekarang, tidak menemukan alternatif konkrit. Tidak ada alternatif konsep yang
tegas bagi problem-problem ekonomi, politik dan budaya rakyat Indonesia,
demikian juga dalam alternatif tindakan politiknya. Kalaupun ada, dan ini
mayoritas adalah alternatif konsep tengah/reformis yang bukan merupakan jalan
keluar bagi problem-problem konkrit rakyat Indonesia. Dan itupun direalisasi
dengan strategi tindakan moral; menghimbau atau merubah dari dalam sistem (yang
paling banyak adalah dengan menggunakan ideologi dan struktur kelembagaan LSM).
Tidak ada tindakan politik yang dapat memperkuat daya tawar mereka,
pengorganisasian massa sebagai alat penekan politik sepertinya tabu bagi
mereka. Sering mereka berlindung dibalik kata (benar-benar hanya kata) taktis.
Namun dalam kenyataan di lapangan mereka tidak pernah melakukan tindakan
politik dalam arti penggalangan massa.
Pada tahun 70-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang
struktural dari barat, serta belajar keluar negeri meruapakan salah satu
kondisi obyektif yang ditaarkan kapitalisme yang sedang berada pada titik
kontrakdiksi ekonomi, politik, dan budayanya. Produktifitas yang rendah
(terutama produk yang memiliki watak nasionalistis), kemiskinan, konsumerisme,
kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan
kualitas pendidikan politik, kosongnya kehidupan dunia pendidikan, keilmuan dan
budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, peruaskan lingkungan, dekadensi moral
dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakannya dalam
sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi obyektif tersebut diatas, yang sebagian besar diserap oleh bekas
aktifis '66, kemudian menjadi kondisi subyektif mereka sehingga tidak memiliki
alternatif konsep dan tindakan politik. Kategori bekas aktifis '66 yang
mengambil alternatif konsep ekonomi, politik dan budaya tengah, yang strategi
tindakannya moral, benar-benar mandul, tak ada sejumputpun beban sejarah yang
dipikulnya.
Ada kategori lain dari bekas aktifis tahun '66 ini, yakni yang juga tengah dan
bergabung dengan suatu faksi eks Partai Sosialis Indonesia (PSI), unsur-unsur
birokrasi yang tidak puas dan administrator militer. Ideal tindakan politik
mereka adalah insureksi. Pada kasus MALARI kondisi insureksi tersebut malahan
dihindari, militansi massa kemudian diredam kembali, ketika massa mengharap
komandonya, massa justru disuruh mundur. Pada gerakan tahun '78, yang memiliki
watak yang sama dengan kategori ini, tahap-tahap penggalangan massa lebih
kurang siap.
Hukum sejarah pada periode ini memberikan kesimpulan bahwa: kondisi obyektif
ekonomi-politiknya belum mematangkan pamahaman, pemihakan dan kecakapan
tindakan politiknya.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan
kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (terutama yang menyangkut masyarakat
Indonesia) yang dipasok dari luar negeri, terutama dari barat, menyuburkan
budaya diskusi, riset-penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan
dan peningkatan pendapatan (income generating) . Bravo! buat menjamurnya
kelompok study (menjamur sekitar tahun 1983) dan LSM, yang direspon oleh
mahasiswa-mahasiswa moderat (mayoritas) generasi tahun '80-an dan eks
mahasiswa-mahasiswa generasi tahun 70-an, yang juga moderat (beberapa aktifis
gerakan mahasiswa tahun 70-an, yang frustasi pun masuk kedalamnya, mencoba
menikmatinya atau mencari alternatif lain, dan larut dalam dekadensi ideologinya).
Kategori pertama generasi tahun '66 diatas, yang sampai sekarang paling ekstrim
moderatnya, turut juga bertanggung jawab dalam mempopulerkan kondisi tersebut
sehingga kelompok study dan LSM dianggap sebagai jalan keluar oleh generasi
berikutnya.
Sampai sekarang, mahasiswa-mahasiswa yang mengambil jalan keluar kelompok studi
tidak menyadari proses pembusukan yang mereka alami, sehingga, sebagai
kelembagaan kelompok study mereka tidak pernah memberikan respon tindakan atas
terjadinya kasus Tanjung Priok, gerakan mahasiswa Ujung Pandang dan gerakan
mahasiswa akhir-akhir ini. Bila kelompok study masih mempertahankan wataknya
seperti sekarang, maka proses pembusukan tidak akan berubah menjadi proses
transformasi ke arah organisasi yang lebih politis.
Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun juga tidak pernah memberikan
picu bagi tindakan politiknya , proses pembusukannya lebih lamban ketimbang
kelompok study. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus
mendemoralisasi aktifis-aktifis sosial bahkan mahasiswa yang diserap
kedalamnya, menyebabkan LSM masih bertahan dalam wataknya semula. Dalam
perkembangannya, LSM justru menciptakan stratifikasi diantara mereka sendiri;
terbentuknya statuta BINGO, MINGO, dan LINGO.
(BING) kelompok 13 dan INGI (sekarang INFID) merupakan gejala konsentrasi BINGO
yang mempersulit transformasi LSM untuk memiliki agenda politik dan melakukan
reorganisasi . Sulit untuk memberikan kesimpulan adanya spektrum LSM, karena
penguasaan LSM oleh: (1) kelompok-kelompok sosial-demokrat (merupakan rangkaian
generasi eks PSI), (2) kelompok-kelompok protestan, katolik, dan Islam modernis
(rangkaian generasi MASYUMI, Muhammadiyah/HMI, dan NU), memiliki konsep dan
tindakan politiknya yang sama: berwatak tengah. Usaha yang tengah dilakukan,
yakni mengadakan persekutuan diantara mereka pun tidak memberikan dampak yang
berarti.
1985 DAN SETERUSNYA
Kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi obyektif ekonomi-politik yang
sangat negatif bagi pembagunan demokrasi politik dan keadilan sosial berhasil
dikuakkan oleh gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, gerakan yang oknum-oknumnya
mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, dan masih sektarian bila
dibandingkan dengan Filipina atau Korea Selatan . Bila dilihat aksi dan
issuenya, gerakan mahasiswa sekarang relatif lebih merakyat, berhasil dalam
membentuk opini dan lebih kuat bargain politiknya , ketimbang gerakan buruh,
petani atau sektor-sektor masyarakat lainnya. Gerakan-gerakan sektor-sektor
lainnya, terutama sektor buruh dan petani, hanya berkonsolidasi dengan gerakan
mahasiswa dari segi issuenya saja, belum dari segi aksinya. Apalagi dari segi
keorganisasiannya untuk kondisi Indonesia, hal ini memang wajar dalam tahap
awal.
Sewajarnya juga dalam tahap awal, konsolidasi aksi tersebut tidaklah
menyiratkan adanya konsolidasi solid keorganisasian,ia hany merupakan
konsolidasi aksi yang insidental; bereaksi bila tercapai kesepakatan mengangkat
issue yang sama. Konsolidasi solid keorganisasian tidak pernah terdorong oleh
kekuatan bargain politik yang dihasilkan oleh gerakan mahasiswa oleh generasi
tahun 80-an, pencairan NKK/BKK yang otomatis juga pencairan Dewan Mahasiswa,
benar-benar hanya merupakan iming-iming dari MENDIKBUD. Namun nampaknya
pencairan itupun bukanlah merupakan faktor yang lebih menentukan lagi
kelanjutan gerakan mereka, karena ternyata issue-issue sektarian otonomi kampus
tidak terus menarik lagi untuk di perjuangkan; yang lebih menentukan adalah
momentum obyektif ekonomi-politik dan pengkondisian subyektif oleh lingkaran
kecil yang berdampak terutama bagi lingkaran kecil tersebut , ataupun bagi
gerakan secara keseluruhan. Dan konsolidasi solid keorganisasian inilah yang
dapat terus-menerus merespon dan berdialektik dengan kondisi obyektif
ekonomi-politik Indonesia. Tanpa ini, kita hanya akan mengulangi kesalahan
sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa sebelumnya, yang pantang menyerah namun
pecundang.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang, 1987 adalah aksi yang baru pertama kalinya turun
ke jalan (rally) dengan massa yang relatif besar, serta dengan issue tentang
kebijakan pemerintah dibidang lalu-lintas (helm), judi dan ekspresi kesulitan
ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan biaya dikorbankannya demokrasi oleh
pemerintah; memakan jiwa manusia.
Kasus Tanjung Priok dan gerakan mahasiswa Ujung Pandang yang keduanya memakan
jiwa manusia, tidak sampai mendapatkan respon populer dikalangan mahasiswa.
Dalam merespon kasus Ujung Pandang, hanya mahasiswa ITB-UNPAD yang secara
terbuka mengeluarkan pernyataan di DPR-MPR RI, sebelumnya hanyalah dalam aksi
pamflet gelap dan sedikit pemberitaan di pers kampus. Aksi Ujung Pandang
tersebut hanya direspon oleh mahasiswa ITB-UNPAD, setelah sebelumnya
mahasiswa-mahasiswa ITB menurunkan aksi dengan massa yang lebih sedikit, tidak
turun ke jalan (mendatangi Rektorat), dan dengan issue yang sektarian ; soal
skorsing salah seorang mahasiswanya.
Intensitas aksi-aksi mahasiswa ITB pada waktu itu tinggi sekali (baru pertama
kalinya dalam tahun 80-an), hampir dalam waktu 1,5 bulan mahasiswa ITB
terus-menerus mengadakan aksi dengan issue-issue yang resikonya lebih tinggi
(tidak ada kontinum issue-issue yang berkerangka dialektik taktik-strategik).
Aksi-aksi ini juga terganggu oleh menurunnya kualitas konsolidasi dengan
mahasiswa-mahasiswa UNPAD, dan tidak terjalinnya konsolidasi dengan
mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta pada waktu mereka menghadiri Peringatan Hari Hak
Asasi di Yogyakarta. Aksi-aksi itu dihancurkan oleh militer dengan cara
penangkapan-culik, dan dengan alasan yang dibuat-buat (dikatakan; bahwa pada
acara panggung malam acara tahun baru, yang organisatornya mahasiswa-mahasiswa
baru, mahasiswa ITB menurunkan issue-issue yang berbau komunis). Nampaknya
tidak ada kontinum yang seimbang antara peningkatan issue dengan konsolidasi
massa di kotanya sendiri dan antar kota. Celah-celah kegiatan pers dan
tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang
kontinumnya dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang
berharga baik dari segi pematangan pemahaman, penyatuan alam pikiran, maupun
rekonsolidasi. Selanjutnya gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an. Kontinum
gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an nampaknya kini lebih menggembirakan.
Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, issuenya
lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati
masyarakat, serta (tak seperti generasi sebelumnya) tingkat kolaborasi (yang
menghilangkan independensi) dengan unsur-unsur administrasi militer, birokrat,
partai-partai legal, eks partai, ormas-ormas, LSM, kelompok study ataupun
lainnya, boleh dikatakan sangat rendah. Namun, kontinum tersebut belumlah
sampai pada tingkat konsolidasi solid seperti yang dijelaskan di halaman
sebelumnya. Status yang ada sekarang tentu saja dengan melewati masa-masa yang
cukup menyulitkan, memakan waktu yang kadang-kadang mengesalkan, menyita
pikiran dan dana yang tidak sedikit. Dan banyak aktifis-aktifis mahasiswa yang
mengorbankan kesenangan-kesenangan yang biasa mereka nikmati sebelumnya .
Dan karena issue-issue yang diturunkan sudah lebih merakyat, maka issue-issue
seperti deregulasi, liberalisasi, dan swastanisasi ekonomi tidak populer di
kalangan mahasiswa karena kepentingan issue-issue tersebut yang jelas akan
merubah konstelasi modal denga cara-cara yang lebih "demokratis" (sesuai
dengan rasionalisasi kapitalisme). Dan makna pendemokratisasian konstelasi
modal, pada kondisi struktur modal domestik dan asing sekarang di Indonesia,
hanyaakan dinikmati atau dimenangkan oleh pesaing modal yang lebih besar.
Kesulitan dana yang ditanggung oleh pemerintah jelas akan mengundang
pendemokratisasian konstelasi modal, namun arahnya kesana atau tidak tergantung
pinjaman (hutang) luar negeri dan diizinkannya pengeksploitasian sumber-sumber
daya oleh pihak asing (perlu diingat: Indonesia tidak pernah berusaha untuk
mampu mandiri). Sekarang, apapun jalan yang akan diambil oleh kelembagaan trias
politika Republik Indonesia, yang identik satu suara, tetap akan menimbulkan
krisis hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia. Krisis ini akan dapat di
perlambat bila militer dapat menekan pemerintah untuk menahan kecenderungan
pemusatan modal di segelintir orang-orang yang memperoleh kemudahan-kemudahan
serta mengadakan program-program penghiburan ekonomi dan politik; menaikkan
kesejahteraan masyarakat strata sosial menengah dan ke bawah, serta merubah
konstelasi kekuasaan. Dengan kata lain, perspektifnya tergantung juga kepada
bagaimana militer dapat menekan kekuasaanagar lebih ke tengah. tentu saja
Amerika dan Jepang akan senang dengan tindakan ini: kedamaian modal mereka akan
terjamin.
Militer dan Gerakan Mahasiswa
Oleh TETI SOLIHAT
ISU mengenai militer ini sempat tidak terdengar di telinga kita seiring dengan
problematika pemerintahan yang semakin kompleks. Namun akhir-akhir ini isu
tersebut kembali mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya dua figur
militer dalam bursa calon presiden dan satu orang dalam bursa calon wakil
presiden. Ada beberapa catatan yang perlu dijelaskan seputar isu ini.
Lahirnya dikotomi sipil-militer sudah dianggap seperti hukum alam dalam sebuah
negara. Bahkan jauh sebelum dikenal pemerintahan demokrasi pun, jabatan patih
sebagai kepala pasukan kerajaan menunjukkan eksistensi militer menjadi sebuah
keharusan. Permasalahan selanjutnya muncul ketika lahir pertanyaan sejauh mana
peran militer dalam sebuah negara.
Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita harus menyimak akar permasalahan
sesungguhnya. Ide dasar dihadirkannya kalangan militer dalam sebuah negara
adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Jauh sebelum Indonesia
merdeka, perjuangan melawan penjajahan dilakukan oleh rakyat sehingga kemudian
muncul Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai tameng hidup negara. Kehadiran BKR
disambut meriah rakyat Indonesia yang kala itu belum memiliki tentara. Dari
zaman ke zaman, BKR ini mengalami metamorfosis menjadi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Penamaan ini pun terkesan represif dan
"sangar" sehingga di era reformasi diubah penamaannya menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang berkesan penjaga kedaulatan rakyat semata.
Secara substantif eksistensi militer di Indonesia lebih ditujukan pada
pertahanan negara. Namun peranan ini mengalami deviasi seiring dengan perubahan
konstelasi politik di era 1966 di mana terjadi peralihan kekuasaan, terlepas
dari kontroversi sejarah yang melingkupinya, antara Orde Lama dengan Orde Baru.
Seketika itulah, militer mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara,
terlebih saat itu H.M. Soeharto mendapat mandat sebagai Pangkopkamtib yang
berakhir dengan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Posisi Soeharto sebagai representasi ABRI kala itu sangatlah kuat dan didaulat
sebagai Presiden RI setelah Soekarno. Pasca "terpilihnya" Soeharto
tadi, militer mulai menguatkan cengkeramannya dalam lini kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dibentuknya infrastruktur militer hingga tingkat babinsa
menunjukkan perlunya pengamanan pemerintahan melalui doktrinasi pada rakyat. Di
era itu jualah demokrasi dipahami secara parsial.
Adanya fusi partai politik ke dalam tiga partai pada tahun 1973 mengindikasikan
tingginya tingkat pemahaman politik kalangan militer serta cerdiknya strategi
yang diterapkan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat itu mewakili kalangan
religius dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kalangan nasionalis,
sedangkan Golongan Karya (Golkar) dicitrakan sebagai partai jalan tengah pro
pembangunan sehingga melibatkan segenap aparatur pemerintahan baik pusat maupun
daerah, baik struktural maupun nonstruktural. Kondisi seperti ini telah membius
iklim demokrasi di Indonesia.
Pembiusan ini berlangsung selama 32 tahun yang ternyata menyimpan berbagai
letupan kecil menuntut demokratisasi di Indonesia. Dan suara itu lebih
disuarakan oleh kalangan mahasiswa sebagai agent of social change. Akumulasi
dari letupan kecil ini terjadi pada tahun 1998 sekaligus menjadi tonggak awal
reformasi seiring krisis moneter dialami Indonesia. Pada tahun 1998, tuntutan
reformasi semakin meluas tidak hanya pada tataran ekonomi, politik, hukum
bahkan sudah menjurus pada isu subjektif mengarah pada figur seorang Soeharto.
Militer yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Soeharto mendapat kecaman
yang tidak kalah hebatnya mulai dari desakan untuk menghapus dwifungsi ABRI
hingga pengembalian total seluruh kekuatan militer ke barak.
Isu yang diangkat ini tentunya memiliki alasan tersendiri yaitu adanya trauma
politik rakyat terhadap kepemimpinan militer. Dan dewasa ini tuntutan mahasiswa
tidak hanya sebatas profesionalisme militer melainkan sudah merambah ke wilayah
politik, sejalan dengan munculnya figur militer ke dalam bursa pencalonan
presiden. Tak ayal lagi gerakan mahasiswa ini adalah gerakan politik. Layaknya
sebuah manuver politik, gerakan ini pun disinyalir didanai kelompok politik
tertentu untuk menolak calon presiden dari kalangan militer.
Menyikapi hal ini diperlukan pengkajian yang lebih mendalam. Apakah gerakan ini
murni hasil kajian mahasiswa atau sebatas emosional belaka? Penulis lebih
sepakat bahwa gerakan ini hanya luapan emosi semata yang berasal dari
kekhawatiran masa lalu terulang kembali. Jika kita telaah lebih jauh, penolakan
capres berlatar belakang militer justru menunjukkan ambiguitas, bahkan
menguatkan asumsi standar ganda yang diterapkan mahasiswa. Karena menghalangi
pencalonan seseorang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia yang selama ini digaungkan mahasiswa.
Salah satu renungan yang perlu dipikirkan mahasiswa dewasa ini adalah dengan
mencari kembali akar dari gerakan yang mereka lakukan. Beberapa isu yang
ditawarkan akhir-akhir ini terkesan berbeda dengan realita di lapangan.
Tentunya ini menjadi sentilan-sentilan tersendiri terhadap gerakan moral
mahasiswa. Apakah gerakan mahasiswa telah menjadi gerakan eksklusif tersendiri
dan mulai meninggalkan aura hati nurani rakyat? Atau memang pola pikir rakyat
yang cenderung pragmatis sehingga jauh dari nilai idealisme yang diusung
mahasiswa? Namun di balik itu semua, suatu hal yang pasti bahwa mahasiswa telah
gagal dalam menge-set mind pola pikir rakyat. Tetapi kegagalan ini bukanlah
alasan untuk berhenti "bergerak" melainkan mahasiswa harus kembali
pada khittah perjuangannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.***
Penulis mahasiswa Fikom Unpad Bandung.
GERAKAN MAHASISWA
SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN IDENTITAS
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan
dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya
forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan,
makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan
kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di
Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi
masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah
masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam
menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi,
ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan
penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam.
Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam
situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan
kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a
vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya
penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang
terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu,
motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas
keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat
lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas
perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan
jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan
hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti
tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah
perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa
perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan
dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam
tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat"
serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang
dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor
pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik
mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari
kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi
singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara
pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam
menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak
mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde
Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di
mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis
ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini
lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya
gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan
pada pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa
Artikel:
dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas
dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta
berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis
seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian
wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada
kehidupan gerakan mahasiswa Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi
yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam
kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa
label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa
dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam
kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh
aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus
edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera
hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi
sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah
pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah
yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah
yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang
secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang
kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis
tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang
dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat
kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan
merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius
semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan
dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena
dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit
pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut.
Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung
dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan
mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk
rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan
memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa ---
jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan
efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan
maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa
adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan
rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa
bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif (
ingat teori snow bowling)..
Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan
gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu
negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa
penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez
Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di
Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea
Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di
Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa
pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai
akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat
aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi
katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang
kekuasaan tirani
PUBER IDEOLOGI
Fadli Zon*
Sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia di tahun 1991, saya diajak teman
berdiskusi di rumah kos seorang mahasiswa senior. Di sana telah berkumpul 20-an
mahasiswa siap membahas tulisan Jorge Larrain, penulis buku A Reconstruction
of Historical Materialism. Mula-mula pembahas memaparkan tentang
pikiran-pikiran Larrain. Dalam diskusi, hampir setiap orang beranjak dari
paradigma yang sama: masalah alienasi, perjuangan kelas, materialisme historis,
akumulasi dan disakumulasi modal, dan revolusi.
Ketika saya ikut menyumbang pikiran dengan berangkat dari pemikiran Islam, dan
menolak Marxisme, suasana hening dan semua mata menyorot tajam. Satu per
satu peserta diskusi itu meyakinkan saya bahwa Islam bukanlah alternatif dan
secara umum, agama bukanlah jawaban terhadap persoalan-persoalan rakyat. Tentu
saja saya membantah argumentasi-argumentasi mereka. Saya katakan, Uni Soviet
sebagai kampiun komunisme hampir runtuh (saat itu baru saja terjadi usaha
kudeta
Agustus yang digagalkan oleh Boris Yeltsin) dan rakyat di negara-negara Eropa
Timur sudah menolak komunisme. Ini adalah bukti kegagalan praktek
Marxisme-Leninisme dan ideologi komunisme. Yang mengherankan, kenyataan
buram dunia komunis itu ditepis dengan argumentasi bahwa negara-negara itu
tidak
menerapkan teori dengan benar.
Di ruangan itu belasan buku Karl Marx dan Frederick Engels tertata rapi. Di
bagian lain ada buku-buku Pramoedya yang dilarang, beberapa buku Mao,
buku-buku klasik komunisme serta buku-buku langka dan terlarang lainnya.
Sebagian buku Marx-Engels itu berbahasa Indonesia seperti buku Manifes Partai
Komunis yang diterbitkan Jajasan "Pembaruan" tahun 1960. Buku Lenin
Negara
dan Revolusi yang dicetak kembali tahun 1976, sebelas tahun setelah G 30-S/PKI,
juga ada di sana. Di atas meja belajar sederhana berdiri foto Lenin tanpa
bingkai.
Belakangan saya tahu, buku-buku itu hanya hiasan perlawanan, tidak dibaca
seluruhnya, sebagian besar hanya membaca introduction. Diskusi berhenti tanpa
kejelasan. Di antara mereka sendiri tidak ada perdebatan, satu sama lain saling
mendukung karena mungkin telah percaya pada Marx walaupun tidak mengerti
benar apa itu Marxisme atau Marxisme Leninisme.
Fenomena di atas tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia. Kajian kritis di
kampus-kampus lain pun tidak sedikit yang memuja kembali Marx-Lenin-Mao,
bukan new left atau kiri baru. Proses kaderisasi dan rekruitmen berlangsung
terus
melalui diskusi, aksi dan advokasi lainnya seperti pembinaan terhadap buruh
maupun petani. Hal ini merupakan suatu resistensi terhadap kekuasaan dan
statusquo, yang mereka anggap telah memenjarakan kebebasan dan menindas
rakyat. Merekalah yang sering disebut kelompok "merah" atau
"kiri." Sedangkan
aktivis-aktivis muslim disebut kelompok "hijau" atau
"kanan." Kelompok lainnya
sering disebut sebagai kelompok "independen," kelompok
"putih" untuk yang
netral dan bahkan ada yang disebut kelompok "semangka," untuk mereka
yang
berwajah hijau tapi berhati merah. Klasifikasi ini bukan hal baru dan ia
merupakan
simplifikasi yang kadangkala menyesatkan namun terlanjur diterima.
Aktivis-aktivis mahasiswa era 1990-an adalah mereka yang terputus dari akar
gerakan mahasiswa di tahun 1970-an dan menjadi korban kekalahan aktivis-aktivis
mahasiswa akhir 1970-an. Dengan adanya NKK/BKK pada awal 1980-an,
depolitisasi kampus berjalan efektif. Organisasi mahasiswa ekstrauniversiter
seperti
HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI, dan lain-lain, yang selama itu berperan
dalam gerakan mahasiswa, telah dicabut akarnya dari kampus.
Kebijakan kembali ke kampus untuk belajar, makin berhasil dengan sistem kredit
semester yang kurang ditunjang fasilitas infrastruktur pendidikan yang memadai.
Akhirnya mahasiswa menghadapi oppotunity cost: belajar atau beraktivitas.
Sebagian aktivis "kiri" di kampus tidak begitu outstanding dalam
prestasi studi,
bahkan tidak sedikit yang drop out.
Kelompok "kiri" tidaklah fenomenal di era 1980-an. Meskipun sebagian
besar
aktivis mahasiswa adalah kalangan sekuler dan "abangan," namun
kelompok "kiri"
yang memuja Marxisme-Leninisme-Maoisme, sebut saja "kiri klasik,"
masih dalam
jumlah relatif kecil dan tidak berani menampakkan diri. Mereka mendapat angin
di era 1990-an dengan makin globalnya isu hak asasi manusia dan demokrasi.
Kepentingan ini bertemu dengan kepentingan anak-anak eks PKI yang menjadi
aktivis, yang sakit hati karena perlakuan tidak adil atas dosa yang
dilakukan orang tua mereka.
Harus diakui, di antara mereka ada pula orang-orang yang memang murni
memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa embel-embel ideologi. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa yang membela rakyat itu selalu kelompok "kiri."
Kelompok
aktivis mahasiswa Islam termasuk yang rajin membela nasib rakyat akibat
penggusuran, upah buruh rendah dan bentuk ketidakadilan lainnya.
Kesan yang dimunculkan kelompok "kiri" dengan the power to think dan
the desire
to rebel, dalam kenyataannya tidak selamanya benar. Seorang teman yang ketika
mahasiswa menjadi aktivis "kiri," tidak lama setelah lulus menjadi
seorang yang
begitu kompromis terhadap kenyataan hidup. Maka saya melihat kebangkitan
kelompok mahasiswa atau kaum muda "kiri" termasuk yang ikut-ikutan
membela
Pramoedya sebenarnya karena puber ideologi. Bahayanya adalah mereka tidak
membaca Marx atau Marxisme secara tuntas, tetapi merasa paling tahu ajaran itu
dan berusaha memperjuangkannya.
* Dewan Redaksi Majalah HORISON dan mahasiswa Program Studi Rusia, UI.
Dimuat sebagai KOLOM Majalah GATRA edisi 14 Oktober 1995.
Peta Politik Indonesia - part 1
PERUBAHAN POLITIK INDONESIA PASCA SOEHARTO DAN POSISI UMMAT ISLAM
Oleh: Drs. Mahfudz Siddiq
Peneliti Yayasan SIDIK Jakarta
Bagian Kesatu
Kamis, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan bernegara di
Indonesia. Hari itulah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan
Presiden yang pada hakikatnya menandakan runtuhnya rezim Soeharto (baca: Orde
Baru) yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa itu merupakan klimaks dari
perjuangan gerakan pro-reformasi yang dimotori oleh mahasiswa. Sejarah telah
menemukan putaran baliknya setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim
Orde Lama.
1. Tiga Faktor Utama Pemicu Gagasan Reformasi
Berkembangnya gagasan-gagasan idealistik tentang reformasi yang lalu
mengkristal menjadi isu bersama menumbangkan rezim Soeharto, setidaknya
disebabkan oleh tiga faktor utama.; Pertama, kerapuhan sistem Orde Baru. Pola
kekuasaan sentralistik-militeristik telah menumbuh-kembangkan iklim politik
yang sangat distortif yang akhirnya merambah ke aspek-aspek kehidupan lain.
Sistem yang dibangun lebih didasari oleh motif untuk menjaga status-quo dengan
mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur masyarakat dan bangsa. Sistem otoriter ini
telah memunculkan the strong state dimana seluruh unsur-unsur masyarakat dan
bangsa sangat bergantung kepada negara.
Pola komunikasi paternalistik menyuburkan hubungan-hubungan tidak wajar dalam
perilaku politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan negara. Korupsi,
kolusi dan nepotisme menjadi konsekuensi wajar dari pola hubungan ini. Pada
gilirannya, budaya KKN ini bukan saja berdampak secara ekonomis, tapi juga
politis. Pola hubungan dalam kekuasaan menjadi tidak transparan dan para pelaku
kekuasaan cenderung mengembangkan pola tersebut ke lapisan subordinasinya untuk
menjamin dan mengokohkan posisi-posisi politiknya. Sehingga KKN di Indonesia
bukan saja sebagai budaya pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya sistem itu tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Proses pemerintahan dan bahkan kehidupan masyarakat lebih banyak
dipandu oleh hubungan-hubungan distrotif yang sudah menjadi konsensus di bawah
tangan. Dan bahkan setiap upaya untuk menjelaskan suatu masalah dengan merujuk
kepada sistem sering mengalami jalan buntu. Kasus-kasus hukum yang berhubungan
dengan elit politik menjadi contoh paling; konkret dalam hal ini.
Ketika semua hubungan yang terjadi berpangkal pada satu figur kekuasaan - yaitu
presiden - maka banyak pihak menilai bahwa presiden merupakan representasi dari
sistem itu sendiri. Di sinilah letak kerapuhan utama Orde Baru. Logika yang
dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya adalah bila figur tunggal kekuasaan
jatuh, maka secara bersamaan sistem itu akan ikut runtuh pula.
Faktor kedua menguatnya gerakan anti-kemapanan.; Selama masa kekuasaannya,
orientasi kebijakan politik rezim Orde Baru telah memunculkan dua arus gerakan
anti-kemapanan. Selama fase 1967 - 1987, Orde Baru menarik garis politik tegas
terhadap Islam yang dipicu oleh trauma politik kasus DI/NII dan PRRI-Permesta.
Kebijakan ini juga tidak lepas dari peran politik kalangan Kristen (khususnya
Katolik) yang sejak awal berdirinya Orde Baru secara intens membangun akses ke
pusat kekuasaan. Orientasi kebijakan politik ini melahirkan gerakan-gerakan
Islam ekstrem yang bersifat sangat ideologis. Gerakan Aceh Merdeka, Tanjung
Priok (Komando Jihad), Lampung (GPK) dan NII.
Walaupun kasus-kasus di atas meninggalkan dosa sejarah bagi rezim Orde Baru,
namun politik akomodatif yang diambil Soeharto terhadap ummat Islam sejak awal
tahun 1987 telah banyak mengubah sikap politik berbagai kalangan Islam. Bahkan
sejak awal tahun 90-an, terjadi kristalisasi dukungan dan legitimasi ummat
Islam terhadap rezim Soeharto. Munculnya ICMI dan langkah-langkah politik
Soeharto yang bernuansa Islam menjadi simbol menguatnya politik akomodasi yang
bersifat mutual-simbiosis.
Legitimasi ummat Islam terhadap Soeharto memberikan ruang baginya untuk
melicinkan dan mengokohkan proses pewarisan kekuasaan kepada anak-anaknya
kelak. Pada sisi lain, koridor lebih besar yang diberikan kepada kalangan Islam
memberikan angin segar dan ruang gerak yang lebih terbuka untuk mengakselerasi
potensi-potensi kekuatan ummat. Situasi inilah yang akhirnya mempengaruhi sikap
sebagian besar kalangan Islam terhadap rezim Soeharto dalam masa-masa kritis
menguatnya tuntutan reformasi.
Arus kedua, gerakan anti-kemapanan yang berkembang pada fase 1987 sampai
sekarang. Gerakan ini lebih bersifat politis dan sangat variatif. Mereka berasal
dari unsur-unsur yang terpinggirkan oleh politik akomodatif Soeharto kepada
kalangan Islam. Umumnya mereka dari kalangan Kristen dan Nasionalis. Kedua,
mereka berasal dari sisa-sisa Orde Lama, baik secara personal, pemikiran
politik sampai ideologi. Sebagiannya mengkristal di bawah payung Megawati
dengan Soekarnoisme-nya, dan sebagian lagi tetap bermain di dalam sistem Orde
Baru.
Kelompok ketiga adalah dari unsur-unsur lawan politik Orde Baru yang dilabelkan
komunis. Sikap politik Soeharto yang mengisolasi hak-hak hidup napol PKI dan
keluarganya telah melahirkan kekuatan lawan laten yang siap muncul secara
tiba-tiba. Kelompok keempat, kalangan muda yang menganut paham Teologi
Pembebasan yang secara ideologis cenderung sosialisme-marxisme. Mereka mengkristal
ke dalam wadah LSM-LSM dan memiliki jaringan kerja internasional. Kemunculan
mereka juga didorong oleh kebijakan depolitisasi kampus yang diantaranya
melahirkan gerakan-gerakan bawah-tanah (OTB). Kelima, kalangan pro-demokrasi.
Yang terakhir ini tidak memiliki sandaran ideologis yang jelas, namun sangat
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran politik dan keagamaan yang cenderung
liberal.
Bahkan sebagian tokoh-tokohnya dari kalangan muslim. Mereka mengambil posisi
berseberangan dengan rezim melalui agenda demokratisasi.
Dalam kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli), kelima unsur anti-kemapanan ini bisa
bertemu dalam Aliansi Pelangi yang dengan gerbong demokrasi mengedepankan
agenda penumbangan rezim. Namun kasus Kudatuli ternyata belum menjadi momentum
yang tepat bagi sebuah gerakan perlawanan terbuka. Malah sebaliknya, rezim
Soeharto berhasil menanamkan opini komunisme kepada gerakan Kudatuli yang
direpresentasikan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Justifikasi kalangan
Islam terhadap sikap keras Soeharto memberangus PRD pada akhirnya juga
mempengaruhi sikap politik kalangan anti-kemapanan terhadap ummat Islam pasca
Soeharto.
Faktor ketiga, krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan. Sejak Juli
1997, kawasan Asia dilanda krisis ekonomi yang mempengaruhi kondisi politik.
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling parah dan lama menanggung
krisis ekonomi ini. Itu disebabkan kerapuhan sistem ekonomi dan politik
Indonesia, sehingga tidak mampu secara cepat mengatasi masalah yang memang
sangat dipengaruhi oleh faktor
internasional.
Krisis moneter terjadi pada saat Indonesia berada pada titik yang sangat
berbahaya, namun justru tidak disadari oleh banyak kalangan. Yaitu tingginya
jumlah utang luar negeri dan besarnya ketergantungan impor bahan baku bagi
proses produksi di dalam negeri. Depresiasi rupiah mengakibatkan guncangnya
seluruh sendi perekonomian Indonesia yang berjalan dengan multiflying
effect-nya. Ketidaksiapan sistem politik (yang distortif) untuk mengambil
kebijakan-kebijakan tepat mengakibatkan berkepanjangannya krisis tersebut
sampai menghancurkan infra-struktur perekonomian nasional. Rontoknya dunia
perbankan, terjepitnya sektor ekonomi kecil, macetnya proses produksi dan
distribusi menjadi bom waktu yang siap (dan ternyata telah) melahirkan krisis
politik dan sosial.
2. Gerakan Mahasiswa Menuntut Reformasi
Dalam konteks tiga faktor utama inilah, gagasan-gagasan reformasi idealistik
semakin berkembang dan bahkan menjadi main-issue. Gagasan ini baru bergulir
menjadi sebuah gerakan ketika mahasiswa dari berbagai kampus mulai bicara
mengangkat issu reformasi sampai kepada aksi-aksi turun ke jalan. Secara tidak
langsung, kemunculan gerakan mahasiswa di tahun 1998 ini memang dipengaruhi
oleh ketiga faktor di atas. Namun masih ada penjelasan-penjelasan empirik lain
untuk melogikakan kemunculan gerakan mahasiswa Indonesia yang spektakuler ini.
Sejak awal Februari 1998, aksi-aksi mahasiswa mulai mengarah kepada sebuah
gerakan. Ini ditandai oleh mengkristalnya agenda tuntutan kepada agenda bersama,
yaitu reformasi dan turunkan Soeharto, dan kedua ditandai oleh kesamaan pola
aksi hampir seluruh mahasiswa. Ada dua instrumen kekuatan mahasiswa yang
bekerja secara efektif selama proses tuntutan reformasi. Pertama kekuatan massa
(mass power). Dalam kekuatan massa besar yang tak terorganisir, mahasiswa bisa
bersatu oleh kepentingan yang sama, yaitu reformasi dan pijakan yang sama,
yaitu tanggung-jawab moral-intelektual mereka. Kedua adalah kekuatan lembaga
(institutional power), yang umumnya direpresentasikan oleh SMPT.; Selain
lembaga intra-kampus, yang juga turut meramaikan student movement ini adalah
lembaga-lembaga mahasiswa ekstra-kampus. KAMMI, HMI dan GMNI bisa disebut
sebagai contoh. Bahkan KAMMI termasuk unsur kekuatan yang leading dalam hal mobilisasi
massa dan penyebaran aksi.
Kejatuhan Soeharto memang tidak semata-mata karena faktor gerakan mahasiswa.
Namun bisa dipastikan, gerakan mahasiswa menjadi main-factor yang mempengaruhi
unsur-unsur elit politik lain yang mempengaruhi jalannya proses politik.
Setidaknya ada empat unsur kekuatan elit yang sangat dipengaruhi oleh gerakan
mahasiswa. Pertama, elit intelektual. Mereka menyatu dalam agenda setting
mahasiswa, ketika gerakan tersebut mulai mengkristal dan membuat arus besar.
Para elit intelektual menjadi rallying figure bagi gerakan mahasiswa dan
sekaligus justifikasi politik bagi keabsahan tuntutan reformasi dari mahasiswa.
Bertemunya dua arus ini menandakan gerakan reformasi masih kuat warna
elitisnya. Walaupun dalam agendanya diangkat sejumlah isu populis, namun
unsur-unsur masyarakat lain yang secara langsung mewakili isu populis belum
tampil menjadi arus lain yang berjalan bersama-sama.
Unsur kedua adalah kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Munculnya isu-isu
reformasi selama SU MPR pada Maret 1998 mempercepat terjadinya perubahan sikap
politik anggota dewan ketika para mahasiswa mengarahkan tuntutan reformasinya
ke DPR/MPR. Keputusan pimpinan fraksi DPR untuk meminta presiden Soeharto
meletakkan jabatan merupakan keputusan politik yang luar biasa. Ini
menunjukkan, lembaga legislatif yang lama jumud ini terdinamisir kuat dan cepat
oleh gerakan mahasiswa.
Unsur ketiga adalah kalangan anggota eksekutif. Pertanggung-jawaban moral,
politik dan hukum yang didengungkan gerakan pro-reformasi sangat terasa
pengaruhnya ke kalangan anggota kabinet. Kompleksitas krisis ekonomi dan
derasnya tuntutan reformasi bukan saja membuat mereka _kehilangan fikiran_
tanpa bahkan memunculkan indikasi-indikasi awal untuk lompat pagar. Langkah ini
bahkan sudah diambil jauh-jauh hari oleh mantan-mantan menteri yang dulu
menikmati kehidupan rezim Soeharto.
Unsur lainnya adalah militer. Secara kelembagaan, militer berupaya menempatkan
posisi di tengah dengan mengajukan sikap akomodatif dengan sejumlah reserves.
Namun secara personal di tataran elitnya, terjadi friksi kuat dalam mensikapi
proses perubahan. Sikap militer sangat menentukan proses pengambilan keputusan
pada diri Soeharto. Unsur keempat, adalah luar negeri, khususnya Amerika
Serikat. Banyak pihak sebelumnya menduga kuat bahwa telah terjadi deal politik
antara AS dan Soeharto ketika ditanda-tangani letter of intent. Dugaan itu
bahwa AS menerima figur Soeharto dengan konsesi besar yang harus diberikan oleh
Soeharto kepada AS. Namun terbukanya sikap AS yang menghendaki Soeharto turun,
tidak bisa dilepaskan dari sangat kuatnya tuntutan itu di kalangan mahasiswa.
Sehingga akhirnya, mahasiswa berhasil memicu tertutupnya pintu-pintu keluar
bagi Soeharto untuk bisa lolos dari tuntutan publik luas ini.
Perlu dicatat bahwa dua tekanan situasi riil yang diperhitungkan berbagai
kalangan, dilakukan oleh mahasiswa. Pertama, pendudukan gedung DPR/MPR oleh
mahasiswa se Jabotabek dalam jumlah puluhan ribu orang dan diorganisir oleh
Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Kedua, rencana rapat akbar
mahasiswa dan masyarakat di lapangan Monas pada Rabu, 20 Mei 1998 yang
digerakkan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Amin Rais.
Situasi tanggal 19 Mei 1998 sampai 20 Mei dini hari, merupakan saat-saat paling
kritis dan mencekam. Karena prediksi banyak pihak, setelah simbol legislatif
kenegaraan dikuasai mahasiswa, tinggal satu simbol yang tersisa, yaitu Istana
Negara yang letaknya persis diseberang tugu Monas. Sehingga, ketika tanggal 21
Mei 1998, Soeharto akhirnya memutuskan mengundurkan diri, bisa dipastikan pada
tanggal-tanggal 19 s/d 20 Mei terjadi proses tawar-menawar politik yang sangat
hebat di jajaran elit politik.
3. People Power yang Belum Lengkap
Dari gambaran ini, maka yang terjadi di Indonesia belum merupakan people power
dalam arti sebenarnya. Karena masih ada pilar-pilar kekuatan yang belum
sepenuhnya masuk dalam arus _pembangkangan umum_. Kalangan tokoh agama,
profesional dan masyarakat umum secara luas hanya menunjukkan pelawanan pasif.
Dan sepanjang aksi tuntutan massa berlangsung, belum pernah muncul aksi
mahasiswa yang melibatkan unsur-unsur masyarakat lain secara besar.
Reaksi susulan dari mereka baru muncul pasca kejatuhan Soeharto yang bahkan
eskalasi aksinya sampai ke tingkat kabupaten. Masyarakat seperti tercerahkan
dan terdayakan dalam waktu sekejap, lalu bergerak bersama-sama menuntut
masalah-masalah KKN dan penyimpangan hukum sampai tuntutan menurunkan pejabat
daerah setempat. Kondisi ini menjelaskan social setting masyarakat Indonesia.
Kultur besar masyarakat Indonesia masih memunculkan jarak antara _kesadaran_
dengan _tindakan_. Sangat mungkin ini lebih karena persoalan _knowledge and
experience_ dalam kehidupan berdemokrasi, atau secara lebih spesifik karena
adanya hambatan psikologis (psychological barrier) dari pencitraan akibat
(consequences imaging) bagi tindakan-tindakan; politik selama masa rezim Orde
Baru.
Bila potret ini benar, maka sesungguhnya masyarakat belumlah cukup berdaya
secara politik. Kesadaran politik yang muncul secara tiba-tiba di kalangan
mahasiswa lebih banyak kesadaran permukaan sebagai hasil dari pemotretan
situasi kondisi ekonomi-politik yang muncul secara transparan. Sementara elit
politik masih lebih banyak produk setting Orde Baru yang seringkali belum
sepenuhnya mampu mempertemukan kepentingan politik diri (political interest)
dengan kepentingan umum (public interest). Kalaupun ada baru satu dua orang,
itupun umumnya dari luar sistem.
Maka perubahan politik yang terjadi sekarang lebih merupakan terbukanya pintu
kehidupan politik bagi masyarakat untuk lebih berdaya dan memberdayakan
dirinya. Yang lebih penting, para politisi harus menyadari betul kondisi ini
sehingga orientasi kerja politik mereka lebih tertuju pada kepentingan
pemberdayaan politik masyarakat, dan bukan mempolitisir masyarakat. Oleh karena
itu, sebenarnya masih ada kekhawatiran, perubahan politik bila tidak ditata
antara gagasan-gagasan demokrasi idealistik dengan potret budaya besar
masyarakat Indonesia, justru akan menjadi bumerang atau blunder baru bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh kasus paling konkret misalnya soal
berdirinya partai-partai politik.
Multi Partai sangat membutuhkan kedewasaan politik dan kemampuan berdemokrasi
dari semua pihak. Bila tidak, sejarah lama kehidupan politik Indonesia akan
terulang kembali.
4. Mahasiswa dan Aktor-Aktor Politik
babak pertama panggung politik nasional adalah mahasiswa, namun pada babak
kedua justru didominasi para politisi. Sepertinya ini sesuatu yang wajar, namun
belajar dari sejarah, seharusnya setting pemain tidak selalu harus demikian.
Sejak awal gerakannya 'moral force dan intellectual force' menjadi konstituen
mahasiswa. Ketika sasaran besar tercapai, muncul berbagai pandangan yang
menarik mereka turun dari panggung. Pertama, pandangan bahwa babak berikutnya
sudah di luar jangkauan mahasiswa, sehingga harus diserahkan kepada pihak lain.
Kedua, pandangan yang ingin memelihara moral force di tengah-tengah setting
yang penuh kepentingan politik atau tepatnya politik kepentingan.
Pandangan ini menarik mahasiswa dari panggung dan juga mengarahkan sikap
politiknya terhadap transisi kekuasaan yang terjadi. Tuntutan terhadap SI
mencerminkan kehendak mereka menegakkan konstitusi. Ketika ini sudah sangat
politis, mahasiswa terjebak pada komitmen moral yang tidak boleh menyeret
mereka kepada kepentingan elit politik tertentu. Ini sebenarnya persoalan
orientasi, pemahaman dan kemampuan sikap politik mahasiswa. Umumnya, kalangan
mahasiswa mengalami disorientasi agenda aksi perjuangan. Ini terlihat ketika
mereka tidak mampu sepenuhnya membaca peta politik di lapangan. Bila kondisi
ini terus terjadi, mereka bisa terjebak dalam keadaan yang lebih buruk dari
Angkatan _66.
Ada dua peran strategis mahasiswa sekarang ini, yaitu pelaku perubahan (agent
of change) dan pengarah perubahan (director of change). Yang dibutuhkan
sekarang adalah director of change. Dengan konstituen moralnya, mahasiswa bisa
berdiri di atas kepentingan rakyat dan berbicara kepada setiap unsur elit
politik. Maka repositioning kekuatan mahasiswa kepada posisi sebagai kekuatan
penyeimbang (balancing power). Posisi ini selaras dengan konstituen
moral-intelektual.. Dalam posisi ini, mahasiswa membangun konsensus bersama
mengenai Format Indonesia Masa Depan dan proses reformasi ke arah sana. Ini
semacam visi besar mahasiswa yang ditegaskan ke seluruh pelaku politik sebagai
lapangan besar bermain mereka. Dalam main-frame inilah, mahasiswa bisa
menjalankan fungsi social-controlnya dengan instrumen mass power dan institutional
power yang dimiliki.
Membangun konsensus di tengah kemajemukan mahasiswa memang bukan hal mudah,
apalagi;; mengarah kepada fragmentasi yang bersifat pemikiran sampai ideologis.
Dalam situasi ini yang dibutuhkan adalah membangun mainstream kekuatan mahasiswa.
Arus utama inilah yang bisa membangun konsensus dan kemudian secara de facto,
merepresentasikan gerakan mahasiswa. Dalam posisi dan agenda besar inilah,
mahasiswa harus menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung-jawab
moral yang berpihak kepada kebaikan rakyat. Keberpihakan ini berorientasi
kepada kebutuhan mendasar mayoritas rakyat Indonesia yang sekarang ini sekarat
dalam aspek ekonomi. Untuk itu, mahasiswa harus mampu bersikap
politis-pragmatis dalam mensikapi berbagai polemik politik yang dikedepankan
berbagai kalangan politisi.
5. Konstelasi Kekuatan Elit Politik
Unsur-unsur kekuatan politik di lapangan sangat beragam sampai pada polarisasi
idelogisnya. Peta pertama adalah kekuatan status quo. Golkar dengan jalur ABRI,
Birokrasi dan Golkar memang mengalami krisis soliditas organisasi. Namun
demikian, Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar dan juga ABRI yang
membutuhkan pijakan politik akan tetap berupaya menjaga eksistensi Golkar. Isu
tentang Dewan Caretaker dan rencana Munaslub yang kepanitiaannya dikuasai
pendukung Soeharto menunjukkan hal ini. Hal yang masih dimiliki Soeharto adalah
kekuatan uang - sesuatu yang semakin sulit bagi Golkar sekarang ini.
Hal paling signifikan dalam memperhitungkan Golkar adalah militer. Fragmentasi
dan friksi di kalangan sipil bisa menjadi celah bagi masuknya militer dalam
arena politik. Cara pandang lama, bahwa sipil tidak mampu menjalankan
pemerintahan akan muncul lagi - sesuatu yang menjadi justifikasi berperannya
ABRI dalam bidang sosial-politik di awal Orde Baru. Meskipun begitu,
perubahan-perubahan lingkungan strategis menyulitkan militer untuk menjadi
aktor kekuasaan. Namun mereka sangat mungkin menjadi _the invisible hand_ dari
kekuatan sipil, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara lain.
Peta kedua, kekuatan Soekarnois di bawah bendera Megawati yang bisa membesar
manakala terjadi aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan sosialis-komunis.
Konvergensi antar kekuatan ini sangat dimungkinkan karena beberapa hal.
Pertama, kedekatan ideologis antara warisan pemikiran politik Soekarno dengan
pemikiran sosialisme-komunisme. Kedua, ikatan historis yang terbangun dalam
nuansa gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, dimana Megawati sempat
dijadikan simbol perlawanan. Ketiga, eskalasi politik yang dibutuhkan
unsur-unsur kekuatan baru yang akan menggunakan PDI Megawati sebagai batu
loncatannya (milestone). Ini berkaitan dengan aspek legal-formal, popularitas
dan akseptabilitas politik yang dimiliki Megawati.
Peta ketiga, kekuatan Sosialis-Komunis. Arus besar kekuatan sosialis-komunis
ditandai dua simpul generasi. Pertama, generasi tua dari kalangan eks Tapol PKI
dan tokoh-tokoh sosialis yang sepanjang perjalanan Orde Baru berhasil membangun
akses politik yang kuat. Kedua, angkatan muda dari generasi lapis kedua eks
Tapol PKI dan orang-orang muda yang memiliki orientasi pemikiran Neo-Marxisme.
Mereka relatif menjadi organized power, bahkan memiliki jaringan kerja
internasional.
Peta keempat, kekuatan Kristen. Sepuluh tahun terakhir terpinggirkan secara
politis, kekuatan Kristen sangat mungkin mengkonsolidasikan kekuatannya dengan
topangan barat, khususnya jaringan Katolik internasional. Kelebihan mereka
adalah lengkapnya infrastruktur yang dibutuhkan bagi sebuah kekuatan politik
formal. Salah satu; kunci kekuatannya adalah akses ke militer yang relatif
masih kuat. Polarisasi ideologi yang berkembang - pertarungan Islam vs Kristen
- menjadi motif kuat kalangan Kristen untuk mengedepankan agenda politik dan
membuka aliansi dengan kekuatan-kekuatan non-Islam lainnya. Instrumen status
quo - Golkar dan Militer - akan tetap dijadikan pijakan alternatif dalam rangka
penguaan politik (political reinforcement).
N. Lenin
13-14 (26-27) September 1917
CATATAN:
[7] Blanquisme – adalah suatu aliran dalam gerakan sosialis Perancis yang
dipimpin oleh Louis Auguste Blanqui (1805-1881), satu komunis utopis terkemuka.
“Blanquisme menduga bahwa umat manusia akan dibebaskan dari perbudakan upah,
tidak oleh perjuangan kelas proletarian, namun melalui satu konspirasi yang
dilakukan oleh satu minoritas kecil dari kaum intelektual”. Aliran ini gagal
untuk menghitung dengan situasi kongkrit, yang harus dipakai dalam perhitungan
kapan satu pemberontakan akan berhasil, dan menolak untuk menciptakan ikatan
dengan massa. [h.22].
[8] Apa yang ada di pikiran Lenin adalah demonstrasi massa yang bertempat di
Petograd pad tanggal 3-4 (16-17) Juli 1917. Itu adalah gerakan para prajurit,
pelaut dan pekerja, yang marah pada Pemerintahan Sementara karena mengirimkan
pasukan ke penyerangan tanpa harapan yang membuktikan satu kegagalan. Itu
dimulai pada tanggal 3 (16) Juli dengan satu demonstrasi oleh Resimen Senjata
Mesin Pertama di Distrik Vyborg, dan mengancam akan berkembang menjadi satu
pemberontakan bersenjata melawan Pemerintahan Sementara. Partai Bolshevik
menentang untuk melakukan pemberontakan pada saat itu karena percaya bahwa
krisis revolusioner belumlah sampai pada puncaknya. Rapat Komite Sentral pada
jam 4 p.m. tanggal 3 (16) Juli memutuskan agar menahan diri untuk melakukan
tindakan, dan keputusan yang serupa diputuskan oleh Konferensi Bolshevik Kota
Petograd Kedua yang dilakukan segera. Para delegasi pergi ke pabrik-pabrik dan
distrik-distrik untuk menghentikan massa pergi melakukan aksi, namun gerakan
terlanjur terjadi dan tiada suatupun yang dapat dilakukan untuk
menghentikannya.
Pada larut malam, Komite Sentral, bersama dengan Komite Petograd dan Organisasi
Militer menghitung gejolak massa dan memutuskan untuk turut serta dalam
demonstrasi untuk memimpinnya dalam satu karakter damai dan terorganisir. Lenin
sedang dalam liburan pendek setelah kerja yang melelahkan. Setelah
diinformasikan atas peristiwa itu, dia kembali ke Petograd di pagi hari tanggal
4 (17) Juli dan mengambil kepemimpinan.
Lebih dari 500.000 orang terlibat dalam demonstrasi pada 4 (17) Juli. Para
demonstran membawa slogan-slogan Bolshevik, seperti “Seluruh Kekuasaan untuk
Soviet” dan menuntut bahwa Komite Sentral Eksekutif Soviet Seluruh Rusia harus
mengambil kekuasaan. Namun pemimpin kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik
menolak untuk melakukan hal tersebut. Pemerintahan Sementara, dengan
sepengetahuan dan persetujuan Komite Sentral Eksekutif yang didominasi oleh
kaum Menshevik dam Sosialis-Revolusioner mengirim pasukan yang terdiri kaum
Cadet dan Cossak untuk menyerang dan menembaki para pelaku demontrasi damai.
Pasukan kontra-revolusi ditarik dari garis depan untuk mematahkan demonstasi.
Malam itu, Lenin memimpin satu pertemuan para anggota Komite Sentral dan Komite
Petograd, yang mengambil satu keputusan untuk menghentikan demontrasi dengan
cara organisisional. Hal ini merupakan langkah yang bijak, yang menyelematkan
kekuatan revolusioner utama dari kekalahan. Kaum Menshevik dan
Sosialis-Revolusioner bertindak dengan satu cara yang menolong kaum
kontra-revolusioner; mereka bergabung dengan kaum borjuis untuk menyerang
Partai Bolsehevik. Koran Bolshevik, Pravda, Soldatskaya Pavda (Prajurit
Kebenaran) dan lain-lainnya ditutup oleh Pemerintahan Sementara. Sementara
Rumah Percetakan Trud yang dioperasikan dengan dana yang disumbangkan oleh kaum
pekerja dihancurkan. Kaum pekerja dilucuti dan ditangkap, pencarian dan
penghukuman pun dimulai. Unit-unit revolusioner dari garnisun Petograd
dipindahkan dari ibukota dan dikirimkan ke garis-depan.
Setelah peristiwa Juli, kekuasaan di daerah pindah ketangan Pemerintah
Sementara yang kontra-revolusioner. Periode kekuasaan kembar berakhir, dan
demikian pula dengan tahap revolusi damai. Kaum Bolshevik menghadapi tugas
untuk mempersiapkan pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan Pemerintahan
Sementara.
[9] Pemberontakan kontra-revolusi oleh kaum borjuis dan pemilik tanah pada
bulan Agustus 1917 dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat, Jendral Kornilov,
pendukung tsar. Para pelaku plot merencanakan untuk mengambil-alih Petograd,
menghancurkan Partai Bolshevik, menggantikan Soviet-soviet dan membentuk
tatanan diktator militer dengan maksud merestorasi kerajaan. Kerensky, pimpinan
Pemerintahan Sementara, terlibat dalam plot tersebut. Namun ketika
pemberontakan sedang berjalan, dia menyadari bahwa dia dengan Kornilov akan
disikat dan dia mencuci-tangan atas seluruh urusan itu: diumumkan bahwa
pemberontakan itu ditujukan melawan Pemerintahan Sementara.
Pemberontakan berakhir pada 25 Agustus (7 September), ketika Kornilov
mengirimkan Korp Kaveleri Ketiga ke Petograd, dimana organisasi-organisasi
kontra-revolusioner gatal untuk melakukan aksi.
Perjuangan massa melawan Kornilov dipimpin oleh Partai Bolshevik, yang
diteruskan sebagaiman diinginkan oleh Lenin untuk menelanjangi kesalahan
Pemerintahan Sementara dan kaki-tangannya kaum Sosialis-Revolusioner dan
Menshevik. Komite Sentral Partai Bolshevik menghimpun kaum pekerja Petograd dan
prajurit dan pelaut revolusioner untuk berjuang melawan kaum pemberontak. Para
pekerja Petograd dengan cepat mengorganisasi unit-unit Tentara Merah.
Komite-komite revolusiener dibentuk diberbagai tempat. Pergerakan pasukan
Kornilov terhenti dan moral mereka diturunkan oleh para agitator Bolshevik.
Pemberontakan Kornilov dihancurkan oleh para pekerja dan petani yang dipimpin
oleh Partai Bolshevik. Di bawah tekanan massa, Pemerintahan Sementara terpaksa
memberikan perintah penangkapan dan penuntutan atas Kornilov dan kaki-tangannya
dengan tuduhan menyusun suatu pemberontakan.
[10] Cadets (Partai konstitusional Demokrat) – partai terbesar dari kaum
borjuis kerajaan yang liberal di Rusia, didirikan pada Oktober 1905.
Keanggotaannya terdiri dari kaum kapitalis, pemilik tanah yang begerak pada
dewan-dewan lokal dan kaum intelektual borjuis. Anggota termuka mereka diantaranya
PN. Milyukov, SA. Muromtsev, VA. Maklakov, AI. Shingaruyov dan PB Struve. Kaum
Cadet pada akhirnya berkembang menjadi satu partai borjuis-imperialis. Selama
Perang Dunia Pertama, mereka mendukung secara aktif kebijakan luar-negeri
Pemerintahan Tsar mengenai agresi. Selama revolusi borjuis-demokratis di bulan
Februari 1917, mereka mencoba menyelamatkan kerajaan; memainkan satu peranan
penting dalam Pemerintahan Sementara yang borjuis, mereka melakukan suatu
kebijakan kontra-revolusi melawan kepentingan rakyat.
Setelah Revolusi Sosialis Oktober yang Agung, mereka menjadi menjadi lawan yang
fanatik dari kekuasaan Soviet dan terlibat dalam segala operasi militer
kontra-revolusioner dan kampanye-kampanye kaum intervensionist. Setelah
kekalahan kaum intervensionist dan tentara-putih, Kaum Cadet melarikan diri ke
luar negeri dan meneruskan aktivitas kontra-revolusioner anti-Soviet mereka.
[h.24]
The Alexandrinsky Theatre di Petrograd merupakan suatu tempat dimana Konferensi
Demokratik dilangsungkan.
[11] Benteng Peter dan Paul di Neva yang berseberangan dengan Istana Winter
berfungsi sebagai penjara negara dari lawan politik Tsar. Sekarang sebagai
musium, yang memiliki persenjataan berat dan situasi yang strategis.
[12]Divisi Biadab (The Savage Division), didirikan pada PD I, yang terdiri dari
sukarelawan-sukarelawan orang-orang Kaukasia. Jenderal Kornilov menggunakan
divisi ini untuk menyerang Kaum Revolusioner Petrograd.
* * *